Rabu, 05 November 2008

Pasar Modal

Oleh: Muhammad Budi Setiawan
Aktivitas perdagangan dan usaha yang sesuai dengan syariah adalah kegiatan usaha yang tidak berkaitan dengan produk atau jasa yang haram seperti makanan haram, perjudian atau kemaksiatan. Selain itu juga menghindari cara perdagangan dan usaha yang dilarang, termasuk yang tergolong praktik riba, gharar dan maysir.

Kenyataannya tidak semua aktivitas perdagangan dan usaha memenuhi ketentuan syariah. Untuk itu fatwa ulama diperlukan guna memastikan pemenuhan kualifikasi tersebut. Fatwa mengenai halal-haram transaksi keuangan syariah di Indonesia ditetapkan Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) dengan bantuan tenaga praktisi dan penerapannya dilaksanakan dengan bantuan Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Salah satu tonggak penting dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia adalah beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Perbankan syariah semakin marak setelah diterbitkan UU No 10/1998 yang memungkinkan perbankan menjalankan dual banking system atau bank konvensional dapat mendirikan divisi syariah. Dengan adanya Undang-undang tersebut bank-bank konvensional mulai melirik dan membuka unit usaha syariah. Tak heran jika perkembangan perbankan syariah cukup pesat.

Faktor utama yang mendukung perkembangan ekonomi syariah di Indonesia di masa mendatang adalah jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Selain itu adanya peningkatan kesadaran umat Islam dalam berinvestasi sesuai syariah. Mengingat begitu pentingnya investasi sebagai salah satu perilaku ekonomi, maka menjadi penting pula pemahaman mengenai teori dan praktik investasi tersebut. Berikut uraian dari teori dan praktik investasi syariah.

A. Bentuk-bentuk Investasi Syariah

1. Deposito Syariah
Dalam operasionalisasi di dunia perbankan, transaksi ini mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu:
Kedua belah pihak yang mengadakan kontrak antara pemilik dana dan mudharib akan menentukan kapasitas baik sebagai nasabah maupun pemilik. Di dalam akad tercantum pernyataan yang harus dilakukan kedua belah pihak yang mengadakan kontrak dengan ketentuan sebagai berikut:
Di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan secara tersurat maupun tersirat mengenai tujuan kontrak.
Penawaran dan penerimaan harus disepakati kedua belah pihak di dalam kontrak tersebut.
Maksud penawaran dan penerimaan merupakan suatu kesatuan informasi yang sama penjelasannya.perjanjian bisa saja berlangsung melalui proposal tertulis dan langsung ditandatangani.
Modal adalah sejumlah uang pemilik dana diberikan kepada mudharib untuk diinvestasikan dikelola) dalam kegiatan usaha mudharabah.

Adapun Syarat yang tercakup dalam modal adalah sebagai berikut:
Jumlah modal harus diketahui secara pasti termasuk jenis mata uangnya.
Modal harus dalam bentuk tunai, seandainya berbentuk aset menurut Jumhur Ulama Fiqh diperbolehkan, asalkan berbentuk barang niaga dan mempunyai nilai atau historinya pada saat mengadakan kontrak. Bila aset tersebut berbentuk non-kas yang siap dimanfaatkan, seperti pesawat dan kapal, menurut Madzab Hanbali diperbolehkan sebagai modal mudharabah asalkan mudharib tetap menginvestasikan semua modal tersebut dan berbagi hasil dengan pemilik dana dalam pendapatan dari investasi dan pada akhir jangka waktu.
Modal harus tersedia dalam bentuk tunai tidak dalam bentuk piutang.
Modal mudharabah langsung dibayar kepada mudharib. Beberapa Fuqaha berbeda pendapat mengenai cara realisasi pencarian dana, yaitu dibayar langsung dengan cara lain dilaksanakan dengan memungkinkan mudharib untuk memperoleh manfaat dari modal tersebut bagaimanapun cara akuisisinya. Sesuai dengan pendapat kedua, pengadaan kontrak dapat dilaksanakan untuk keseluruhan modal dan pembayarannya kepada mudharib dapat dibuat dalam beberapa angsuran.
Keuntungan adalah jumlah yang melebihi jumlah modal dan merupakan tujuan mudharabah dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Keuntungan ini haruslah berlaku bagi kedua belah pihak dan tidak ada satu pihakpun yang akan memilikinya.
Haruslah menjadi perhatian dari kedua belah pihak dan tidak terdapat pihak ketiga yang akan turut memperoleh bagi hasil darinya. Porsi bagi hasil keuntungan untuk masing-masing pihak harus disepakati bersama pada saat perjanjian ditandatangani. Bagi hasil mudharib harus secara jelas dinyatakan pada saat pengadaan kontrak dilakukan.
Pemilik dana akan menanggung semua kerugian sebaliknya mudharib tidak menanggung kerugian sedikitpun. Akan tetapi, mudharib harus menanggung kerugian bila kerugian itu timbul dari pelanggaran perjanjian atau penghilangan dana tersebut.
Jenis usaha/pekerjaan diharapkan mewakili/menggambarkan adanya kontribusi mudaharib dalam usahanya untuk mengembalikan/membayar modal kepada penyedia dana. Jenis pekerjaan dalam hal ini berhubungan dengan masalah manajemen dari pembiayaan mudharabah itu sendiri. Di bawah ini merupakan syarat-syarat yang harus diterapkan dalam usaha/pekerjaan mudharabah adalah sebagai berikut:
Bentuk pekerjaan/usaha. Merupakan hak khusus mudharib tidak ada intervensi manajemen dari pemilik dana, meskipun demikian menurut Madzab Hambali membolehkan adanya peran serta/partisipasi pemilik dana dalam pekerjaan/usaha tersebut.
Penyedia dana tidak harus boleh membatasi kegiatan mudharib sperti melarang mudharib agar tidak sukses dalam pencarian laba/keuntungan.
Mudharib tidak boleh melanggar hukum islam dalam usahanya dan juga harus mematuhi praktik-praktik usaha yang berlaku.
Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang diajukan pemilik dana asalkan syarat-syarat tersebut tidak bertentangan kontrak mudharabah tersebut.
Modal mudharabah tidak boleh dalam penguasaan pemilik dana, sehingga tidak dapat ditarik sewaktu-waktu. Penarikan dana mudharabah hanya dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang disepakati (periode yang telah ditentukan). Penarikan dana yang dilakukan setiap saat akan membawa dampak berkurangnya pembagian hasil usaha oleh nasabah yang menginvestasikan dananya.

2. Pasar Modal Syariah
Dalam arti sempit pengertian pasar merupakan tempat para penjual dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi. Artinya pembeli dan penjual langsung bertemu untuk melakukan transaksi dalam suatu lokasi tertentu. Lokasi atau tempat pertemuan tersebut disebut pasar. Namun dalam arti luas pengertian pasar merupakan tempat melakukan transaksi antara pembeli dan penjual, dimana pembeli dan penjual tidak harus bertemu dalam suatu tempat atau bertemu langsung, akan tetapi dapat dilakukan melalui sarana informasi yang ada seperti sarana elektronika.


Pengertian pasar modal secara umum merupakan suatu tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi dalam rangka memperoleh modal. Penjual (emiten) dalam pasar modal merupakan perusahaan yang membutuhkan modal, sehingga mereka berusaha untuk menjual efek di pasar modal. Sedangkan pembeli (investor) adalah pihak yang ingin membeli modal diperusahaan yang menurut mereka menguntungkan. Pasar modal dikenal dengan nama bursa efek, dan di Indonesia dewasa ini ada dua buah bursa efek yaitu Bursa Fek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES).

Modal yang diperdagangkan dalam pasar modal merupakan modal yang bila diukur dari waktunya merupakan modal jangka panjang. Oleh karena itu bagi emiten sangat menguntungkan mengingat masa pengembaliannya relatif panjang, baik yang bersifat kepemilikan maupun yang bersifat hutang. Khusus untuk modal bersifat kepemilikan, jangka waktunya lebih panjang jika dibandingkan dengan yang bersifat hutang.
Instrumen Pasar Modal Syariah

1. Saham Syariah
Menurut Dewan Syariah Nasioanal (DSN), saham adalah suatu bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria syariah dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa. Bagi perusahaan yang modalnya diperoleh dari saham merupakan modal sendiri. Dalam struktur permodalan khususnya untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT), pembagian modal menurut undang-undang terdiri:
Modal dasar, yaitu modal pertama sekali perusahaan didirikan.
Modal ditempatkan, maksudnya modal yang sudah dijual dan besarnya 25% dari modal dasar.
Modal disetor, merupakan modal yang benar-benar telah disetor yaitu sebesar 50% dari modal yang telah ditempatkan.
Saham dalam portepel yaitu modal yang masih dalam bentuk saham yang belum dijual atau modal dasar dikurangi modal ditempatkan.
Prinsip Dasar Saham Syariah
Bersifat musyarakah jika ditawarkan secara terbatas.
Bersifat mudharabah jika ditawarkan kepada publik.
Tidak boleh ada pembeda jenis saham, karena risiko harus ditanggung oleh semua pihak.
Prinsip bagi hasil laba-rugi.
Tidak dapat dicairkan kecuali dilikuidasi.
Jenis-jenis Saham

Saham Preferen
Mempunyai sifat gabungan antara saham biasa dan obligasi.
Hak preferen terhadap dividen: hak untuk menerima dividen terlebih dahulu dibandingkan dengan pemegang saham biasa. Dividen biasanya dinyatakan dalam persen (%).
Hak dividen komulatif: hak untuk menerima dividen tahun-tahun sebelumnya yang belum dibayarkan.
Hak preferen likuiditas: mendapatkan terlebih dahulu aktiva perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham biasa bila terjadi likuidasi.
Dari penjelasan mengenai prinsip dasar saham syariah, maka saham preferen tidak berlaku pada saham syariah.

Saham Biasa
Hak kontrol: memilih pimpinan perusahaan.
Hak menerima pembagian keuntungan.
Hak preemtive: hak untuk mendapatkan prosentasi kepemilikan yang sama jika perusahaan mengeluarkan tambahan lembar saham.

Saham Treasury
Saham perusahaan yang pernah beredar dan dibeli kembali oleh perusahaan untuk disimpan dan dapat dijual kembali.
Beberapa alasan kenapa ada saham treasury: a. Dapat diberikan sebagai bonus kepada karyawan, b. Meningkatkan perdagangan, sehingga nilai pasar meningkat, c. Mengurangi jumlah saham beredar untuk menaikkan laba per lembar saham, d. Untuk mencegah perusahaan dikuasai oleh perusahaan lain.
Pedoman Syariah
Uang tidak boleh menghasilkan uang. Uang hanya boleh berkembang bila diinvestasikan dalam aktivitas ekonomi.
Hasil dari kegiatan ekonomi diukur dengan tingkat keuntungan investasi. Keuntungan ini dapat diestimasikan tetapi tidak ditetapkan di depan.
Uang tidak boleh dijual untuk mempeoleh uang.
Saham dalam perusahaan, kegiatan mudharabah atau partnership/musyarakah dapat diperjualbelikan dalam rangka kegiatan investasi dan bukan untuk spekulasi dan untuk tujuan perdagangan kertas berharga.
Instrumen finansial islami, seperti saham, dalam suatu venture atau perusahaan, dapat diperjualbelikan karena ia mewakili bagian kepemilikan atas aset dari suatu bisnis.
Beberapa batasan dalam perdagangan sekuritas seperti itu antara lain: a. Nilai per share dalam suatu bisnis harus didasarkan pada hasil appraisal atas bisnis yang bersangkutan, b. Transaksi tunai, harus segera diselesiakan sesuai dengan kontrak.

2. Obligasi Syariah
Perihal obligasi syariah sendiri, sebenarnya telah ada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Yaitu, fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah dan fatwa No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Keduanya, dikeluarkan pada waktu bersamaan, 14 September lalu.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan pada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Sementara pendapatan investasi yang dibagikan emiten kepada pemegang obligasi syariah harus bersih dari unsur nonhalal. Mengenai bagi hasil (nisbah) antara emiten dan pemegang obligasi syariah, diatur bahwa nisbah keuntungan dalam obligasi syariah mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan dengan ketentuan pada saat jatuh tempo, akan diperhitungkan secara keseluruhan.

Kewajiban dalam syariah hanya timbul akibat adanya transaksi atas aset/produk (mal) atau jasa (amal) yang tidak tunai, sehingga terjadi transaksi pembiayaan. Kewajiban ini umumnya berkaitan dengan transaksi perniagaan dimana kondisi tidak tunai tersebut dapat terjadi karena penundaan pembayaran atau penundaan penyerahan obyek transaksi (mal atau amal). Dalam Islam pembiayaan dapat terjadi karena ada suatu pihak yang memberikan dana untuk memungkinkan suatu transaksi. Pihak penjual dapat memberikan pembiayaan dengan memberikan fasilitas penundaan pembayaran, sedangkan pihak pembeli dapat memberikan pembiayaan dengan memberikan fasilitas penundaan penyerahan obyek transaksi.
Jenis-jenis Obligasi
Obligasi Mudharabah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
Obligasi Ijarah. Dengan akad Ijarah sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.
Pedoman Syariah

Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:
Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:
Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram.
Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Peringkat Investment Grade:
Memiliki fundamental usaha yang kuat.
Memiliki fundamental keuangan yang kuat.
Memiliki citra yang baik bagi publik

3. Reksadana Syariah
Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Sedangkan reksadana syariah adalah reksadana yang beroperesi menurut ketentuan dalam prinsip syariah, baik dalam bentuk akad, pengelolaan dana dan penggunaan dana.
Akad antara investor dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem mudharabah.


Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalain pengusaha, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Dalam hal transaksi jual beli, saham-saham dalam reksadana syariah dapat diperjual belikan. Saham-saham dalam reksadana syariah merupakan yang harta (mal) yang dibolehkan untuk diperjual belikan dalam syariah.
Pedoman Syariah

Tidak adanya unsur penipuan (gharar) dalam transaksi saham karena nilai saham jelas. Harga saham terbentuk dengan adanya hukum supply and demand.
Semua saham yang dikeluarkan reksa dana tercatat dalam administrasi yang rapih dan penyebutan harga harus dilakukan dengan jelas.


B. Jenis Investasi Berdasarkan Syariah

1. Tabungan Bagi Hasil (Mudharabah)
Tabungan bagi hasil adalah tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Dalam hal ini bank syariah mengelola dana yang diinvestasikan oleh penabung secara produktif, menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip syariah Islam. Hasil keuntungannya akan dibagikan kepada penabung dan bank, sesuai perbandingan bagi hasil atau nisbah yang disepakati bersama.

Contoh perhitungan bagi hasil; Saldo rata-rata Bapa Huda bulan November 2004 sebesar Rp 1 juta sedangkan saldo rata-rata tabungan seluruh nasabah Bank Syariah pada bulan tersebut sebesar Rp 50 juta. Bila perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank sebesar 50:50 dan pendapatan bank yang dibagihasilkan untuk tabungan sebesar Rp 1 juta maka bagi hasil yang didapatkan oleh Bapa Huda adalah sebesar: (Rp 1 juta : Rp 50 juta X Rp 1 juta X 50% = Rp 10.000,00.

Sehingga Bapa Huda akan menerima bagi hasil sebesar Rp. 10 ribu rupiah dalam bulan November 2004 atas tabungan saldo rata-rata sebesar Rp. 1 juta. Berbeda dengan bank konvensional yang pendapatan bunganya tetap sepanjang tidak ada perubahan. Bagi hasil yang didapatkan dari bank syariah dapat berubah setiap bulan, tergantung pendapatan bagi hasil yang diterima bank syariah dari para peminjam.

2. Deposito Bagi Hasil (Mudharabah)
Deposito Bagi Hasil merupakan produk investasi jangka waktu tertentu. Nasabahnya bisa perorangan maupun badan. Produk ini menggunakan prinsip mudharabah muthlaqah. Dengan prinsip ini bank akan mengelola dana yang diinvestasikan nasabah secara produktif, menguntungkan dan memenuhi prinsip-prinsip hukum Islam. Hasil keuntungannya akan dibagikan kepada nasabah dan bank sesuai nisbah yang disepakati bersama sebelumnya.

Contoh ilustrasi perhitungan bagi hasil; Saldo rata-rata Bapa Huda bulan November 2004 sebesar Rp 10 juta sedangkan saldo rata-rata deposito seluruh nasabah bank syariah pada bulan tersebut sebesar Rp 500 juta. Bila perbandingan bagi hasil antara nasabah dan bank sebesar 65:35 dan pendapatan bank syariah yang dibagihasilkan untuk deposito sebesar Rp 10 juta maka bagi hasil yang didapatkan oleh Bapa Huda adalah: (Rp 10 juta : Rp 500 juta X Rp 10 juta X 65% = Rp 130.000,00.

3. Investasi Khusus (Mudharabah Muqayyadah)
Investasi khusus adalah suatu bentuk investasi nasabah yang disalurkan langsung kepada pembiayaan tertentu sesuai dengan keinginan nasabah. Perbandingan atau nisbah bagi hasil yang ditetapkan berdasarkan kesepatan antara bank, nasabah serta penasihat keuangan jika diperlukan (dapat dinegosiasikan). Dana akan diinvestasikan kepada sektor riil yang menguntungkan sesuai keinginan nasabah.

Contoh perhitungan bagi hasil; Bapa Huda menginvestasikan dana sebesar Rp 5 juta dengan pilihan untuk pembiayaan kepada pedagang bahan bangunan. Bila pada bulan berikutnya keuntungan investasi yang diterima bank dari pedagang bahan bangunan sebesar Rp 2 juta sementara kesepakatan nisbah antara nasabah dan bank sebesar 65:35, maka bagi hasil yang didapatkan Bapa Huda adalah sebesar: Rp 2 juta X 65% = Rp 1.300.000

Pendapatan bagi hasil yang diterima oleh deposan investasi khusus dalam hal ini akan sangat bervariasi tergantung dari kinerja dari pedagang yang diberikan pinjaman, dimana ada kemungkinan suatu saat apabila pedagang tersebut mengalami kerugian maka bisa saja kita tidak mendapat bagi hasil alias 0.
Investasi Saham Sesuai Syariah di Pasar Modal

Salah satu bentuk investasi yang sesuai dengan syariah adalah membeli saham perusahaan, baik perusahaan non publik (private equity) maupun perusahaan publik/terbuka. Cara paling mudah dalam melakukan investasi saham sesuai syariah di BEJ adalah memilih dan membeli jenis saham-saham yang dimasukkan dalam Jakarta Islamic Index (JII).
Reksadana Syariah

Dalam reksadana konvensional, pengaturan atau penempatan portfolio investasi hanya menggunakan pertimbangan tingkat keuntungan. Sedangkan reksadana syariah selain mempertimbangkan tingkat keuntungan juga harus mempertimbangkan kehalalan suatu produk keuangan. Sebagai contoh bila reksadana syariah ingin menempatkan salah satu jenis investasinya dalam saham, maka saham yang dibeli tersebut harus termasuk perusahaan yang sudah dibolehkan secara syariah. Lebih mudahnya sudah termasuk dalam jenis saham yang ada dalam daftar JII (Jakarta Islamic Index). Demkian juga jenis investasi lainnya seperti obligasi, harus yang menganut sistem syariah.

Manajer investasi reksadana syariah harus memahami investasi dan mampu melakukan kegiatan pengelolan yang sesuai dengan syariah. Untuk itu diperlukan adanya panduan mengenai norma-norma yang harus dipenuhi Manajer Investasi agar investasi dan hasilnya tidak melanggar ketentuan syariah, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan praktek riba, gharar dan maysir. Dalam praktek syariah maka Manajer Investasi bertindak sesuai dengan perjanjian atau aqad wakalah. Manajer investasi akan menjadi wakil dari investor untuk kepentingan dan atas nama investor. Sebagai bukti penyertaan dalam reksadana syariah maka investor akan mendapat unit penyertaan dari reksadana syariah.
Belum tersosialisasinya ekonomi syariah dengan baik adalah salah satu kendala pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Kalaupun ekonomi syariah dikenal, masyarakat lebih banyak mengenal bank syariah. Padahal ekonomi syariah tidak hanya kegiatan bisnis perbankan berbasis syariah, tetapi sudah merambah pada sektor lain, seperti reksadana, perhotelan, asuransi (takaful/social protection), bursa efek, multilevel marketing hingga penyiaran (broadcast).

Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor perbankan paling mendominasi kegiatan ekonomi syariah. Sebuah riset yang dilakukan pengamat perbankan syariah Adiwarman A. Karim dari Karim Business Consulting menunjukkan bahwa pasar loyalis syariah sesungguhnya sangat terbatas. Dia membagi potensi pasar menjadi tiga kelompok besar. Pertama, pasar loyalis syariah. Kedua, pasar mengambang yang tidak terlalu fanatik dengan sistem perbankan. Dan ketiga adalah pasar loyalis konvensional. Kelompok ini mempunyai ciri sangat fanatik terhadap bank bersistem konvensional. Berdasarkan riset tersebut, pasar loyalis syariah cuma Rp 10 triliun.

Disadari bahwa sosialisasi dan pemahaman masyarakat akan produk syariah memang masih terbatas. Meskipun penduduk Indonesia sebagian besar adalah masyarakat Islam, tetapi pengembangan produk syariah masih dini dan belum berkembang dengan baik. Termasuk dalam hal ini adalah produk investasi syariah selain perbankan seperti saham, reksadana, obligasi, dan asuransi, dll.

Produk investasi syariah seperti reksadana dan saham memiliki prospek cerah. Setidaknya hal itu bisa dilihat dari beberapa data yang ada. Menyangkut kinerja portofolio saham syariah, berdasarkan penelitian yang dilakukan Farida Rachmawati (2002) kinerja portofolio saham syariah memiliki prospek yang tidak mengecewakan. Selama tahun 2001-2002, kinerja portofolio saham syariah tengah mengungguli kinerja saham konvensional untuk kriteria Sharpe Index dan Treynor Index. Portofolio saham konvensional hanya unggul pada pengukuran dengan Jenshen’s Alpha. Dalam hal ini portofolio saham syariah unggul pada kriteria return dan risk (level total risiko dan risiko pasar).

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan proses screening berdasarkan syariah memberikan pengaruh positif terhadap kinerja portofolio saham syariah. Dari penelitian terlihat, kinerja portofolio 22 saham syariah mampu mengungguli kinerja 23 saham konvensional selama periode 2001-2002.

Selain portofolio saham syariah, alternatif investasi yang lain seperti reksadana syariah juga memiliki prospek yang cerah. Menurut penelitian Rinda Aystuti (2003), pada tahun 2001 reksadana syariah sampuran (PNM Syariah dan Danareksa Syariah Berimbang) memiliki kinerja yang underperform dibandingkan dengan pasar. Namun pada tahun 2002, kinerja PNM Syariah membaik, dengan rata-rata return yang lebih tinggi dibanding return pasar (Jakarta Islamic Index). Namun bila dibandingkan kinerja indeks pasar konvensional (IHSG), kinerja PNM Syariah dan Reksadana Syariah Berimbang lebih baik.

Tentu saja, ada banyak faktor yang memengaruhi kinerja investasi syariah seperti saham dan reksadana. Faktor makroekonomi yang terus membaik akan berimbas pada prospek investasi syariah. Kondisi perekonomian yang terus membaik, terutama sektor riil juga berdampak positif terhadap prospek investasi syariah, sebab investasi syariah lebih banyak diinvestasikan pada sektor-sektor riil yang sesuai dengan konsep syariah. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam memengaruhi kinerja portofolio investasi syariah adalah kemampuan atau profesionalisme pengelola dana.

Sementara tantangan dan ganjalan yang dihadapi dalam investasi syariah adalah konsep bagi hasil yang tidak mampu memberikan patokan tingkat penghasilan yang pasti. Pintar tidaknya pengelola dana akan menjadi ukuran sekaligus berdampak pada hasil yang bisa diperoleh investor. Disadari bahwa instrumen investasi syariah masih terbatas, sehingga kemampuan pengelola dana dalam mengatur portofolionya juga harus piawai. Diversifikasi investasi yang terbatas jelas akan menyulitkan pengelola dana. Oleh karena itu, investasi syariah mempunyai risiko yang lebih tinggi.

Hal yang sama juga dialami dalam produk perbankan syariah. Dalam produk perbankan syariah, juga didasarkan pada konsep bagi hasil sehingga patokan tingkat penghasilan juga tidak pasti. Kemampuan pengelola atau profesionalisme yang terlibat di dalamnya akan sangat menentukan kinerja perbankan syariah.

Jika kinerja bank syariah buruk, deposito nasabah juga tidak berkembang. Risiko inilah yang tidak dipikul deposan bank konvensional, sehingga kendati bank mengalami kerugian, investasi yang ditanam bisa tetap tumbuh. Ini nilai tambah produk konvensional dibanding produk investasi syariah.

Dalam asuransi syariah juga didasarkan pada bagi hasil dan kegagalan juga berdasarkan beban bersama (sharing the burden). Hal ini bisa dilihat dari aspek pengelolaannya. Dalam produk asuransi konvensional, risiko dipindahkan dari klien ke perusahaan (transfer of risk), sementara dalam asuransi syariah, risiko tersebut ditanggung bersama-sama (sharing of risk). Jadi, risiko tidak menjadi beban perusahaan, namun tanggungan bersama.

Dengan model seperti itu, dana peserta dibagi menjadi dua, dana investasi dan dana kumpulan peserta (tabarru’). Dana investasi murni menjadi hak peserta, sedangkan tabarru’ merupakan penyisihan dari premi yang memang diikhlaskan untuk menjadi dana bersama. Dana inilah yang digunakan untuk membayar klaim. Seluruh dana tersebut kemudian dikelola oleh pihak asuransi ke berbagai bentuk investasi.

Di sinilah nilai tambah asuransi syariah dibanding asuransi konvensional. Pasalnya, ada garis tegas yang memisahkan dana pemegang saham dengan dana peserta. Dana peserta ini kemudian diinvestasikan. Setelah dipotong biaya usaha, hasilnya akan dibagi berdasarkan kesepakatan awal. Cuma, umumnya porsi untuk peserta lebih besar daripada yang diperoleh pihak asuransi.

Sebagai sebuah produk syariah, investasi syariah jelas harus sesuai dengan prinsip Islam. Tujuannya untuk menciptakan dan mencapai tata ekonomi yang lebih beretika. Misalya, Islam melarang riba. Sebab riba merupakan praktik ekonomi yang eksploitatif karena memanfaatkan kondisi mereka yang lemah atau dalam kondisi kesulitan. Riba juga timbul dari praktik utang piutang dan perdagangan. Misalnya, sale and lease back dan short selling yang cenderung spekulasi. Dalam konsep syariah, tidak boleh memperjualbelikan sesuatu yang belum tentu ada dan mungkin saja tidak terjadi. Dengan demikian praktik investasi syariah juga harus menghindari konsep riba. Hal inilah yang membedakan antara investasi syariah dan konvensional.

Selain itu, prinsip investasi syariah juga harus dilakukan tanpa paksaan (ridha), adil dan transaksinya berpijak pada kegiatan produksi dan jasa yang tidak dilarang oleh Islam, termasuk bebas manipulasi dan spekulasi. Wallahu A’lam bi al Showab.

Sumber: diolah dari berbagai artikel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar