Selasa, 13 Januari 2009

dalam PANDANGAN ISLAM

Kalangan Feminis, banyak mengkritik Islam. Dalam pandangan mereka, Islam telah menempatkan perempuan dalam situasi yang sangat memojokkan. Mereka mengkritik dari bagaimana Islam sangat mengagungkan kaum lelaki dan menelantarkan kaum perempuan. Mereka menganggap bahwa banyak hadits telah mendeskriditkan kaum perempuan dan menempatkannya dalam keadaan yang sangat hina. Mereka banyak mengambil contoh dari bagaimana Islam hanya memberikan jatah warisan bagi perempuan tidak lebih banyak dari kaum lelaki; bagaimana kesaksian kaum perempuan hanya dihargai setengah dari kesaksian kaum lelaki; bagaimana kaum perempuan seolah dikucilkan dan diragukan kemampuannya hingga tidak bisa menjadi pemimpin bagi kaum lelaki. ,

Kritik yang mereka lontarkan tersebut umumnya hanyalah kritik tanpa didasari pengetahuan yang memadai. Mereka seolah lupa bagaimana Islam dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Mereka lupa bahwa Islam untuk pertama kali turun di negara Arab; satu negara yang sangat mengecilkan arti seorang perempuan. Bahkan sebelum Islam datang, mereka tega membunuh bayi perempuan mereka demi menjaga harga diri. Namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman bangsa arab saat itu akan Islam, mereka pun mulai mengakui eksistensi perempuan dengan sangat baik; mereka mulai memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah; mereka membolehkan perempuan untuk bisa turun dalam dunia publik sebagaimana yang banyak dilakukan oleh banyak sahabat rasulullah. Pada masa itu, Islam sangat mendukung kemajuan perempuan untuk bisa maju; masa di mana di negara Eropa, mereka menganggap bahwa perempuan yang memiliki pengetahuan yang berlebih bagaikan penyihir yang harus disingkirkan; masa di mana perempuan bagaikan barang yang bisa dipindahkan hak miliknya; dan masa di mana perempuan tidak memiliki jati dirinya.

Eksistensi Perempuan dalam Pandangan Islam Islam sangat menghargai eksistensi perempuan sebagaimana eksistensi lelaki. Hal ini secara gamblang dipahami dari firman Allah Surah an-Nisaa’: 1 yang menegaskan bahwa baik lekai dan perempuan diciptakan dari satu jiwa yang sama. Hal ini pun dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Daud bahwa rasulullah mengemukakan ‘perempuan adalah saudara bagi lelaki’.

Lebih dari itu, Islam pun memperbaiki kesalahpahaman persepsi yang telah terjadi secara turun temurun -yang menyatakan bahwa turunnya Adam ke Surga disebabkan oleh perempuan –yang dalam hal ini adalah Hawa- dengan mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena kesalahan keduanya; kesalahan karena mereka berdua tidak mampu mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melanggar perintah-Nya. Hal ini bisa dipahami dari firman-Nya Surah al-Baqqarah: 36; al-A’raaf: 20, 23 dan Thaahaa: 121.

Untuk menegaskan kesejajaran pengakuan antara lelaki dan perempuan, Islam menyatakan bahwa pahala yang diberikan sama bagi siapapun yang berbuat baik; tanpa memandang apakah ia perempuan ataupun lelaki. Hal ini secara gamblang bisa dipahami dari firman-Nya surah an-Nahl: 97; Ali Imron: 195; dan al-Ahdzab: 35

Secara berani, Islam pun mengkritik tradisi yang pernah dilakukan bangsa Arab sebelum turunnya Islam, yang tega membunuh bayi perempuan karena demi menjaga harga diri sebagaimana tampak dalam surah an-Nahl: 59 dan melarang umat manusia melakukan hal serupa dan bahkan menganggap bahwa yang melakukannya hanyalah orang bodoh sebagaimana dipahami dalam surah al-An’aam: 140.

Bahkan Islam memberikan batasan tertentu yang menguntungkan bagi kaum perempuan. Di antaranya, bila sebelumnya perempuan hanyalah di anggap barang yang bisa diwariskan, namun di Islam, perempuan mendapatkan hak waris; bila sebelumnya perempuan bisa dipermainkan oleh suaminya dengan di kawin-cerai tanpa batas, maka dalam Islam, hal itu dibatasi hanya sampai tiga kali saja; dan lebih dari itu, Islam pun memberikan kebebasan bagi perempuan untuk bisa beraktivitas dalam dunia publik yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya sama sekali.

Lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa citra perempuan dalam al-Qur`an adalah mereka yang memiliki kemandirian politik (QS 60:2), kemandirian ekonomi (QS 28:23) dan kemandirian menentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya (QS 66:11)

Secara garis besar, Islam memberikan perempuan tiga hal penting, yakni:

1. Sisi kemanusiaannya
2. Sisi sosialnya
3. Hak finansial



Islam mengakui eksistensi perempuan layaknya lelaki; namun di lain sisi, Islam pun menyadari perbedaan yang ada pada keduanya. Atas dasar itulah, ada beberapa hukum yang berbeda antara kaum lelaki dan perempuan, yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupinya, di antaranya:

1. Hak memberikan kesaksian.

Pada masa penetapan hukum kesaksian, khususnya dalam masalah pidana, Islam menilai kesaksian seorang perempuan tidak lebih dari setengah dari kesaksian seorang lelaki. Hal ini dikarenakan pada saat itu, umumnya wanita sangat jarang bisa turun di dunia publik yang umumnya berkaitan dengan masalah pidana. Seandainya pun mereka memang mengalaminya, maka umumnya mereka telah mengalami shok yang mengakibatkan mereka mudah dipengaruhi dan kurang mampu mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya. Namun ada kalanya di kala permasalahan yang muncul adalah permasalahan yang berkaitan dengan masalah perempuan, seperti masalah sesusuan, maka kesaksian wanita lah –yang dalam hal ini adalah ibu sesusuannya- yang lebih dianggap valid melebihi siapapun.

1. Hak Warisan

Sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk bisa memberikan nafkah kepada perempuan yang ada dalam keluarganya, baik itu istrinya, ibunya maupun saudara perempuannya; dan sebaliknya, wanita tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada siapapun. Bila ia melakukannya, maka itulah yang dianggap sebagai bentuk sedekah. Dengan demikian bisa dipahami bahwa keuangan yang dimiliki seorang perempuan adalah miliknya seutuhnya; namun keuangan yang dimiliki seorang lelaki, wajib disalurkan kepada kaum perempuan yang ada dalam keluarganya. Konsep inilah yang kemudian mendasari hukum pemberian waris bagi lelaki lebih besar –atau dua kali lipatnya- melebihi hak waris yang diterima oleh perempuan.

1. Hak cerai

Lelaki diberikan tanggung jawab untuk bisa memimpin kemitraannya dengan perempuan. Atas dasar inilah ia diberikan hak cerai. Namun demikian, bukan berarti di kala perempuan sudah tidak bisa lagi bermitra dengan suaminya, ia tidak bisa memutuskan diri darinya. Islam mengatur suatu hak yang dinamakan hak Khulu’, yakni cerai dari pihak istri.

Pola Hubungan laki-laki dan perempuanDi kala Islam telah mengakui eksistensi perempuan sejajar dengan lelaki, maka bisa dipahami bahwa pola yang ditawarkan dalam Islam adalah pola kemitraan; pola saling melengkapi dan bukan pola atasan-bawahan; pola superior-inferior. Hal ini didasari atas hal-hal sebagai berikut:

1. perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi dalam kehidupan sosial budaya
2. Islam mengakui adanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan; namun perbedaan itu bukanlah pembedaan yang menggantungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan yang ada dimaksudkan untuk menegaskan adanya kebutuhan untuk bisa saling melengkapi satu dengan lainnya hingga tercipta kehidupan harmonis yang didasari rasa kasih sayang, yang merupakan cikal bakal kehidupan masyarakat ideal.

Islam memang tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas pokok masing-masing pihak sambil menggaris bawahi prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong menolong. Ketiadaan rincian ini mengantarkan tiap pihak untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan masayarakat yang ada serta kondisi masing-masing. Istri bisa mencari nafkah membantu suami dan suami pun bisa memabntu istri dalam urusan rumah tangga. Dari sinilah tampak kemitraan mutualisme antara keduanya. Namun sejauh mana masing-masing pihak mau menyadari hal ini, maka itulah yang menjadi tugas kita.


Islam Mengakui Rasa Cinta

Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).

Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.

Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.


PANDANGAN ISLAM TENTANG SENI TARI
Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).



Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme, dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.



Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.



Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi anak muda.





1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.



Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.



Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV, hlm. 281):



(لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ (ص) الْمَدِيْنَةَ لَعِبَتِ الْحَبْشَةُ فَرْحًا بِذلِكَ لَعِبُوْا بِحِرَابِهِمْ)
"Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka."



Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):



(كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُوْنَ وَ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ)
"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang).



Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak ‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian).



Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem, hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana. Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana. Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).



Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdād. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari "berkaliber tinggi".



Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan sebagainya.



Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).



Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance.





2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.



Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:



(أَنْتَ مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْكَ)
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu."



Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :



(أَشْبَهْتَ خَلْقِيْ وَ خُلُقِيْ)
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".



Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:



(أَنْتَ أَخُوْنَا وَ مَوْلاَنَا)
"Engkau adalah saudara dan penolong kami."



Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh rakyatnya.



Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī ‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."



Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri." (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).



Adapun mengenai nukilan Imām Al-Ghazālī tentang "hajal" (berjinjitnya) ‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām Ibn-ul-Jauzi (Lihat Imām Ibn-ul-Jauzi TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak lebih dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan menyepak dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada saat berhadapan dalam peperangan.



Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:



(وَ لاَ تَمْشِيْ فِي الأَرْضِ مَرَحًا) (لقمن:18)
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)



Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:



(إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ) (لقمن:18)
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri." (31:18).



Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya, dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?





3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.



Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan, bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari kesenangan dan kebahagiaan. Syara‘ tidak mengharāmkan seseorang untuk menggerakkan badan, tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan senua perbuatan itu akan muncul secara alami. Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘ tidak mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak diiringi musik.



Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah) yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaamn daerah tertentu.



Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari terlepas dari promosi negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik wisata mancanegara yang berkunjung ke negeri-negeri tertentu. Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara tersebut dangan sukacita menggelarkannya. Sekarang kita dapat mengenal adanya tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia, Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia.



Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya, terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk. Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan penekanan gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita.



Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:



1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif.



Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):



(لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيْلَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَ الرُّوْمَ؟ فَقَالَ: وَ مَنْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ أُولئِكَ؟)
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengambil) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).



Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang diakui oleh kaun Muslimīn adalah orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7320).



2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 5824):



(الْغِيْرَةُ مِنَ الإِيْمَانِ وَ الْمِذَاءُ مِنَ النِّفَاقِ)
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).



Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:



a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri istrinya;



b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari "AMDZAIT-UL-FARAS" yang artinya: "Aku telah melepaskan kudaku untuk merumput."(Lihat Ibnul ‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).



Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām Al-Qazwīnī menukil pendapat Imām Al-Halīmī tentang arti Hadīts tersebut, yaitu (Lihat Imām Al-Halīmī, MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan lainnya, atau membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.



Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah harām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-main seperti layaknya suami-istri. Ternasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:



(الْوَسِيْلَةُ إِلى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula (dikerjakan)."



Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita. Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām lainnya. Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan, saling menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berrangkulan dan berpelukan, dan perbuatan yang lebih jauh dari itu. Di samping itu, mereka juga menenggak minuman keras sampai teler. Tidak jarang acara sejenis itu menghantarkan mereka kepada perbuatan dosa besar, yaitu bersetubuh dengan pasangannya. Lantas kita mendengar banyak di antara remaja yang berbadan dua.



Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 8593):



(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ)
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR. ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).



Kata "menyerupai" di dalam Hadīts tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata "suatu kaum". Inilah adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut masalah tari-tarian.



3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya.



4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :



(فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا) (الملك: 15)
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).



atau:



(اُرْكُضْ بِرِجْلِكَ) (ص:42)
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).



atau Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka, hukum asal menari adalah mubāh selama tidak melampaui batas-batas syara‘ yang telah disebutkan pada butir-butir sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:



(لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَ لاَ مَنْ تَشَبَّهَ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ)
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Āsh).




TAWASSUL
Imam Ibnu Taimiyah:

Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)

“Do’a apabila disetai dengan bertawassul kepada Allah lewat perantara seorang makhluk adalah khilaf far’I dalam tatacara berdo’a dan bukan merupakan masalah aqidah” (Asy-Syahid Hasan Al-Banna)

MUKADIMAH

Setiap kali ada musibah dan ujian yang menghantui kehidupan manusia muslim, ia harus kembali kepada Allah Yang Maha Kuasa, Rabb Semesta Alam. Karena ia meyakini bahwa Allahlah Rabb yang mampu menyingkap hijab-hijab kesulitan, kefakiran dan kepayahan para hambaNya. Dan ia juga meyakini bahwa Dialah yang mampu memberikan pertolongan, kemudahan dan petunjuk. Tidak ada kekuatan lain yang mampu melakukan hal ini selain Dia, Allah SWT. Hal ini didasarkan beberapa firmanNya berikut ini;

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS 27:62)

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS 10:12)

Terkadang dalam memohon dan berdo’a, manusia sering menggunakan perantara -atau yang disebut dengan tawassul dalam terminology aqidah- antara dirinya dan Tuhannya. Karena mereka merasa tidak mampu, lemah dan tidak memiliki apa-apa di hadapan Tuhannya. Hal ini mereka lakukan agar do’a dan permohonannya terkabulkan dengan segera.

Namun sebagai manusia muslim, ia harus selalu memperhatikan rambu-rambu Islam dalam masalah tawassul, karena tidak semua bentuk tawassul atau perantaraan yang berkembang dalam masyarakatnya diperbolehkan dalam ajaran Islam. Boleh jadi seorang muslim dalam berdo’a, ia bertawassul dengan kuburan-kuburan, batu-batuan dan pepohonan yang dikramatkan. Bahkan ada yang meyakini adanya kekuatan lain atau penguasa lain selain Allah SWT yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang ada di bumi ini. Seperti orang yang meyakini adanya Dewa laut, Dewa angin, Dewa Fortuna dan Dewa-dewi lainnya. Dan ini merupakan bentuk penyimpangan yang ada dalam masalah tawassul yang harus dijauhi oleh setiap manusia muslim.

Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam kubangan-kubangan kekufuran dan kesyirikan, setiap muslim harus kembali kepada Allah SWT dalam seluruh bentuk ibadahnya. Berdo’a dan berharap hanya kepada Allah SWT, tawakkal dan istighosah atau isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah semata. Perhatikan beberapa ayat Al-Quran di bawah ini;

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS 2:186)

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS 7:55)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS 40:14)

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)

DEFINISI TAWASSUL

Secara etimologi tawassul berasal dari kata tawassala yatawassalu tawassulan yang berarti mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat.

Dan secara terminology, tawassul adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan wasilah (perantara). Wasilah sendiri berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap sesuatu yang dijadikan perantara pendekatan dalam berdo’a. Imam An-Nasafi berkata: “Wasilah adalah semua bentuk di mana seseorang bertawassul atau mendekatkan dirinya dengannya.”

Arti ini bisa kita temukan dalam beberapa firman Allah berikut ini;

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS 5:35)

Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan apapun atau bentuk kedekatan apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT). (juz 10/ 290)

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS 17:57)

MACAM-MACAM TAWASSUL

Dari definisi di atas bisa kita konklusikan bahwa tawassul terbagi menjaid dua macam;

Pertama, Tawassul Masyru’

Tawassul Masyru’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan diridloi Allah SWT seperti taqarrub dengan ibadah wajib atau sunnah dan amal-amal saleh yang lain. Dan tawassul masyru’ ini ada tiga jenis yang telah disepakati oleh Ulama. Yaitu;

1. Tawassul kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-sifatNya yang mulya. Sebagaiman FirmanNya;

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)

Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a kepadanya dengan menggunakan nama-namaNya. Karena do’a yang menggunakan nama-nama dan sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, siapa saja yang menjaganya (menghafalnya) niscaya ia kan masuk surga. Dan Dia adalah witir (ganjil) mencintai yang witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)

Dalam hadits shahih yang lain Beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku memhon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki. Engkau telah menamakan Dirimu dengannya atau Engkau telah menurunkannya dalam Kitabmu atau engkau telah mengajarkannya kepada seseorang dari makhlukmu atau Engkau simpan sendiri dalam ilmulghaib (rahasia ilmu) yang ada di sisiMu, semoga Engkau menjadikan Al-Quran al-Adziim kebahagian hati-hati kami….”

2. Tawassul kepada Allah dengan amal saleh, di mana seorang hamba memohon kepada Allah dengan amalnya yang palik baik seperti shalat, puasa, keimanan, ketauhidan, kecintaan, meninggalkan kemaksiatan dan semacamnya. Sebagaiman yang pernah dilakukan oleh Ashhabul ghaar (Orang-orang yang masuk gua) yang terperangkap dalam gua. Lalu setiap mereka berdo’a kepada Allah dengan amal-amal mereka agar Allah membukakan pintu gua yang tertutup dengan batu besar. Satu di anatara mereka bertawassul dengan iffahnya (penjagaannya) dari zina, yang kedua dengan birrul walidain dan yang ketiga dengan amanah atas upah pegawainya. (HR Al-Bukhari Muslim)

Perhatikan beberapa ayat di bawah ini;
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)”.(QS 3:53)

3. Tawassul kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim mendapatkan musibah, kepayahan dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh minta tolong kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah memudahkan dan menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk pertolongan antara mukmin dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS 5:2)

Rasulullah bersabda: “Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba itu membantu saudaranya.”

Dan kisah istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang datang pada hari Jum’at meminta Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan kepadanya. Lalu Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun dengan deras. (HR Ahmad dan Al-Bukhari)

Rasulullah saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata kepada Umar di saat minta izin umrah: “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam do’amu.”


Kedua, Tawassul Mamnu’

Tawassul Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Tawassul semacam ini tidak diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan sumpah dengan makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;

1. Tawassul kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati atau ghaib dan semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentang dengan tauhid. Karena mayit tidak akan memberikan manfaat dan madharat dalam tawassul.

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS 35:13)

2. 1. Tawassul kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan yang dilarang Islam, seperti makan-makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh lainnya, membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di keramatkan dan semacamnya.

Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid. Bahkan ini bentuk neo-paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka meyakini adanya kekuatan lain yang mampu memberikan pertolongan selain Allah SWT. Sebagian ada yang percaya dengan adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang menguasai lautan dan daratan sehingga mereka melakukan perayaan dan sesajen sebagi bentuk tawassul atau bahkan memohon langsung pada berhala-berhala yang mereka tuhankan ini. Allah berfirman;

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS 7:191-192)

Begitu juga Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau tempat peninggalan para Nabi dan para Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki kemulyaan, keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan orang yang bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu juga yang dilakukan Umar bin Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah menunaikan salat shubuh berjalan-jalan ke suatu tempat di mana banyak manusia datang ke sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada Umar: “Rasulullah saw mengerjakan shalat si tempat ini.” Kemudian Umar berkata: “Sungguh telah binasa orang-orang ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para Nabi mereka sebagai sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)

Imam Malik juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk tujuan tawassul. Ketika ditanya seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata: “Jika bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke masjid maka lakukanlah.” (Al-Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)

3. Tawassul kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh.

Tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul Al-‘Isyriin berkata: “Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan seseorang dari makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan merupakan masalah-masalah aqidah.”

Begitu juga Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)

Ia juga berkata: “Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan apa-apa yang diperselisihkan Ummat ini harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)

Hal ini juga diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa Anwa’uhu wa Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz (Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir) dan Syekh Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil Islam)


Meskipun demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih setelah melihat dalil-dalil dari setiap pendapat para Ulama. Inilah beberapa pendapat para Ulama tentang tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh;

Pertama, Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini;

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS 53:39)

Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan. Untuk memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas untuk mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra. Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami apabila tertimpa kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami, akhirnya mereka diberikan hujan.”

Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini……. Menunjukan bahwa tawassul merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta dengan dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul dengan dzat Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu Taimiah, 58)

Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw “Aku bertawassul denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi), maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah utnuk mendo’akannya. Karena Rasulullah selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya karenaku.” (Imam Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan)

Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi Allah matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa al-maudhu’at, Al-Baany)

Dan sementara bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang dan bertentangan dengan syari’at;

* Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah
* Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
* Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat.
* Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.


Kedua, Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul dengan dzat Rasulullah saw khusus dan tidak dibenarkan dengan selainnya. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal, sementara Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan dzat orang-orang yang saleh selain Nabi. Dalil mereka adalah istisqonya Umar yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan hadits orang yang buta yang meminta dikembalikan matanya.

Dan beberpa hadits ini dijawab para Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan dengan orang buta adalah dho’if.

SIKAP SEORANG MUKMIN

Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri.

Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tentunya selain menjaga etika-etika berdo’a yang telah ditetapkan para Ulama seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab Al-Jawaab Al-Kaafi. Hal ini dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan Allah SWT.




ASSYURO
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa pada hari 10 Muharram disyari'atkan untuk berpuasa. Ibnu Abbas menceritakan :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura' ( tanggal 10 Muharram), maka beliau bertanya: "Hari apakah ini?" Mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari itu karena syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian", maka Nabi berpuasa Asyura' dan memerintah-kan puasanya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bid'ah-bid'ah Asyura'
10 Muharram 61 H adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah Al-Husen bin Ali (ra) di padang Karbala. Karena peristiwa berdarah ini, setan berhasil menciptakan dua kebid'ahan sekaligus.

Pertama : Bid'ah Syi'ah

Asyura' dijadikan oleh Syi'ah sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap Asyura', mereka memperingati kematian Al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah, Ahmad Al-Kisrawiy Asy-Syi'iy, hal. 141, Tahqiq Dr. Nasyir Al-Qifari).

Kedua : Bid'ah Jahalatu Ahlissunnah

Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang Ahlussunnah yang jahil (Bodoh) menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria.

Menurut Ahmad Al-Kisrawi Asy-Syi'iy: "Dua budaya (bid'ah) yang sangat kontras ini, menurut literatur yang ada bermula pada jaman dinasti Buwaihi (321H - 447 H.) yang mana masa itu terkenal dengan tajamnya pertentangan antara Ahlus-sunnah dan Syi'ah. Orang-orang jahalatu (bodoh) Ahlussunnah menjadikan Asyura' sebagai hari raya dan hari bahagia sementara orang-orang Syi'ah menjadikannya sebagai hari duka cita, mereka berkumpul membacakan syair-syair haru kemudian menangis dan menjerit." (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah hal.142)

Sementara Syekh Ali Mahfudz mengatakan bahwa di Kufah ada kelompok Syi'ah yang sampai ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Al-Husen (ra) yang dipelopori oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi (tahun 67 H dibunuh oleh Mush'ab bin Az-Zubair) dan ada kelompok Nashibah (yang anti Ali beserta keturunannya), yang diantaranya adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Dan telah disebut di dalam hadits shahih. "Sesungguhnya (akan muncul) di Tsaqif (kepala suku dari Hawazin) seorang pendusta dan pembantai."

Pendusta tadi adalah Al-Mukhtar yang memperselisihkan keimamahan Ibnul Hanafiyah, dan pembantai tadi adalah Al-Hajjaj yang membenci Alawiyyin, maka yang Syi'ah tadi menciptakan bid'ah duka cita sementara yang Nashibah menciptakan bid'ah bersuka ria. (Al-Ibda' hal. 150)

Bid'ah-bid'ah tersebut berbentuk :

* Menambah belanja dapur.

Banyak riwayat yang mengatakan :"Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. At-Thabraniy, Al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr).

Asy-Syabaniy berkata: semua jalurnya lemah, Al-Iraqi berkata : sebagian jalur dari Abu Hurairah dishahihkan oleh Al-Hafidz Ibnu Nashir, jadi menurutnya ini hadits hasan, sedangkan Ibnul Jauzi menulisnya di dalam kumpulan hadits palsu (Tamyizuth-Thayyib minal Khabits, no. 1472, Tanbihul Ghafilin, 1/367).
Sementara itu imam As-Suyuthi dengan tegas mengatakan : "Telah diriwayatkan tentang keutamaan meluaskan nafkah sebuah hadits dhaif, bisa jadi sebabnya adalah ghuluw di dalam mengagungkannya, dari sebagian segi untuk menandingi orang-orang Rafidhah (Syi'ah) karena syetan sangat berambisi untuk memalingkan manusia dari jalan lurus. Ia tidak peduli ke arah mana --dari dua arah-- mereka akan berpaling, maka hendaklah para pelaku bid'ah menghindari bid'ah-bid'ah sama sekali." (Al-Amru Bil Ittiba', hal.88-89)

Imam Ahmad mengatakan ketika ditanya : "Hadits ini tidak ada asalnya, ia tidak bersanad kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Ibnul Muntasyir, sementara ia adalah orang Kufah, ia meriwayatkan dari seorang yang tidak dikenal." (Al-Ibda', Ali Mahfudz, 150)

* Memakai celak (sifat mata).
* Mandi.

Mereka meriwayatkan sebuah hadits: "Barangsiapa yang memakai celak pada hari Asyura', maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari Asyura', ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut As-Sakhawi, Mulla Ali Qari dan Al-Hakim) (Al-Ibda', hal. 150-151)

* Mewarnai kuku.
* Bersalam-salaman.

Imam As-Suyuthi mengatakan : "Semua perkara ini (no. 2-5) adalah bid'ah munkarah, dasarnya adalah hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ." ( Al-Amru bil Ittiba', hal.88)

* Mengusap-usap kepala anak yatim.

Memberi makan seorang mukmin di malam Asyura'. Mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu dengan sanad dari Ibnu Abbas yang mirip dengan haditsnya orang Syi'ah yang berbunyi:

"Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura' dari bulan Muharram, maka Allah memberinya (pahala) sepuluh ribu malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah dan sepuluh ribu orang mati syahid. Dan barangsiapa memberi buka seorang mukmin pada malam Asyura', maka seakan-akan seluruh umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berbuka di rumahnya sampai kenyang." (Hadits palsu dinyatakan oleh imam As-Suyuthi dan Asy-Syaukani, no. 34, lihat Tanbihul Ghafilin, 1/366).

* Membaca do'a Asyura' seperti yang tercantum dalam kumpulan do'a dan Majmu' Syarif yang berisi minta panjang umur, kehidupan yang baik dan khusnul khotimah. Begitu pula keyakinan mereka bahwa siapa yang membaca do'a Asyura' tidak akan meninggal pada tahun tersebut adalah bid'ah yang jahat. (As-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad Asy-Syuqairi, hal.134).
* Membaca "Hasbiyallah wani'mal wakil" pada air kembang untuk obat dari berbagai penyakit adalah bid'ah.
* Shalat Asyura'. Haditsnya adalah palsu, seperti yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam Al-La'ali Al-Mashnu'ah (As-Sunan wal Mubtada'at, 134).

Asyuro dalam Tradisi dan Kultur Kejawen
Bulan Suro banyak diwarnai oleh orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain : Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh dibuat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan dan lain-lain yang ada hanya ritual.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah dan animisme, dinamisme dan Arab jahiliyah. Dulu,orang Quraisy jahiliyah pada setiap Asyura' selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah) (Fathul Bari, 4/246). Kini, orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.

Di dalam Islam, Asyura' tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (Syi'ah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri (Jahalatu Ahlissunnah) dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura' dengan satu hari sebelumnya atau juga dengan sehari sesudahnya. Waallahu-a'lam. (Abu Hamzah A. Hasan Bashori)

* * *

Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu berkata : Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa."

Senin, 12 Januari 2009

syuhada

Komandan Lapangan Ahli Strategi, Yasir Galban
[ 13/11/2007 - 07:41 ]



Yasir Galban merupakan sosok pemuda yang yakin akan janji Allah, seorang yang mukhlis, mujahid dan reformer. Ia telah mencapai keberhasilan dengan gemilang menggapai derajat syahid. Derajat tertingi setelah para nabi. Ditempatkan oleh Allah dalam surgaNya kekal di dalamnya.



Kelahiran dan pertumbuhanya

Al-Syahid Galban lahir pada tanggal 8 Oktober 1979. Hidup dalam keluarga yang taat agama, namun terlunta-lunta di daerah penngungsian. Nenek moyangnya berasal dari wilayah Kfar Ana wilayah jajahan Israel. Sejak kecil ia paling aktif dalam kegiatan keagamaan. ia juga terkenal ikhlas dalam setiap kegiatan. Wajahnya selalu cerah mengembang senyuman. Semua orang tentu menyukainya, teman-temanya, saudaranya dan lain sebagaianya. Yasir adalah putra terbaik Khanyunis. Salah satu kota pintu gerbang masuk Palestina yang kaya akan para pahlawanya. Ia sangat berbakti pada kedua orang tuanya, mencintai saudara dan temanya.



Pendidikanya

As-Syahid Galban mengecap pendidikan ibtidaiyah pada tahun 1985 di Madrasah Muan, lalu ke sekolah persiapan (SMP) di sekolah khusus laki-laki di Bani Suhaila. Tingkat tsanawiyahnya ia lenjutkan di Sekolah Kamal Nasher. Seleseai di Kamal Nasher ia melanjutkan di Universitas Islam fak. Syari’ah. Kuliahnya terhenti karena ditangkap serdadu Israel dan dipenjarakan selama satu tahun. Ia juga diincar oleh pembunuh bayaran pasukan penjaga keamanan di Khnayunis.



Karakter dan aktifitas dakwahnya

Sejak kecil, Galban terkenal senang melakukan aktifitas ibadah. Tempat yang paling senang ia kunjungi adalah Masjid Muin bin Zaid. Maka tak heran bila ia tumbh sebagai pemuda yang zuhud, taat ibadah dan wara. Ia tidak berbicara terhadap sesuatu kecuali bila ada nashnya dari Allah ataupun NabiNya. Ia memulai kegiatannya dengan menghapalkan al-Qur’an, menghadiri majelis ta’lim dan ibadah-ibadah lainya. Hatinya selalu terkait dengan masjid. Ia selalu menunaikan salat fardu di Masjid. Bagaimana tidak, ia seorang pionir da’wah di masjid tersebut. Ia lah penggerak hamper semua kepanitiaan masjid dimulai penggalangan dana hingga aksi social. Ia tidak membatasi hanya mengunjungi saudara-saudara dan kerabatnya saja. Bahkan ia sering mengunjungi para pemuda yang jarang atau tidap pernah kelihatan shalat atau ibadah. Yasir Galban adalah pemuda yang tidak pernah terlambat datang dalam semua kegiatan yang diadakan Gerakan Hamas. Ia selalu datang sambil membawa sejumlah pemuda lainya. Yang menjadi prioritas da’wahnya adalah mendidik genarasi muda dan mengarahkan mereka kepada jalan yang benar. Agar mereka bisa sampai pada kesuksesan. Yasir menganggap dirinya bertanggung jawab tentang maju mundurnya pemuda di kampungnya. Ia dikaruniai sipat kepemimpinan dan keberanian juga kecintaanya terhadap Kitab Allah, Al-Qur’an sebagai rujukan utamanya dalam mengarahkan para pemuda, agar menjadi genarasi Qur’ani. Ia sennatiasa mennyapa dahulu teman-temanya sebelum ia beranjak ke peraduan. Menurut adiknya, Yasir adalah pemuda yang menggapai derajat syahid yang tidak kenal lelah maupun bosan. Ia selalu menasehati dan membimbing teman-temanya. Ia bersipat penyayang pada teman-temanya, namun sangat keras pada musuh-musuh Allah dan musuh ummat manusian.



Bergabung Dengan Brigade Al-Qossam

Yasir Galban bergabung dengan Barisan Izzuddin al-Qossam ketika terjadinya Intifadhah al-Aqsha. Ia telah memilih jalan yang penuh lubang dan berduri. Jalan yang ia tempuh dihiasi dengan kesulitan dan kepayahan. Ia termasuk sabiqunal awwalun Al-Qossam, karena sipat-sipatnya yang sitimewa, sepetri kebaranian dan keteguhanya serta kemampuanya dalam perenencanaan gerakan. Sering kali ia menempuh perjalanan untuk menanam ranjau darat bagi kendaraan-kendaraan tempur Israel. Ia adalah singa di padang pasir. Dirinya tidak takut pada siapa pun kecuali pada Allah. Yang menjadi menjadi prioritasnya adalah keikhlasan, kepiawaian dan kelincahan. Ia juga terkenal sebagai perancang perjuangan Al-Qossam dan aktif di dinas militer Brigade Al-Qossam.



بيانكتائب القسام





{مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً }

Surat Keterangan Militer dari

Brigade Izzuddin Al-Qossam

Tentang Syahidnya Komandan Al-Qossam, Yasir Galban





Wahai para mujahid Palestina, wahai bangsa Arab dan ummat islam.

Dengan melalui jalan yang penuh duri bersama para kafilah da’wah, telah berpulang ke Rahmat Allah mendahului kita menyusul para pendahulunya yang telah lebih dulu mempersembahkan jiwa dan raganya dalam menolong agama Allah dan mempertahankan tanah suci Alquds serta melawan kezaliman dan mengusir musuh-musuh Allah dari Palestina. Mereka mendabakan syuhada dalam memerangi yahudi yang terus maju pantang mundur. Tentu sedikitpun tidak ada masalah, walau berbagai fitnah, ataupun luka dari siapapun.

Hari ini, al-Syahid Yasir Galban telah menghadap Allah dengan luka-luka akibat pertempuranya dengan pasukan penjaga keamanan pimpinan Abbas. . Hari ini tanggal 04 Juni 2006 komandan Al-Qossam telah mengakhiri tugas mulianya di dunia dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil dan dua anaknya yang masih kecil. Dialah komandan lapangan :

Yasir Ibrahim Al-Galban (26 tahun)

Warga Khanyunis

Kami atas nama Brigade Al-Qossam dengan ini menegaskan tidak akan mengizinkan siapapun menyentuh para mujahid kami. Kami berjanji akan terus melanjutkan perjuangan mengikuti jejak para pendahulu kita hingga mendapatkan dua kebaikan, kemenangan atau mati syahid.

Hanya ada Jihad dan menang atau mati sayahid

Brigade Izzudin al-Qossam

Jum’at 20 Jumadil Ula 1927 H.

16 Juni 2006




halaman utama - Profil Syuhada
cetakan E-Mail
Ibrahim Ahmad, Syahid Yang Keluarganya Memaafkan Pembunuh Anaknya
[ 10/07/2007 - 10:22 ]



Ibrahim Ahmad Ibrahim Abu Nar, Abu Husen dilahirkan tanggal 12/04/1977 di kamp militer Nazaret, ia baru berumur 30 tahun. Didik dalam keluarga yang taat beragama. Nenek moyangnya berasal dari distrik Aqir. Ia tak pernah ketinggalan shalatya di masjid. Sejak kecil memang ia sudah dibiasakan oleh ayahnya untuk selalu ke masjid, hingga shalat shubuh pun selalu dibawanya. Oleh karena itu ia hidup dalam keluarga kecil namun penuh dengan ketawadhuan.
Pendidikanya di mulai di tingkat TK milik organisasi kemanusiaan. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke sekolah khusus bagi para pengungsi dan berhasil memperoleh nilai rata-rata 8. Ia dikenal oleh teman-temanya sebagai pribadi yang sholeh berakhlaq mulia. Ia disukai oleh teman-temanya.

Lalu ia melanjutkan sekolah menengah umum (SMU) di sekolah Kholid bin Walid. Semasa di SMU ia sudah ikut brbagai kegiatan Hamas dan ikut dalam organisasi Mahasiswa Islam. Namun kegiatan berlajarnya berhenti karena ia ditangkap oleh serdadu Israel ketika berusia 15 tahun.

Orang tua dan keluarganya.

Hubungan Ibrahim dengan kedua orang tuanya berjalan baik. Ia memperlakukan orang tuanya dan saudara-saudaranya dengan penuh kecintaan. Sejak kecil memang, ia sudah mencintai saudara-saudaranya dengan penuh kasih sayang. Ia sering menggendong-gendong adik-adiknya ke sana kemari. Ia sangat taat pada orang tuanya, bahkan ketika disuruh pada sesuatu yang ia tidak suka pun, tetap saja ia melakukannya. Ia pernah pergi bersama ibunya ke Yordania untuk mengobati sakit jantungnya. Ibunya sudah menderita penyakit jantung sejak lama. ia pernah menemani ibunya pergi ke rumah sakit di Der Balah pada jam satu malam lalu. Kemudian ia pulang ke rumahnya. Karena tidak ada kendaraan, akhirnya ia berjalan kaki menuju rumahnya dan sampai rumah kira-kira jam empat pagi dan langsung pergi ke masjid karena sudah shubuh.

Pengalaman Organisasi

Ibrahim ikut bergabung bersama gerakan Islam dalam berbagai kegiatan social. Ia juga pernah jadi pengurus kantor Hamas pada pemilu parlemen tahun kemarin. Perlu disebutkan di sini, walaupun ia aktif di Brogade Al-qossam sebagai komandan lapangan, namun ia masih sempat bekerja sebagai tim pengawas pemilu parlemen kemarin.

Aktivitas Jihad

Disebabkan kerinduanya pada Negara dan kecintaanya terhadap syahid, ia bergabung bersama barisan al-Qossam di penghujung intifadhah al-Aqsha, dalam rangka membela dan mempertahankan negaranya. Ia bergabung dengan Al-Qossam pada tahun 2002 an. Ia ditempatkan di bagian teknik pembuatan bom tangan. Kemudian dipindahkan menjadi teknisi pembuat roket jenis ringan serta ranjau darat. Lalu ia dipindahkan lagi menjadi komandan lapangan Al-Qossam.

Selintas tentang amal jihadnya.

Ibrahim terlibat sejumlah pertempuran dengan Israel. Ia bergabung dengan pasukan roket Al-Qossam yang menembakan soket-roketnya kea rah permukiman Israel di Natsarem. Tugasnya waktu itu ialah menggempur menara pengintaian Israel. Ia juga terlibat dalam penempatan ranjau-ranjau darat di jalan Al-Behr, wilayah Al-Faruq dan Shalahuddin. Ia juga tergabung dalam operasi pengintaian serdadu Israel di wilayah perbatasan.

Aksi pengintaian

- Aksi pengintaian terhadap seorang serdadu di permukiman Netsharem

- Operasi pengintaian Buldoser Israel di Der Balah selama 10 jam yang berakhir dengan kemuliaanya mencapai syahadah

- Menintai tank Israel di dekat permukiman Kesuvem sepanjang 8 jam bersama komandan Abdul Nasher Abu Syauqah yang diabadikan melelui cameranya.

Perjanjian bersama para Syuhada

Di harian Palestina yang terbit hari Selasa tanggal 12/2007, setelah terjadinya pertempuran sengait antara Al-Qossam dengann pasukan keamanan bentukan Abbas yang berakhir dengan dikuasainya Jalur Gaza serta menyerahnya kelompok kudeta tanpa ada yang terluka sedikitpun. Ibrahim kemudian menuju ke wilayah Kamp pengungsian, menyusul kabar bahwa rumah salah seorang komandan Al-Qossam dikepung kelomok kudeta. Lalu ia bergegas menuju ke sana dan membagi-bagi pasukan untuk menghadapinya. Namun tak terlihat salah seorang pasukan kudeta menembakan tiga pelurunya ke arah Ibrahim. Dua meleset yang satu mengenai bom yang menggantung di badanya. Mengakibatkan bom itu meledak dan menghancurkan tubuh as-Syahid Ibrahim. Ia sempat di rumah sakit selama tiga hari dan akhirnya meninggal syahid pada hari Jum’at tanggal 15 Juni 2007.

Pengampunan Orang Shaleh.

Setelah pasukan Al-Qossam berhasil menguasai keadaan dan menangkap para perusuh kudeta. Dan setelah diadakan pemeriksaan terhadap seluruh pasukan kudeta serta pengakuanya atas aksi penembakan itu, Brigade Al-Qossam memerintahkan agar pelaku penembakan terhadap Al-Syahid Ibrahim dihukum Qishash.

Ketika orang-orang berkumpul untuk menyaksikan pengadilan Qishash, maka dihadirkanlah sang pembunuh Ibrahim. Ia datang dengan membawa kain kafan, tampak di muka raut ketakutan akan kematianya yang akan segera menjemputnya. Namun tiba-tiba datang salah seorang yang mengatasnamakan keluarga Ibrahim dan memaafkan kesalahan sang pembunuh serta menyerahkanya pada keluarganya. Keluarga As-Syahid Ibrahim tidak minta apapun, sebagai gantinya. Mereka hanya minta gantinya dari Allah subhana wata’ala.

Sikap yang sangat mulia yang ditunjukan oleh keluarga As-Syahid, bahkan mereka berterima kasih kepada Al-Qossam yang telah membersihkan Jalur Gaza dari para perusuh kelompok kudeta. (asy)


Al-Syahid Ahmad Iwadh
[ 04/06/2007 - 01:42 ]


COMES-Al-Syahid Ahmad Rajab Iwadl lahir pada tanggal 2 Pebruari 1976 di kampong al-Zaitun sebelah timur kota Gaza. Mengenyam pendidikan di sekolah dasar milik Lembaga Internasional untuk pengungsi Palestina (UNRWA).

Setelah tamat di sekolah dasar al-Zaitun dengan nilai sangat baik (8,01-8,99) kemudian ia melanjutkan pendidikanya di sekolah menengah pertama dan umum al-Syajaeyah. Selesai di Syajaeyah kemudian al-Syahid melanjutkan studinya di Universitas Islam jurusan Biologi. Selain tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Islam di Gaza ia juga aktif di organisasi faksi Islam pada Universitas tersebut .

Setelah ia keluar dari Universitas Islam, ia bekerja sebagai pembantu administrasi di Kejaksaan Tinggi Palestina. Karirnya terus menanjak hingga menjabat direktur umum, mengingat dedikasi dan kemampunya dalam bidang tersebut. Bahkan menurut informasi yang bisa dipercaya, Menlu Mahmud Zehar telah menunjuk al-Syahid sebagai direktur umum di departemennya. Sebelumnya al-Syahid juga menjabat sebagai direktur umum kepresidenan, sebelum Hamas menjadi pemimpin di Palestina.

Peristiwa ini hanya beberapa pecan sebelum pesawat Israel membombardir mobil yang ditumpanginya bersama saudara seperjuanganya pada hari Ahad 8 Nopember 2006.

Semua orang tersentak, bahwa suami dari putri menlu Palestina Dr. Mahmud Zehar adalah seorang arsitek militer di brigade Al-Qossam, sayap militer gerakan perlawanan Hamas.

Status Sosial

Al-Sayhid adalah suami dari putri Menlu Palestina, Mahmud Zehar. Dikaruniai dua orang putra masing-masing Muadz baru berumur satu setengah tahun dan Rajab yang baru berumur empat bulan.

Ketika Al-Syahid datang ke rumah Zehar untuk meminang putrinya, Zehar menanyakan dahulu pada putrinya, apakah ananda mau terima bila kehidupan ananda dimasa yang akan datang penuh dengan bahaya karena selalu diincar oleh Israel seperti keadaan sekarang ?.

Aktivitas Dakwah

Al-Syahid sebagai penanggung jawab sejumlah aksi massa, seperti aksi di Masjid Shalahuddin masjid terbesar di Gaza yang paling banyak melahirkan kader-kader intifadhah pertama dan kedua. Ia juga sempat menjadi pimpinan di dalam organisasi kemasjidan tersebut sebelum ia melanjutkan kuliahnya di Universitas Islam Gaza. Saat itu ia tahu bahwa ia harus merahasiahkan betul identitasnya dalam wadah kegiatan yang penuh resiko. Apalagi untu memangku sebagai pimpinan organisasi tersebut.

Pada awal- awal tahun di Universitas Islam Gaza ia bergabung dengan kelompok Ikwanul Muslimin. Padahal ia baru menginjak di usianya yang ke 18 tahun. Karena salah satu persyaratan ikut organisasi IM bila umurnya sudah mencapai 18 tahun. Namun karena wawasanya dan kemampuanya ia diterima menjadi anggota IM walau dengan syarat umur minimal.

Bergabung Dengan Al-Qossam

Al-Syahid bergabung dengan kelompok Izzuddin Al-Qossam pada awal tahun 2000. Pada saat awal terbentuknya Brigade Al-Qossam, setelah mendapat berbagai gempuran dari dinas keamanan pemerintahan. Peristiwa tersebut sebelum meletusnya intifadhah kedua.

Namun namanya tidak tercantum di dalam jajaran pimpinan brigade Al-Qossam, tetapi masuk dalam jajaran para konseptor dan insinyur pembuat bom pada awal tahun 2001, namun itu baru awal, masih jauh dari tujuan.

Pengembangan alat-alat perang

Al-Syahid merupakan profil muslim yang cerdas, innovator, punya ekses besar dalam perkembangan bom yahudi dari sekedar meledak hingga yang berbentuk elektronik seperti sekarang, yang bisa diledakan secara otomatis seperti yang pernah dilakukan oleh saudara seperjuanganya Al-Syahid Ahmad Musytaha.

Setelah beberapa bulan kemudian ia berpindah ke bagian pengembangan roket al-Qossam menyusul penciptanya Al-Syahid Komandan Nidhal Farhat yang berhasil membuat roket jenis baru yang dinamakan roket Qossam. Al-Syahid Ahmad berkerja denganya dan berhasil mengembangkan roket yang diberinama Qossam 1 yang mampu membawa hulu ledak setara dengan 1 kg TNT yang mampu meluluhlantakan satu wilayah dalam radius satu kilo meter.

Setelah Komandan Nidhal Farhat syahid sebagai pencipta roket Qossam serta pembuatnya Muhammad Salami maka bidang pengembangan roket dimpimn oleh Mujahid Tito Mas’ud dan wakilnya al-Syahid Suhail Abu Nahl keduanya kemudian menjadi tawanan Israel pada tahun 96 an bersama sejumlah anggota lainya, seperti Ahmad Iwadl, Mufid Bal, Shabir Abu Ashi dan Akram Nasher, Mahdi Musytaha yang kemudian mereka meninggal syahid.

Menyusul syahidnya Tito Mas’ud dan wakilnya Suhail Abu Nehel di perkampungan Syajaeyah, maka kepemimpinan beralih kepada komandan syahid Mahdi Musytaha dan menjadikan Ahmad Iwadl sebagai wakilnya sebagai ketua pengembangan dan perancang roket-roket Qossam.

Kemudian setelah Mahdi Musytaha meninggal syahid, maka ketua pengembangan dan pembuatan Qossam beralih kepada Ahmad Iwadl.

Maka mulailah Ahmad Iwadl atau dikenal dengan nama Abu Muadz menyusun program pengembangan serta merekrut sejumlah mujahid yang mempunyai bakat inovasi dan berhasil mengembangkan qossam hingga menjangkau 7 km dengan hulu ledaknya bisa menjangkau 5 km. Saat ini tim Qossam berhasil mengembangkan roketnya yang dapat menjangkau 12 km dengan hulu ledak beradius 8-10 Km. tim Al-Qossam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari brigade Izzudin Al-Qossam.

Yang berhasil mengembangkan roket Qossam seperti saat ini adalah, al-Syahid Ahmad Iwadh Abu Mu’adz. Ia berhasil mengembangkan roket ini dalam waktu kurang dari 5 tahun.

Beberapa sumber menyatakan, bila Ahmad Iwadl tidak bergabung dalam sejumlah operasi militer, karena ia konsen dalam masalah pengembangan roket. Maka tak heran bila pembawaannya penuh rahasia, tenang dan jauh dari pusat perhatian massa.

Keadaan ini terus berlangsung hingga saat pembunuhannya. Namun tatkala para penjagaan keamanan tertangkap oleh pemerintah Israel terkait aksinya menyerang permukiman Sederot termasuk yang ditangkap saat itu, keturunan Nidhal Farhat, seorang mujahid ke tiga, maka tekuaklah bahwa Ahmad Iwadl bekerja dibidang pengembangan roket, namun tidak diketahui dimana tinggalnya. Kecuali beberapa saat sebelum penembakan terhadap mobil yang ditumpanginya.

Kesyahidanya

Pada hari Rabu tanggal 17 Syawal 1427 H atau bertepatan dengan tanggal 8 Nopember 2006, Al-Syahid menemui Tuhanya, bersamanya seorang mujahid Al-Qossam Ramzi Yusuf Suhaiber (36 tahun). Keduanya meninggal digempur rudal Israel yang ditembakan dari pesawat pengintai mereka di Jalan Ahmad Yasin kampong Al-Zaitun Kota Gaza.

Brigade Izzuddin mengumumkan kesyahidanya serta mengangkat kedua jenazah tersebut seraya berjanji akan terus melanjutkan perjuangan kedua mujahid ini, hingga menjemput salah satu dari dua kebaikan, “Hidup Mulia Atau Mati Syahid”

Ahmad Iwadh bukanlah mujahid biasa, tetapi beliau termasuk kepada jajaran pejuang pengukir sejarah. Apakah ada saat ini seorang pejuang yang dengan pengorbananya kecerdasanya serta keuletanya mampu memberikan semangat kepada para mujahid lainya dalam rangka membela hak-hak mereka merebut kemerdekaaan dari tangan penjajah yahudi laknautllah dan dapat menggetarkan musuh-musuh (Israel) dengan roket buatanya.

Apakah ada seorang mujahid yang tidak pernah kelihatan bahkan ia berjuangan dengan diam. Tiba-tiba semua orang terhenyak dengan keberadaanya dan dengan jajak kepahlawananya yang mulia.

Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Mua’adz serta menerima amal jihadmu dan mengumpulkanmu bersama para syuhada, para nabi, para Sadiqin dan orang-orang shaleh lainya. Serta mudah-mudahan Allah mengaruniakan kesabaran kepada keluarga, saudara seperjuangan dan setiap orang yang mencintaimu. Mudah-mudahan Allah memuliakanmu dengan syafa’at dan menaungimu pada saat tidak ada nauangan kecuali nauangan Allah. (pi/asy)

Nenek Pertama Pelaku Mati Syahid
Hj, Fatimah Al-Najjar
[ 04/06/2007 - 01:56 ]

COMES-Aku persembahkan jiwa raga ini untuk Allah, Palestina dan Al-Aqsha. Aku berharap Allah dapat menerima amal ibadahku ini. Aku juga berkorban demi para tawanan Palestina. Selanjutnya aku sampaikan salam untuk Abul Abad (Haneya) dan Al-Dhaif (Komandan AL-Qossam).

Perkataan terakhir inilah yang disampaikan Syahidah Hj Fatimah Al-Najjar (57 tahun). Ia mengakhiri hidupnya dengan pengorbanan dan kecintaan pada negerinya. Sebagaimana Ia telah menanamkan kecintaaan mati syahid pada anak-anaknya, beberapa saat sebelum ia betemu dengan Tuhannya, ketika ia meledakan dirinya di tengah serdadu Israel di Beth Hanon, Jalur Gaza.

Ummu Muhammad Fatimah Al-Najar adalah nenek pertama yang melakukan operasi mati syahid. Ia adalah salah satu sekian banyak dari para ibu yang sering kali menyaksikan pembantaian terhadap anak-anaknya, kehormatanya dirusak, rumahnya dihancurkan, pepohonannya ditumbangkan dibawah pantauan masyarakat dunia yang membisu.

Maka dengan keberanian yang membaja ia tampil membela negaranya dan mendahului para syuhada lainya.

Ummu Muhmmad teleh mengorbankan jiwa dan raganya di jalan Allah setelah sebelumnya ia serahkan rumahnya menjadi korban kemarahan serdadu Israel pada intifadhah yang lalu. Padahal rumah tersebut adalah tempat perlindungan para pengungsi Palestina yang diusir dari tanah airnya oleh Israel. Ia juga telah merelakan anak-anaknya menjadi tawanan mendekam di penjara-penjara Israel.

Dalam penuturannya Ummu Muhammad menyampaikan, operasi jihadnya ini adalah bagian kecil dari sejumlah operasi jihad lainya, yang akan segera dilakukan oleh para mujahid dan mujahidah Palestina. Tunggulah pembalasan Al-Qossam yang akan mengguncangkan wilayah kalian dengan idzin Allah. Jalur Gaza akan menjadi kuburan kalian, wahai para pengecut Israel.

Fatimah AL-Najar atau dikenal dengan nama Ummu Muhammad adalah ibu dari tujuh anak laki-laki dan dua anak perempuannya. Ia telah bergabung dengan barisan para pelaku syahid lainya. Ia telah mampu meluluhlantakan pengepungan Israel terhadap lebih dari 70 mujahid di Masjid Al-Nasher Beth Hanon.

Salah seorang anaknya menuturkan, ibunya selalu mengikuti aksi demo yang dilakukan oleh gerakan Hamas, disamping itu, ia juga ikut dalam berbagai kegiatan social lainya. Ia telah mendidik anak-anaknya untuk senantiasa berpegang pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ia juga selelu berdo’a kepada Allah agar diberi kesempatan mati syahid.

Dalam salah satu pesan terakhirnya, Ummu Muhammad menyebutkan, dirinya telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk Allah, Negeri Palestina dan Al-Aqsha.

Dan dalam rekaman yang disebarkan salah satu media Islam, Ummu Muhammad berkata, saya meminta kepada Allah agar dikumpulkan dengan para syuhada di Surga Naim. Aku juga berdo’a semoga Allah memberikan hidayah kepada anak-anakku dan membimbingnya ke masjid. Aku meminta kepada keluargaku agar membagi-bagikan makanan ketika mendengar kabar kesyahidanku. Sampaikanlah salamku pada Abu Abdi, Isamel Haneya, perdana menteri Palestina dan Muhammad Al-Dhaif, komandan tingi Izzuddin al-Qossam dan kepada para syuhada lainya.

Dengan operasi jihadnya ini, Ummu Muhammad telah menciptakan legenda perlawanan yang dilakukan para wanita Palestina, dengan tekad keimananya yang sangat kuat melebihi semua tentara dan singgasana.

Dunia dan seisinya lebih kecil menurut pandanganya dari pada membiarkan negara tetap terjajah, warganya teraniaya oleh musuh Israel laknatullah


As-Syahid Nabil
[ 04/06/2007 - 01:40 ]

“Apakah ibu ridlo padaku ?” itulah kalimat terkahir yang diucapkan Asy-Syahid Nabil Abdirrahman sesaat sebelum ia meninggalkan kehidupan fana ini. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Rafidia Nablus.

Tentara Mujahid

Nabil Khatir lahir di kampong Baruqain dekat Salvet tanggal 25/2/1979. Sebegaimana keluarga Mujahid lainya, Nabil Khatir terkenal dengan ketakwaan dan keshalehanya. Ia adalah putra bungsu dari lima saudara laki-laki dan enam saudara perempuanya. Tentunya ia punya sipat-sipat yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain, sebagai anak paling kecil di rumah tersebut. Namun ia lebih memilih tinggal di rumahnya saja.

Nabil mengecap pendidikan dasar dan menengah di kampungnya di Barqoin dan berhasil memperoleh ijzah jurusan ilmu alam.

Dari daftar hasil studinya tergambar ia seorang yang cerdas, pintar dan giat dalam belajar. Sejak kecil memang ia dididik secara islami. Keluarganya terkenal sebagai orang yang taat beragama. Sejak masih anak-anak ia sudah dikenalkan dengan masjid dan pendidikan jihad. Tak jarang ia bersinggungan dengan tentara Israel, ketika pasukan zionis dengan bengisnya menghancurkan rumahnya saat menggerebak dan menangkap suadaranya, terutama pada intifadhah pertama.

Dalam hatinya tumbuh kecintaan pada negaranya dan kebencian yang mendalam pada penjajahan.

Setelah ia lulus dari sekolah menengah umum ia kemudian melanjutkan ke Universitas Kholil jurusan pertanian pada tahun 1998. Saat itu di Palestina terjadi pergolakan terutama di Tepi Barat akibat perjanjian Madrid yang berlanjut ke perjanjian Oslo yang dinilai merugikan bangsa Palestina.

Ketika itu Nabil bergabung dengan madrasah jihad dan perlawanan. Ia masuk pada kelompok Islam, wahana pembentukan para laki-laki dan pabriknya para pahlawan. Nabil lalu masuk pada level komandan dan memenangkan pemilihan pada pemilu mahasiswa. Akan tetapi, jabatan tersebut tidak membuat Nabil kenyang akan kecintaannya terhadap Islam. Ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari fakultas pertanian dan berpindah ke fakultas Syari’ah untuk memantapkan pemahaman agamanya.

Kebisuan Negara Arab dan mendulnya pemerintahan mereka, dalam menghadapi kejahatan Israel, membuat Nabil merasa sedih dan semakin terkoyak perasaanya. Pada saat yang sama Zionis Israel semakin menyengsarakan rakyat. Maka tak heran bila semangat untuk membela dan melindungi sesamanya semakin kencang di sisi lain kerinduannya terhadap syahadah makin membuncah dalam jiwanya.

Hatinya yang lembut tak rela melihat pemerintahan Islam begitu lemah dalam melindungi Al-Aqsha. Dorongan untuk segera mendapatkan mati syahid tidak mengendurkan untuk membela saudaranya, walau sesibuk apapun.

Maka puncak cita-citanya dalam menggapai syahadah ia bergabung dengan brigade Izzudin Al-Qossam. Bersama Izzudin lah ia melakukan berbagai operasi penyerangan, penambakan dan pengeboman terhadap tentara musuh.

Pada malam ke sepuluh dari bulan Pebruari tahun 2000, sebelum intifadhah al-Aqsha meletus. Nabil beserta sejumlah temanya mempersiapkan operasi pengeboman terhadap jantung permukiman Israel dan kota-kota yang berada di bawah jajahanya.

Sebagaimana layaknya orang yang melakukan operasi syahid, sebelum Nabli menuju permukimin Israel di Ariel, ia membungkus badanya dengan bom dan granat. Kedua tanganya pun menggenggam dua buah granat yang siap diledakan.

Kecintaanya pada syhahadah melebihi gelegar granat ketika meledak. Namun Allah ternyata berkehendak lain, bom yang dipasang di badanya ternyata keburu meledak sebelum waktunya.

Namun inilah mungkin hikmah dibaliknya. Nabil diberi kesempatan oleh Allah untuk dapat bertemu untuk terakhir kali dengan ibunya tercinta, sebelum ia menghadap sang Kuasa, Allah, yang sangat dicintainya melebihi apapun di dunia ini. Mushhaf Al-Qur’an yang tidak pernah terlepas dari genggamanya ikut menemani saat-saat terakhir. Allah telah memelihara hati yang suci itu dengan Al-Qur’an yang selalu dibawa dan dibaca oleh Nabil. Ia ridho terhadap apa yang terjadi. Ia dapat beristirahat dengan tenang menuju peristirahatan panjang.

Sebelum pergi, ia sempat bertemu dengan ibunya yang sangat dicintainya. Dengan senyum menghiasi bibirnya, ia berusaha menenangkan hati ibunya yang selama ini mencintai dan mengasishinya. Dengan berlinangan air mata, ibunya melihat Nabil berbaring tak berdaya di atas tempat tidur dan menciuminya. Ibunya bertanya, “Apakah ada yang sakit wahai anakku?” Nabil menjawab, “Tenanglah wahai ibuku, tidak ada yang sakit sedikitpun, namun.., apakah ibu ridho padaku saat ini ….??.

Dengan hati terkoyak melihat keadaan anaknya, sambil mengusap air matanya yang tak henti-hentinya mengucur deras dari kedua matanya yang mulia, ibunya berkata, “Tentu wahai anakku …. Allah saja ridlo padamu, jika Tuhanku ridlo maka hatikupun tentu akan sangat ridlo. Nabil minta ibunya untuk menyampaikan salam pada saudara-saudaranya yang tak dapat menyaksikan Nabil karena dihalangi pasuka keamanan yang menjaga sekeliling rumah sakit untuk memeriksa kejadian sebenarnya.

Beberapa saat kemudian pasukan keamanan masuk memaksa ibunda Nabil meninggalkan anaknya yang sedang membaca ayat-ayat Allah. Sedetik kemudian anaknya menutup mata untuk terakhir kalinya, walau bibirnya masih nampak bergerak-gerak mengucap dzikir pada Allah.

Dengan langkah gontai ibunya keluar dari ruangan tersebut, namun kini hatinya dipenuhi dengan kesabaran dan ketenangan, walau air matanya tak henti berurai paling tidak untuk saat ini. (pi/asy)

Basyari Wahsyi
[ 04/06/2007 - 01:28 ]

Baru kemarin, Bisyri Al-Wahsy mendapat penghargaan dari sekolah menengah Al-Zahra, karena kesungguhan dan ketekunan belajarnya. Hari berikutnya ia mendapatkan penghargaan dari langit dengan diangkat ruhnya menemui sang Khaliq Azizil Muqtadir. Maka ia telah pindah dari orang-orang yang unggul di dunia menuju orang-orang yang kekal di akhirat dalam rahmat.

Sekolah khusus perempuan Al-Zahra baru saja memberikan penghargaan pada siswi Basyari sebagai bintang pelajar di sekolahnya. Ia mendapatkan penghargaan sebagai siswi teladan pada pesta akhir tahun ajaran yang dipercepat karena Basyari bersama teman-teman yang lainya akan menghadapi ulangan umum. Maka diadakanlah pesta kenaikan kelas bagi murid-murid menengah umum yang dihadiri oleh murid-murid menengah umum.

Pada hari ini, mereka juga berkumpul di rumah Basyari, bukan untuk mengadakan pesta akhir tahun, namun untuk mengucapkan salam perpisahan bagi Basyari yang sebentar lagi akan menemui Khaliqnya. Perpisahan ini diirngi oleh isak tangis dan pandangan sedih para gurunya. Sebagaimana manusia biasa dan sebagai perempuan lain, guru-gurunya pun tak mampu menahan derasnya air mata yang jatuh mengiringi kepergian siswi teladan di sekolahnya. Hari ini, basyari menjadi pembicaraan orang banyak, hari ini, semua orang mengenangnya. Kepergian yang secara tiba-tiba tanpa peringatan sebelumnya.

Ibunda Basyari yang duduk di tengah puluhan ibu-ibu lainya, tak kuasa menahan kesediihan mengenang anaknya tercinta. Ia masih mengucapkan kata-kata terakhir yang dikatakan anaknya, ketika ia mendengar suara tembakan Israel. Ibunda Basyari melepas anaknya dengan guyuran air mata yang tak pernah kering sejak anaknya tertembak oleh peluru Israel.

Ketika serdadu Israel menyerang rumahnya, ia memaksa anaknya agar cepat-cepat keluar dari rumahnya. Ketika ia mendengar suara tembakan Israel ia berteriak pada anaknya agar menjauhi suara tembakan tersebut. Akan tetapi ia tidak menjawabnya. Tatkala serdadu Israel menyuruh ia keluar bersama anaknya yang kedua Sakinah ia mendapatkan Basyari telah keluar duluan dan terkapar berlumuran darah. Ia berusaha meminta serdadu Israel agar bisa mendekati anaknya. Akan tetapi serdadu tersebut menolaknya. Dan ketika ia pulang ke rumah ternyata ia anak tercintanya sudah meninggal.

Adapun sakinah adiknya masih memegang buku kakaknya yang masih berlumuran darah. Buku tersebut adalah yang dipegang kakaknya ketika ia melihat apa yang terjadi di luar dan tertembus peluru bersama tubuhnya yang suci.

Adapun Sakinah, adik Basyari setelah rasa sedihnya hilang dan begadang samalaman. Ia mulai bisa melupkan kesedihanya dan bisa bercakap-cakap dengan semua orang, menceritakan kejadian lengkapnya.

Sementara itu, rumah Naji Wahsyi, ayahanda Basyari dipenuhi siswi-siswi menangah dan ratusan ibu-ibu yang berkumpul sejak mendengar Basyari tertembak oleh pasukan Israel.

Hari ini, semua menangis, hari ini adalah hari wanita, hari kesedihan wanita, hari pengorbanan seorang wanita yang disaksikan oleh para wanita. Sepanjang pemandangan dipenuhi wanita. Semuanya mencucurkan air mata. Memang benar sejumlah ibu-ibu berusaha menenangkan dan menghibur ibunda Basyari agar tidak terus menerus menangis, namun mereka sendiri tak kuasa menahan genangan air mata yang terus menerus memaksa ingin keluar dari kelopok matanya masing-masing. Semuanya tak kuasa menahan tangis. Tetapi semuanya bero’a semoga Allah menerima arwah Basyari di sisiNya dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kesabatan dan ketabahan, hasbunallah wani’mal wakil…… selamat jalan Basyari… (pic/asy)