Selasa, 13 Januari 2009

dalam PANDANGAN ISLAM

Kalangan Feminis, banyak mengkritik Islam. Dalam pandangan mereka, Islam telah menempatkan perempuan dalam situasi yang sangat memojokkan. Mereka mengkritik dari bagaimana Islam sangat mengagungkan kaum lelaki dan menelantarkan kaum perempuan. Mereka menganggap bahwa banyak hadits telah mendeskriditkan kaum perempuan dan menempatkannya dalam keadaan yang sangat hina. Mereka banyak mengambil contoh dari bagaimana Islam hanya memberikan jatah warisan bagi perempuan tidak lebih banyak dari kaum lelaki; bagaimana kesaksian kaum perempuan hanya dihargai setengah dari kesaksian kaum lelaki; bagaimana kaum perempuan seolah dikucilkan dan diragukan kemampuannya hingga tidak bisa menjadi pemimpin bagi kaum lelaki. ,

Kritik yang mereka lontarkan tersebut umumnya hanyalah kritik tanpa didasari pengetahuan yang memadai. Mereka seolah lupa bagaimana Islam dipengaruhi oleh kebudayaan setempat. Mereka lupa bahwa Islam untuk pertama kali turun di negara Arab; satu negara yang sangat mengecilkan arti seorang perempuan. Bahkan sebelum Islam datang, mereka tega membunuh bayi perempuan mereka demi menjaga harga diri. Namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman bangsa arab saat itu akan Islam, mereka pun mulai mengakui eksistensi perempuan dengan sangat baik; mereka mulai memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah; mereka membolehkan perempuan untuk bisa turun dalam dunia publik sebagaimana yang banyak dilakukan oleh banyak sahabat rasulullah. Pada masa itu, Islam sangat mendukung kemajuan perempuan untuk bisa maju; masa di mana di negara Eropa, mereka menganggap bahwa perempuan yang memiliki pengetahuan yang berlebih bagaikan penyihir yang harus disingkirkan; masa di mana perempuan bagaikan barang yang bisa dipindahkan hak miliknya; dan masa di mana perempuan tidak memiliki jati dirinya.

Eksistensi Perempuan dalam Pandangan Islam Islam sangat menghargai eksistensi perempuan sebagaimana eksistensi lelaki. Hal ini secara gamblang dipahami dari firman Allah Surah an-Nisaa’: 1 yang menegaskan bahwa baik lekai dan perempuan diciptakan dari satu jiwa yang sama. Hal ini pun dikuatkan lagi dengan hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Daud bahwa rasulullah mengemukakan ‘perempuan adalah saudara bagi lelaki’.

Lebih dari itu, Islam pun memperbaiki kesalahpahaman persepsi yang telah terjadi secara turun temurun -yang menyatakan bahwa turunnya Adam ke Surga disebabkan oleh perempuan –yang dalam hal ini adalah Hawa- dengan mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena kesalahan keduanya; kesalahan karena mereka berdua tidak mampu mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melanggar perintah-Nya. Hal ini bisa dipahami dari firman-Nya Surah al-Baqqarah: 36; al-A’raaf: 20, 23 dan Thaahaa: 121.

Untuk menegaskan kesejajaran pengakuan antara lelaki dan perempuan, Islam menyatakan bahwa pahala yang diberikan sama bagi siapapun yang berbuat baik; tanpa memandang apakah ia perempuan ataupun lelaki. Hal ini secara gamblang bisa dipahami dari firman-Nya surah an-Nahl: 97; Ali Imron: 195; dan al-Ahdzab: 35

Secara berani, Islam pun mengkritik tradisi yang pernah dilakukan bangsa Arab sebelum turunnya Islam, yang tega membunuh bayi perempuan karena demi menjaga harga diri sebagaimana tampak dalam surah an-Nahl: 59 dan melarang umat manusia melakukan hal serupa dan bahkan menganggap bahwa yang melakukannya hanyalah orang bodoh sebagaimana dipahami dalam surah al-An’aam: 140.

Bahkan Islam memberikan batasan tertentu yang menguntungkan bagi kaum perempuan. Di antaranya, bila sebelumnya perempuan hanyalah di anggap barang yang bisa diwariskan, namun di Islam, perempuan mendapatkan hak waris; bila sebelumnya perempuan bisa dipermainkan oleh suaminya dengan di kawin-cerai tanpa batas, maka dalam Islam, hal itu dibatasi hanya sampai tiga kali saja; dan lebih dari itu, Islam pun memberikan kebebasan bagi perempuan untuk bisa beraktivitas dalam dunia publik yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya sama sekali.

Lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa citra perempuan dalam al-Qur`an adalah mereka yang memiliki kemandirian politik (QS 60:2), kemandirian ekonomi (QS 28:23) dan kemandirian menentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya (QS 66:11)

Secara garis besar, Islam memberikan perempuan tiga hal penting, yakni:

1. Sisi kemanusiaannya
2. Sisi sosialnya
3. Hak finansial



Islam mengakui eksistensi perempuan layaknya lelaki; namun di lain sisi, Islam pun menyadari perbedaan yang ada pada keduanya. Atas dasar itulah, ada beberapa hukum yang berbeda antara kaum lelaki dan perempuan, yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupinya, di antaranya:

1. Hak memberikan kesaksian.

Pada masa penetapan hukum kesaksian, khususnya dalam masalah pidana, Islam menilai kesaksian seorang perempuan tidak lebih dari setengah dari kesaksian seorang lelaki. Hal ini dikarenakan pada saat itu, umumnya wanita sangat jarang bisa turun di dunia publik yang umumnya berkaitan dengan masalah pidana. Seandainya pun mereka memang mengalaminya, maka umumnya mereka telah mengalami shok yang mengakibatkan mereka mudah dipengaruhi dan kurang mampu mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya. Namun ada kalanya di kala permasalahan yang muncul adalah permasalahan yang berkaitan dengan masalah perempuan, seperti masalah sesusuan, maka kesaksian wanita lah –yang dalam hal ini adalah ibu sesusuannya- yang lebih dianggap valid melebihi siapapun.

1. Hak Warisan

Sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk bisa memberikan nafkah kepada perempuan yang ada dalam keluarganya, baik itu istrinya, ibunya maupun saudara perempuannya; dan sebaliknya, wanita tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada siapapun. Bila ia melakukannya, maka itulah yang dianggap sebagai bentuk sedekah. Dengan demikian bisa dipahami bahwa keuangan yang dimiliki seorang perempuan adalah miliknya seutuhnya; namun keuangan yang dimiliki seorang lelaki, wajib disalurkan kepada kaum perempuan yang ada dalam keluarganya. Konsep inilah yang kemudian mendasari hukum pemberian waris bagi lelaki lebih besar –atau dua kali lipatnya- melebihi hak waris yang diterima oleh perempuan.

1. Hak cerai

Lelaki diberikan tanggung jawab untuk bisa memimpin kemitraannya dengan perempuan. Atas dasar inilah ia diberikan hak cerai. Namun demikian, bukan berarti di kala perempuan sudah tidak bisa lagi bermitra dengan suaminya, ia tidak bisa memutuskan diri darinya. Islam mengatur suatu hak yang dinamakan hak Khulu’, yakni cerai dari pihak istri.

Pola Hubungan laki-laki dan perempuanDi kala Islam telah mengakui eksistensi perempuan sejajar dengan lelaki, maka bisa dipahami bahwa pola yang ditawarkan dalam Islam adalah pola kemitraan; pola saling melengkapi dan bukan pola atasan-bawahan; pola superior-inferior. Hal ini didasari atas hal-hal sebagai berikut:

1. perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi dalam kehidupan sosial budaya
2. Islam mengakui adanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan; namun perbedaan itu bukanlah pembedaan yang menggantungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan yang ada dimaksudkan untuk menegaskan adanya kebutuhan untuk bisa saling melengkapi satu dengan lainnya hingga tercipta kehidupan harmonis yang didasari rasa kasih sayang, yang merupakan cikal bakal kehidupan masyarakat ideal.

Islam memang tidak merinci pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Islam hanya menetapkan tugas pokok masing-masing pihak sambil menggaris bawahi prinsip kesejajaran dan kemitraan atas dasar musyawarah dan tolong menolong. Ketiadaan rincian ini mengantarkan tiap pihak untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan masayarakat yang ada serta kondisi masing-masing. Istri bisa mencari nafkah membantu suami dan suami pun bisa memabntu istri dalam urusan rumah tangga. Dari sinilah tampak kemitraan mutualisme antara keduanya. Namun sejauh mana masing-masing pihak mau menyadari hal ini, maka itulah yang menjadi tugas kita.


Islam Mengakui Rasa Cinta

Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).

Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi “the real man”.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.

Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.


PANDANGAN ISLAM TENTANG SENI TARI
Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah. Pada tarian sufi (darwish), gerakan dipakai untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri).



Sejak dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan dan masyarakat maupun pribadi. Seni tari adalah akar tarian Barat populer masa kini. Bangsa-bangsa primitif percaya pada daya magis dari tari. Dari tarian ini dikenal tari Kesuburan dan Hujan, tari Eksorsisme, dan Kebangkitan, tari Perburuan dan Perang. Tarian Asia Timur hampir seluruhnya bersifat keagamaan, walaupun ada yang bersifat sosial. Selain itu ada tarian rakyat yang komunal (folk dance). Tarian ini dijadikan lambang kekuatan kerjasama kelompok dan perwujūdan saling menghormati, sesuai dengan tradisi masyarakat.



Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.



Seni sekarang berada halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi anak muda.





1. SENI TARI DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM.



Dalam sejarah Islam terdapat perbedaan pendapat antara yang pro dengan yang kontra tentang seni tari. Seni tari pada permulaan Islam berbentuk sederhana dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar jazīrah ‘Arab, seperti orang-orang Sudan, Ethiopia, dan lain-lain. Menari biasa dilakukan pada hari-hari gembira, seperti hari raya dan hari-hari gembira lainnya.



Salah satu contoh tentang hal ini adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dari ‘Anas r.a. yang berkata (Lihat SUNAN ABŪ DĀWŪD, Jilid IV, hlm. 281):



(لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ (ص) الْمَدِيْنَةَ لَعِبَتِ الْحَبْشَةُ فَرْحًا بِذلِكَ لَعِبُوْا بِحِرَابِهِمْ)
"Tatkala Rasūlullāh datang ke Madīnah, orang-orang Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan gembira menyambut kedatangan beliau sambil memainkan senjata mereka."



Imām Ahmad dan Ibnu Hibbān juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Anas r.a. Beliau berkata (Lihat MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid III, hlm. 152; lihat juga Al-Qastallanī, IRSYĀD-US-SARI, SYARH-SHAHĪH BUKHĀRĪ, Jilid II, hlm. 204-205):



(كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُوْنَ وَ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ)
"Orang-orang Habsyah (pada hari raya ‘Īd-ul-Adhhā) menari (dengan memainkan senjata mereka) di hadapan Rasūlullāh s.a.w. Banyak anak-anak berkumpul di sekitarnya karena ingin menonton tarian mereka. Orang-orang Habsyah bernyanyi (dengan sya‘ir): "MUHAMMAD ADALAH HAMBA YANG SHALEH...." (secara berulang-ulang).



Sesudah jaman Rasūlullāh s.a.w., khususnya di jaman Daulah ‘Abbāsiyyah, seni tari berkembang dengan pesat. Kehidupan mewah yang dicapai kaum Muslimīn pada waktu itu telah mengantarkan mereka kedalam suatu dunia hiburan yang seakan-akan telah menjadi keharusan dalam masyarakat yang ma‘mūr (Hukum mendengarkan alunan lagu adalah mubah, tetapi ketika itu orang-orang telah melakukannya). Namun banyak ‘ulamā’ yang tidak setuju dengan tarian semacam itu, tercatat di antaranya ialah Imām Syaikh-ul-Islam, Ahmad Ibnu Taimiyah (wafat tahun 1328 M). Beliau menentang keras seni tari dalam kitabnya yang berjudul Risālah fī Simā‘i war-Raqs was-Surākh (Risālah tentang Mendengar Musik, Tarian-Tarian dan Nyanyian). Namun ada juga kalangan ‘ulamā’ yang membolehkan seni tari selama tidak melanggar norma-norma Islam. Yang berpendapat begini di antaranya Ibrāhīm Muhammad Al-Halabī (wafat tahun 1545 M.). Beliau mengarang kitāb yang berjudul Ar-Rahs Wal-Waqs Limustahill-ir-Raqs (Benteng yang Kokoh bagi Orang yang Membolehkan Tari-Tarian).



Pengarang kitāb ‘ilmu seni tari yang pertama di dalam Islam adalah Al-Farābī (wafat tahun 950 M.), yang mengarang kitāb AR-RAQSU WAZ-ZAFNU (Kitāb tentang Tari dan Gerak Kaki) (Lihat Prof. A. Hasjmy, Ibidem, hlm. 326). Pengaruh kitāb ini masih dapat kita ketahui, Riau adalah pusat kerajaan Melayu dan pernah memperoleh masa kejayaannya di sana. Berbagai guru serta pelatih tari dan nyanyian dipelihara sultan di istana. Begitu juga dengan perkembangan sya‘ir. Bentuk seni inipun berkembang dengan baik dan mendapatkan perhatian sultan. Tari Zapin sampai sekarang masih hidup subur di kepulauan Riau (Melayu). Bahkan banyak tradisi yang sekarang berkembang di nusantara adalah hasil perkembangan tari rakyat Riau yang diperagakan mulai dari lingkup istana sampai kedai-kedai kopi. Serampang dua belas, misalnya, adalah tarian populer peninggalan karya tersebut. Kata-kata pengiring tarian ini masih menggunakan bahasa ‘Arab yang bercampur dengan bahasa Melayu (Lihat Dr. Oemar A. Hoesin, KULTUR ISLAM, hlm. 466-467).



Dahulu, pada jaman khilafah ‘Abbāsiyah, seni tari telah mendapatkan tempat yang istimewa di tengah masyarakat, baik di kalangan istana, gedung-gedung khusus (rumah pejabat dan hartawan), maupun di tempat-tempat hiburan lainnya (taman ria dan sebagainya). Pada akhir masa khilafah ‘Abbāsiyah, kesenian tari mulai mundur ketika tentara bangsa Mongol menguasai pusat peradaban Islam di Baghdād. Semua hasil karya seni dirusak oleh tentara keji itu karena memang bangsa ini tidak menyukai tarian. Kemudian pada masa khilafah ‘Utsmāniah berikutnya, seni tari berkembang lebih pesat lagi, khususnya tarian sufi yang biasa dilakukan oleh kaum pria saja. Sedangkan penari wanita menarikan tarian di istana dan rumah-rumah para pejabat. Mereka ini adalah penari "berkaliber tinggi".



Namun perlu diperhatikan di sini, dalam sejarah umat Islam yang panjang, tari-tarian itu tidak pernah dilakukan di tempat-tempat terbuka yang penontonnya bercampur-baur antara lelaki dengan wanita. Ini berbeda halnya dengan nyanyian. Pada masa pemerintahan khilafah ‘Abbāsiyah, para penyanyi diijinkan menyanyi menyanyi sambil menari di jalanan atau di atas jembatan serta di tempat-tempat umum lainnya. Rumah-rumah les privat menyanyi dan menari dibuka untuk umum, baik di rumah-rumah orang kaya maupun miskin. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, AL-AGHĀNĪ, Jilid XVIII, hlm. 128, dan Jilid XIII, hlm. 127). Tetapi tidak pernah dilakukan di tempat-tempat khusus, seperti yang dilakukan sekarang ini (khususnya anak-anak muda), misalnya di night club, panggung pertunjukan, dan sebagainya.



Perlu diingat, tari-tarian pada masa lalu hanya dilakukan oleh wanita-wanita budak saja yang bekerja di istana, di rumah para pejabat, atau di rumah-rumah rakyat biasa. Namun ada juga penari dari kalangan pria, misalnya Ibrāhīm Al-Maushili (wafat 235 H.), dan sekelompok penari kawakan yang tercatat di dalam kitāb Al-Aghānī. (Lihat Abū Al-Farāj Al-Ishfahānī, ibidem, Jilid V (Riwayat hidup Ibrāhīm Al-Maushili)).



Sebagaimana kami sebutkan di atas, tari-tarian dimasa permulaan Islam tidak pernah dilakukan dalam keadaan kaum lelaki menari bercampur dengan kaum wanita, kecuali sesudah kebudayaan Barat mulai mewarnai dan mempengaruhi kebudayaan Islam. Sesudah itu baru muncul kebiasaan menari dengan mengikuti para penari Barat dengan gaya merangsang syahwat dan membangkitkan birahi, seperti tari balet, dansa, joget, dangdut, atau tarian yang menimbulkan histeria seperti disko dan break dance.





2. TANGGAPAN UTAMA ISLAM TERHADAP TARIAN.



Imām Al-Ghazālī dalam kitāb IHYĀ’-UL‘ULŪM-ID-DĪN, (Lihat Imam Al-Ghazali, IHYĀ‘-UL-‘ULŪM-ID-DĪN, Jilid VI, hlm. 1141, 1142 dan 1187) beranggapan bahwa mendengar nyanyian dan musik sambil menari hukumnya mubāh. Sebab, kata beliau: "Para sahabat Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan "hajal" (berjinjit) pada saat mereka merasa bahagia. Imām Al-Ghazālī kemudian menyebutkan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib pernah berjinjit atau menari tatkala ia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:



(أَنْتَ مِنِّيْ وَ أَنَا مِنْكَ)
"Engkau tergolong ke dalam golonganku, dan aku tergolong ke dalam golonganmu."



Begitu juga Ja‘far bin Abī Thālib. Kata Imām Al-Ghazālī, dia pernah melakukan hal yang sama (berjinjit) ketika mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w. :



(أَشْبَهْتَ خَلْقِيْ وَ خُلُقِيْ)
"Engkau adalah orang yang paling mirip dengan corak dan tabiatku".



Juga Zaid bin Hāritsah pernah berjinjit tatkala mendengar sabda Rasūlullāh s.a.w.:



(أَنْتَ أَخُوْنَا وَ مَوْلاَنَا)
"Engkau adalah saudara dan penolong kami."



Dalam kesempatan lain ‘Ā’isyah diijinkan Rasūlullāh s.a.w. untuk menyaksikan penari-penari Habsyah. Kemudian Imām Al-Ghazālī menyimpulkan bahwa menari bahwa menari itu hukumnya boleh pada saat-saat bahagia, seperti hari raya, pesta pernikahan, pulangnya seseorang ke kampung halamannya, saat walīmahan pernikāhan, ‘aqīqahan, lahirnya seorang bayi, atau pada waktu khitanan, dan setelah seseorang hafal Al-Qur’ān. Semua ini hukumnya mubāh yang tujuannya untuk menampakkan rasa gembira. Tetapi tari-tarian itu maupun jenis-jenis hiburan lainnya tidak layak dilakukan para pejabat dan pepimpin yang menjadi panutan masyarakat. Ini bertujuan agar mereka tidak dikecilkan rakyat, tidak dijatuhkan martabatnya, atau tidak dijauhi oleh rakyatnya.



Tentang riwāyat Imām Bukhārī dan Imām Ahmad yang berkaitan dengan menarinya orang-orang Habsyah di hadapan Rasūlullāh s.a.w., Al-Qādhī ‘Iyādh berkata: "Ini merupakan dalīl yang paling kuat tentang bolehnya tarian sebab Rasūlullāh s.a.w. membiarkan mereka melakukannya, bahkan mendorong mereka untuk melanjutkan tariannya."



Akan tetapi Imām Ibnu Hajar menentang pengertian Hadīts yang membolehkan tarian. Beliau berkata: "Sekelompok sufi telah berdalīl kepada Hadīts tersebut untuk membolehkan tari-tarian dan mendengarkan alat-alat musik. Padahal jumhur ulama telah menegur pendapat ini dalam hal perbedaan maksud dan tujuan. Tujuan orang-orang Habsyah yang bermain-main dengan perisai dan tombak merupakan bagian dari latihan yang biasa mereka lakukan untuk berperang. Oleh karenanya, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah untuk membolehkan tari-tarian yang tujuannya untuk menghibur diri." (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, FATH-UL-BĀRI, Jilid VI, hlm. 553).



Adapun mengenai nukilan Imām Al-Ghazālī tentang "hajal" (berjinjitnya) ‘Alī, Ja‘far, dan Zaid, maka ditentang keras oleh Imām Ibn-ul-Jauzi (Lihat Imām Ibn-ul-Jauzi TALBĪS IBLĪS, hlm. 258-260). Katanya, hajal tidak lebih dari semacam cara dalam gerak kaki berjalan yang dilakukan pada saat seseorang merasa gembira. Sedangkan tarian tidak demikian! Gerakan Zafarnya orang-orang Habsyah adalah mendorong keras dan menyepak dengan kaki. Maka inipun merupakan salah satu cara dalam berjalan pada saat berhadapan dalam peperangan.



Kemudian Imām Ibn-ul-Jauzi berkata: "Menurut Abū Al Wafā Ibn-ul-‘Aqīl, Al-Qur’ān telah mencantumkan keharaman tarian dengan nash yang tegas seperti firman Allah s.w.t.:



(وَ لاَ تَمْشِيْ فِي الأَرْضِ مَرَحًا) (لقمن:18)
"Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan angkuh." (31:18)



Allah s.w.t. juga mencela orang-orang yang sombong dengan firmanNya:



(إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ) (لقمن:18)
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri." (31:18).



Karena itulah menurut Abū Wafā Ibnul ‘Aqīl, menari merupakan cara berjalan paling angkuh dan penuh dengan kesombongan. Kemudian Imam Ibn-ul-Jauzi melanjutkan dengan mengomentari tarian orang sufi. Katanya, dapatkah kita membayangkan suatu perbuatan keji yang dapat menjatuhkan nilai akal dan kewibawaan bagi seseorang serta menyebabkan ia terjatuh dari sifat kesopanan dan rendah hati, seperti yang dilakukan oleh seorang (sufi yang ) berjanggot. Apalagi yang melakukannya adalah kakek-kakek yang berjenggot, bertepuk tangan dan mengikuti irama yang dinyanyikan para wanita dan anak-anak muda yang belum tumbuh jenggotnya. Apakah layak bagi seseorang membanggakan diri dengan menari seperti binatang dan menepuk dada seperti wanita (sambil menari), yang sudah gaek dan hampir masuk liang kubur yang nantinya akan diminta pertanggungjawabannya di Padang Mahsyar?





3. MENENTUKAN SIKAP DAN PENDIRIAN.



Keinginan untuk menari sama dengan keinginan manusia untuk berjalan, bermain, dan seterusnya. Semua merupakan perbuatan yang biasa dilakukan secara alami (fitri) dalam rangka menghibur diri atau mencari kesenangan dan kebahagiaan. Syara‘ tidak mengharāmkan seseorang untuk menggerakkan badan, tangan, kaki, perut, dan sebagainya. Bahkan senua perbuatan itu akan muncul secara alami. Hukum asal untuk menari adalah mubāh selama dalīl-dalīl syara‘ tidak mengharāmkan tari-tarian tertentu, baik yang berirama maupun yang tidak diiringi musik.



Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah) yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaamn daerah tertentu.



Tarian rakyat itu akhirnya tidak terlepas dari terlepas dari promosi negeri tempat asalnya. Tujuannya adalah untuk menarik wisata mancanegara yang berkunjung ke negeri-negeri tertentu. Bahkan terkadang, tarian dari negara tertentu dapat kita temukan di negeri lain karena perwakilan konsulat bidang kebudayaan negara tersebut dangan sukacita menggelarkannya. Sekarang kita dapat mengenal adanya tarian Fandago dari Spanyol, Polka dari Bohemia, Czardas dari Hongaria, Jig dari Irlandia, atau Fling dari Skotlandia.



Di kepulauan-kepulauan sekitar Pasifik dan negeri-negeri Timur lainnya, terdapat tarian-tarian yang seluruhnya dilakukan dengan sikap duduk. Ada tari perut di Timur Tengah, yang biasanya dilakukan dengan penekanan gerak pada bagian perut, berputar atau menggelepar. Tarian ini adalah jenis tarian hiburan semata. Ada juga tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita.



Tarian Barat juga banyak macamnya. Ada tari Balet yang merupakan tarian drama tunggal yang diiringi musik. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sepasang manusia (lelaki-perempuan). Ini sama saja dengan dansa Agogo, cha-cha-cha, twist, dan disko. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:



1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif.



Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7319):



(لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتّى تَأْخُذَ أُمَّتِيْ بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيْلَ:يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَ الرُّوْمَ؟ فَقَالَ: وَ مَنْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ أُولئِكَ؟)
"Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku menerima (mengambil) apa-apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa terdahulu (abad-abad silam) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang biawak, kalian pun mengikutinya." Para sahabat bertanya: "Ya Rasūlullāh, apakah yang (engkau) maksudkan di sini adalah (seperti) bangsa-bangsa Persia dan Romawi?" Rasūlullāh menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. BUKHĀRĪ).



Dalam riwāyat lain disebutkan bahwa yang diakui oleh kaun Muslimīn adalah orang-orang Nasrānī dan Yahūdī.(Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 7320).



2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita yang bercampur-baur dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya, karena Rasūlullāh s.a.w. bersabda (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 5824):



(الْغِيْرَةُ مِنَ الإِيْمَانِ وَ الْمِذَاءُ مِنَ النِّفَاقِ)
"Ghīrah (cemburu) itu adalah bagian dari īmān, sedangkan Mizā’ adalah bagian dari nifāq." (HR AL-BAZZĀR, BAIHAQĪ, dari Abū Sa‘īd Al-Khudrī).



Imām Ibnu ‘Atsīr menafsirkan Mizā’ dengan makna sebagai berikut:



a. Lelaki yang membawa sejumlah pria ke rumahnya untuk mencampuri istrinya;



b. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari "AMDZAIT-UL-FARAS" yang artinya: "Aku telah melepaskan kudaku untuk merumput."(Lihat Ibnul ‘Atsīr, AN-NIHĀYAH, Jilid IV, hlm. 312-313).



Dalam kitāb MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, Imām Al-Qazwīnī menukil pendapat Imām Al-Halīmī tentang arti Hadīts tersebut, yaitu (Lihat Imām Al-Halīmī, MUKHTASHAR-USY-SYU‘AB-IL-ĪMĀN, hlm. 238). mengumpulkan lelaki-perempuan agar masing-masing pasangan mencampuri pasangan lainnya, atau membiarkan lelaki pergi bersama kaum wanita.



Berdasarkan keterangan di atas, maka bercampurnya kaum lelaki dengan wanita yang bukan muhrim dalam bentuk apapun adalah harām, baik mereka pergi bertamasya bersama-sama maupun barmain-main seperti layaknya suami-istri. Ternasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:



(الْوَسِيْلَةُ إِلى الْحَرَامِ حَرَامٌ)
"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula (dikerjakan)."



Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita. Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām lainnya. Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan, saling menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berrangkulan dan berpelukan, dan perbuatan yang lebih jauh dari itu. Di samping itu, mereka juga menenggak minuman keras sampai teler. Tidak jarang acara sejenis itu menghantarkan mereka kepada perbuatan dosa besar, yaitu bersetubuh dengan pasangannya. Lantas kita mendengar banyak di antara remaja yang berbadan dua.



Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 8593):



(مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ)
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR. ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).



Kata "menyerupai" di dalam Hadīts tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata "suatu kaum". Inilah adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut masalah tari-tarian.



3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, khususnya pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya.



4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :



(فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا) (الملك: 15)
"Berjalanlah di segala penjuru (bumi)...." (67:15).



atau:



(اُرْكُضْ بِرِجْلِكَ) (ص:42)
"Hentakkanlah kakimu...." (38:42).



atau Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Maka, hukum asal menari adalah mubāh selama tidak melampaui batas-batas syara‘ yang telah disebutkan pada butir-butir sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:



(لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَ لاَ مَنْ تَشَبَّهَ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ)
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Āsh).




TAWASSUL
Imam Ibnu Taimiyah:

Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)

“Do’a apabila disetai dengan bertawassul kepada Allah lewat perantara seorang makhluk adalah khilaf far’I dalam tatacara berdo’a dan bukan merupakan masalah aqidah” (Asy-Syahid Hasan Al-Banna)

MUKADIMAH

Setiap kali ada musibah dan ujian yang menghantui kehidupan manusia muslim, ia harus kembali kepada Allah Yang Maha Kuasa, Rabb Semesta Alam. Karena ia meyakini bahwa Allahlah Rabb yang mampu menyingkap hijab-hijab kesulitan, kefakiran dan kepayahan para hambaNya. Dan ia juga meyakini bahwa Dialah yang mampu memberikan pertolongan, kemudahan dan petunjuk. Tidak ada kekuatan lain yang mampu melakukan hal ini selain Dia, Allah SWT. Hal ini didasarkan beberapa firmanNya berikut ini;

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS 27:62)

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS 10:12)

Terkadang dalam memohon dan berdo’a, manusia sering menggunakan perantara -atau yang disebut dengan tawassul dalam terminology aqidah- antara dirinya dan Tuhannya. Karena mereka merasa tidak mampu, lemah dan tidak memiliki apa-apa di hadapan Tuhannya. Hal ini mereka lakukan agar do’a dan permohonannya terkabulkan dengan segera.

Namun sebagai manusia muslim, ia harus selalu memperhatikan rambu-rambu Islam dalam masalah tawassul, karena tidak semua bentuk tawassul atau perantaraan yang berkembang dalam masyarakatnya diperbolehkan dalam ajaran Islam. Boleh jadi seorang muslim dalam berdo’a, ia bertawassul dengan kuburan-kuburan, batu-batuan dan pepohonan yang dikramatkan. Bahkan ada yang meyakini adanya kekuatan lain atau penguasa lain selain Allah SWT yang memiliki kekuasaan atas sebagian wilayah yang ada di bumi ini. Seperti orang yang meyakini adanya Dewa laut, Dewa angin, Dewa Fortuna dan Dewa-dewi lainnya. Dan ini merupakan bentuk penyimpangan yang ada dalam masalah tawassul yang harus dijauhi oleh setiap manusia muslim.

Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam kubangan-kubangan kekufuran dan kesyirikan, setiap muslim harus kembali kepada Allah SWT dalam seluruh bentuk ibadahnya. Berdo’a dan berharap hanya kepada Allah SWT, tawakkal dan istighosah atau isti’anah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah semata. Perhatikan beberapa ayat Al-Quran di bawah ini;

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS 2:186)

“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS 7:55)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS 40:14)

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)

DEFINISI TAWASSUL

Secara etimologi tawassul berasal dari kata tawassala yatawassalu tawassulan yang berarti mengambil perantara (wasilah), taqarrub atau mendekat.

Dan secara terminology, tawassul adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menggunakan wasilah (perantara). Wasilah sendiri berarti kedudukan di sisi Raja, jabatan, kedekatan dan setiap sesuatu yang dijadikan perantara pendekatan dalam berdo’a. Imam An-Nasafi berkata: “Wasilah adalah semua bentuk di mana seseorang bertawassul atau mendekatkan dirinya dengannya.”

Arti ini bisa kita temukan dalam beberapa firman Allah berikut ini;

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS 5:35)

Imam At-Thabari berkata: “Wabtaghuu ilaihi al-wasiilata, berarti carilah kedekatan (jalan apapun atau bentuk kedekatan apapun) yang mampu mendekatkan diri kepada Allah SWT). (juz 10/ 290)

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS 17:57)

MACAM-MACAM TAWASSUL

Dari definisi di atas bisa kita konklusikan bahwa tawassul terbagi menjaid dua macam;

Pertama, Tawassul Masyru’

Tawassul Masyru’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang dicintai dan diridloi Allah SWT seperti taqarrub dengan ibadah wajib atau sunnah dan amal-amal saleh yang lain. Dan tawassul masyru’ ini ada tiga jenis yang telah disepakati oleh Ulama. Yaitu;

1. Tawassul kepada Allah SWT dengan nama-namaNya yang baik dan atau sifat-sifatNya yang mulya. Sebagaiman FirmanNya;

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)

Ayat ini secara eksplisit memerintahkan hamba-hamba Allah untuk berdo’a kepadanya dengan menggunakan nama-namaNya. Karena do’a yang menggunakan nama-nama dan sifat-sifatNya mudah dan lebih dekat dikabulkan. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, siapa saja yang menjaganya (menghafalnya) niscaya ia kan masuk surga. Dan Dia adalah witir (ganjil) mencintai yang witir.” (HR Al-Bukhari Muslim)

Dalam hadits shahih yang lain Beliau bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku memhon kepadaMu dengan semua nama yang Engkau miliki. Engkau telah menamakan Dirimu dengannya atau Engkau telah menurunkannya dalam Kitabmu atau engkau telah mengajarkannya kepada seseorang dari makhlukmu atau Engkau simpan sendiri dalam ilmulghaib (rahasia ilmu) yang ada di sisiMu, semoga Engkau menjadikan Al-Quran al-Adziim kebahagian hati-hati kami….”

2. Tawassul kepada Allah dengan amal saleh, di mana seorang hamba memohon kepada Allah dengan amalnya yang palik baik seperti shalat, puasa, keimanan, ketauhidan, kecintaan, meninggalkan kemaksiatan dan semacamnya. Sebagaiman yang pernah dilakukan oleh Ashhabul ghaar (Orang-orang yang masuk gua) yang terperangkap dalam gua. Lalu setiap mereka berdo’a kepada Allah dengan amal-amal mereka agar Allah membukakan pintu gua yang tertutup dengan batu besar. Satu di anatara mereka bertawassul dengan iffahnya (penjagaannya) dari zina, yang kedua dengan birrul walidain dan yang ketiga dengan amanah atas upah pegawainya. (HR Al-Bukhari Muslim)

Perhatikan beberapa ayat di bawah ini;
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)”.(QS 3:53)

3. Tawassul kepada Allah dengan do’a orang-orang yang saleh. Apabila seorang muslim mendapatkan musibah, kepayahan dan ujian yang berat dalam hidupnya ia boleh minta tolong kepada orang yang lebih saleh untuk mendo’akannya agar Allah memudahkan dan menyingkap tabir-tabir ujian tersebut. Karena merupakan bentuk pertolongan antara mukmin dalam kebaikan dan ketakwaan. Allah berfirman;

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS 5:2)

Rasulullah bersabda: “Allah SWT senantiasa membantu hambaNya selama hamba itu membantu saudaranya.”

Dan kisah istisqo’ yang terjadi pada masa Rasulullah saw ketika seorang sahabat yang datang pada hari Jum’at meminta Beliau berdo’a agar Allah menurunkan hujan kepadanya. Lalu Rasul berdo’a di atas mimbar dan selanjutnya hujan turun dengan deras. (HR Ahmad dan Al-Bukhari)

Rasulullah saw juga mencontohkan kepada kita tentang hal ini, ketika Beliau berkata kepada Umar di saat minta izin umrah: “Jangan lupakan kami wahai saudaraku dalam do’amu.”


Kedua, Tawassul Mamnu’

Tawassul Mamnu’ adalah taqarrub kepada Allah dengan cara yang tidak dicintai dan diridloi, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Tawassul semacam ini tidak diperbolehkan oleh Islam karena mengandung kesyirikan, bidah dan sumpah dengan makhluk. Dan tawassul ini memiliki beberapa jenis berikut ini;

1. Tawassul kepada Allah dengan berdo’a dan memohon pertolongan kepada orang yang telah mati atau ghaib dan semacamnya. Hal ini digolongkan sebagai syirik besar yang bertentang dengan tauhid. Karena mayit tidak akan memberikan manfaat dan madharat dalam tawassul.

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS 35:13)

2. 1. Tawassul kepada Allah dengan melakukan berbagai bentuk ketatan dan kebaikan yang dilarang Islam, seperti makan-makan di atas kuburan wali atau orang yang saleh lainnya, membuang sesajen ke tengah lautan, mandi di sumur yang di keramatkan dan semacamnya.

Hal ini bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaan tauhid. Bahkan ini bentuk neo-paganisme yang muncul pada zaman sekarang. Mereka meyakini adanya kekuatan lain yang mampu memberikan pertolongan selain Allah SWT. Sebagian ada yang percaya dengan adanya Dewa-dewi dan Jin-jin yang menguasai lautan dan daratan sehingga mereka melakukan perayaan dan sesajen sebagi bentuk tawassul atau bahkan memohon langsung pada berhala-berhala yang mereka tuhankan ini. Allah berfirman;

“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (QS 7:191-192)

Begitu juga Islam tidak membenarkan bertawassul dengan barang-barang atau tempat peninggalan para Nabi dan para Wali. Karena barang-barang ini tidak memliki kemulyaan, keutamaan dan kelebihan sama sekali. Imam Abu Hanifah tidak membenarkan orang yang bersumpah dengan Ka’bah dan Masy’aril Haram. Bagitu juga yang dilakukan Umar bin Khattab ra. Diirwayatkan bahwa Umar setelah menunaikan salat shubuh berjalan-jalan ke suatu tempat di mana banyak manusia datang ke sana. Lalu orang-orang itu berkata kepada Umar: “Rasulullah saw mengerjakan shalat si tempat ini.” Kemudian Umar berkata: “Sungguh telah binasa orang-orang ahlul Kitab kerena mereka menjadikan bekas-bekas para Nabi mereka sebagai sinagog dan tempat ibadah. (HR Syu’bah)

Imam Malik juga melarang orang yang datang ke makam Rasulullah saw untuk tujuan tawassul. Ketika ditanya seseorang yang mendatangi kuburan Nabi, ia berkata: “Jika bermaksud ke kuburan janganlah dan jika bermaksud ke masjid maka lakukanlah.” (Al-Mabsuth, Isma’il bin Ishaq)

3. Tawassul kepada Allah dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh.

Tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh adalah merupakan khilaf fiqhy yang menjadi perdebatan para Ulama. Oleh karena itu, Imam Hasan Al-Banna dalam Ushul Al-‘Isyriin berkata: “Dan berdo’a apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan seseorang dari makhlukNya adalah khilaf far’I (fiqhy) dalam cara berdo’a dan bukan merupakan masalah-masalah aqidah.”

Begitu juga Imam Ibnu Taimiah dalam Kitabnya Al-Fataawaa berkata: “Dinukil dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya tentang tawassul dengan Nabi dan sebagian yang lain melarangnya. apabila maksud mereka adalah tawassul dengan dzatnya, maka inilah tempatnya perselisihan pendapat (di antara mereka/Ulama). Dan apa-apa yang diperselisihkan oleh mereka harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa, Ibnu Taimiah 1/264)

Ia juga berkata: “Bahkan maksudnya adalah menjadi muara ijtihad dan apa-apa yang diperselisihkan Ummat ini harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya.” (Al-Fataawaa 1/179)

Hal ini juga diungkapkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albaany (At-Tawassul wa Anwa’uhu wa Ahkamuhu), Syekh Ibnu Baaz (Muhadlorat, DR ‘Ishaam Al-Basyiir) dan Syekh Muhammad Najib Al-Muthi’I (Minhaj Al-Quran Fii ‘Ardhi Aqiidatil Islam)


Meskipun demikian sebagai muslim harus mengambil pendapat yang rajih setelah melihat dalil-dalil dari setiap pendapat para Ulama. Inilah beberapa pendapat para Ulama tentang tawassul dengan kedudukan dan dzat orang-orang yang saleh;

Pertama, Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa tawassul ini tidak dibenarkan dalam Islam. Karena perbuatan manusia hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri di sisi Allah SWT. Sebgaimana firman Allah di bawah ini;

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS 53:39)

Jadi kedudukan mulia seseorang yang saleh di sisi Allah hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tidak bagi orang lain. Adalah suatu kesalahan besar orang yang menganalogikan Allah dengan manusia. Jika dalam hubungan sesama manusia kita sering menggunakan perantara karena adanya manfaat tertentu yang diperolehnya, maka kepada Allah hal itu tidak dibutuhkan. Untuk memperoleh keridloan Allah seorang hamba tidak perlu menggunakan perntara. Itulah sebabnya para sahabat tidak melakukan hal dengan kedudukan Rasulullah saw di sisiNya. Mereka setelah wafatnya Rasul justru memohon kepada Abbas untuk mendo’akan mereka. Hal ini yang pernah dilakukan Umar bin Khattab ra. Dalam shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Umar meminta hujan (kepada Allah) bertawassul dengan (do’a) Al-Abbas –Paman Rasul- dan ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami apabila tertimpa kepayahan/kekringan, kami bertawassul kepada Engkau dengan Nabi kami, kemudian Engkau menghujani kami. Dan apabila kami bertawassul kepada Engkau dengan paman Nabi kami, hendaklah Engkau menghujani kami, akhirnya mereka diberikan hujan.”

Di sini Imam Ibnu Taimaih berkata: “Do’a Umar dalam istisqo ini……. Menunjukan bahwa tawassul merupakan bentuk tawassul yang dibenarkan. Itulah tawassul dengan do’a dan syafaatnya bukan meminta dengan dzatnya. Karena seandainya hal ini (meminta dengan dzatnya) diperbolehkan maka Umar, sahabat Muhajirin dan Anshar niscaya bertawassul dengan dzat Nabi, tidak bertawassul dengan Al-Abbas.” (Qoidah Jaliah fii at-Tawassul, Ibnu Taimiah, 58)

Adapun hadits tentang orang buta yang berkata kepada Rasulullah saw “Aku bertawassul denganmu wahai Muhammad kepada Tuhanmu.” (HR Ibnu Majah dan At-Tirmidzi), maksudnya adalah permohonan kepada Rasulullah utnuk mendo’akannya. Karena Rasulullah selanjutnya berkata kepada orang itu; “Ya Allah, beri syafaatlah kepadanya karenaku.” (Imam Ahmad). Hal ini dengan mengasumsikan bahwa hadits ini adalah shahih, sebab sebenarnya sanadnya terputus. (Lihat Almadkhal liddirasati al-aqidat al-islamiah ‘alaa madzhabi ahli as-sunnah wa al-jama’ah, DR Ibrahim Al-Buraikan)

Adapun hadits “Bertawassullah kamu dengan kedudukanku kerena kedudukanku di sisi Allah matlah besat.” Adalah maudlu’ (dipalsukan). (Lihat Silsilat al-ahaadits ad-dho’ifah wa al-maudhu’at, Al-Baany)

Dan sementara bertawassul dengan dzat orang-orang yang saleh juga mengandung banyak pengertian yang semua dilarang dan bertentangan dengan syari’at;

* Bertawassul dengan kedudukan seseorang di sisi Allah
* Dengan lafadz itu ia ingin bersumpah kepada Allah. Dan bersumpah kepda Allah dengan selainnya adalah haram dan termasuk syirik kecil.
* Ia ingin membuat perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat.
* Dengan lafadz ini ia bermaksud memohon berkah yang tidak dibenarkan.


Kedua, Imam Izzuddin Abdus Salam membolehkan tawassul dengan dzat Rasulullah saw khusus dan tidak dibenarkan dengan selainnya. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal, sementara Imam As-Subki membolehkan tawassul dengan dzat orang-orang yang saleh selain Nabi. Dalil mereka adalah istisqonya Umar yang bertawassul dengan dzat paman Nabi dan hadits orang yang buta yang meminta dikembalikan matanya.

Dan beberpa hadits ini dijawab para Ulama yang tidak memperbolehkan bahwasanya yang dimaksud dengan tawassul di sana adalah permohonan do’a kepada Rasulullah saw dan sebenarnya hadits yang berkaitan dengan orang buta adalah dho’if.

SIKAP SEORANG MUKMIN

Untuk menjaga tauhid dan kesempuranannya, setiap mukmin harus berupaya dan berusaha menjauhkan dirinya dari bentuk tawassul yang mengandung bid’ah dan dilarang oleh Islam. Karena tawassul yang mengandung nilai kemungkaran ini akan berpengaruh pada terkabulnya do’a itu sendiri.

Dan seharusnya setiap mukmin memperhatikan do’a-do’a yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tentunya selain menjaga etika-etika berdo’a yang telah ditetapkan para Ulama seperti yang paparkan Imam Ibnu Qoyyim dalam Kitab Al-Jawaab Al-Kaafi. Hal ini dimaksudkan agar do’a cepat dan mudah dikabulkan Allah SWT.




ASSYURO
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa pada hari 10 Muharram disyari'atkan untuk berpuasa. Ibnu Abbas menceritakan :

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura' ( tanggal 10 Muharram), maka beliau bertanya: "Hari apakah ini?" Mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari itu karena syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian", maka Nabi berpuasa Asyura' dan memerintah-kan puasanya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bid'ah-bid'ah Asyura'
10 Muharram 61 H adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah Al-Husen bin Ali (ra) di padang Karbala. Karena peristiwa berdarah ini, setan berhasil menciptakan dua kebid'ahan sekaligus.

Pertama : Bid'ah Syi'ah

Asyura' dijadikan oleh Syi'ah sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap Asyura', mereka memperingati kematian Al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah, Ahmad Al-Kisrawiy Asy-Syi'iy, hal. 141, Tahqiq Dr. Nasyir Al-Qifari).

Kedua : Bid'ah Jahalatu Ahlissunnah

Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang Ahlussunnah yang jahil (Bodoh) menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria.

Menurut Ahmad Al-Kisrawi Asy-Syi'iy: "Dua budaya (bid'ah) yang sangat kontras ini, menurut literatur yang ada bermula pada jaman dinasti Buwaihi (321H - 447 H.) yang mana masa itu terkenal dengan tajamnya pertentangan antara Ahlus-sunnah dan Syi'ah. Orang-orang jahalatu (bodoh) Ahlussunnah menjadikan Asyura' sebagai hari raya dan hari bahagia sementara orang-orang Syi'ah menjadikannya sebagai hari duka cita, mereka berkumpul membacakan syair-syair haru kemudian menangis dan menjerit." (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah hal.142)

Sementara Syekh Ali Mahfudz mengatakan bahwa di Kufah ada kelompok Syi'ah yang sampai ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Al-Husen (ra) yang dipelopori oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi (tahun 67 H dibunuh oleh Mush'ab bin Az-Zubair) dan ada kelompok Nashibah (yang anti Ali beserta keturunannya), yang diantaranya adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Dan telah disebut di dalam hadits shahih. "Sesungguhnya (akan muncul) di Tsaqif (kepala suku dari Hawazin) seorang pendusta dan pembantai."

Pendusta tadi adalah Al-Mukhtar yang memperselisihkan keimamahan Ibnul Hanafiyah, dan pembantai tadi adalah Al-Hajjaj yang membenci Alawiyyin, maka yang Syi'ah tadi menciptakan bid'ah duka cita sementara yang Nashibah menciptakan bid'ah bersuka ria. (Al-Ibda' hal. 150)

Bid'ah-bid'ah tersebut berbentuk :

* Menambah belanja dapur.

Banyak riwayat yang mengatakan :"Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. At-Thabraniy, Al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr).

Asy-Syabaniy berkata: semua jalurnya lemah, Al-Iraqi berkata : sebagian jalur dari Abu Hurairah dishahihkan oleh Al-Hafidz Ibnu Nashir, jadi menurutnya ini hadits hasan, sedangkan Ibnul Jauzi menulisnya di dalam kumpulan hadits palsu (Tamyizuth-Thayyib minal Khabits, no. 1472, Tanbihul Ghafilin, 1/367).
Sementara itu imam As-Suyuthi dengan tegas mengatakan : "Telah diriwayatkan tentang keutamaan meluaskan nafkah sebuah hadits dhaif, bisa jadi sebabnya adalah ghuluw di dalam mengagungkannya, dari sebagian segi untuk menandingi orang-orang Rafidhah (Syi'ah) karena syetan sangat berambisi untuk memalingkan manusia dari jalan lurus. Ia tidak peduli ke arah mana --dari dua arah-- mereka akan berpaling, maka hendaklah para pelaku bid'ah menghindari bid'ah-bid'ah sama sekali." (Al-Amru Bil Ittiba', hal.88-89)

Imam Ahmad mengatakan ketika ditanya : "Hadits ini tidak ada asalnya, ia tidak bersanad kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Ibnul Muntasyir, sementara ia adalah orang Kufah, ia meriwayatkan dari seorang yang tidak dikenal." (Al-Ibda', Ali Mahfudz, 150)

* Memakai celak (sifat mata).
* Mandi.

Mereka meriwayatkan sebuah hadits: "Barangsiapa yang memakai celak pada hari Asyura', maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari Asyura', ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut As-Sakhawi, Mulla Ali Qari dan Al-Hakim) (Al-Ibda', hal. 150-151)

* Mewarnai kuku.
* Bersalam-salaman.

Imam As-Suyuthi mengatakan : "Semua perkara ini (no. 2-5) adalah bid'ah munkarah, dasarnya adalah hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ." ( Al-Amru bil Ittiba', hal.88)

* Mengusap-usap kepala anak yatim.

Memberi makan seorang mukmin di malam Asyura'. Mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu dengan sanad dari Ibnu Abbas yang mirip dengan haditsnya orang Syi'ah yang berbunyi:

"Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura' dari bulan Muharram, maka Allah memberinya (pahala) sepuluh ribu malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah dan sepuluh ribu orang mati syahid. Dan barangsiapa memberi buka seorang mukmin pada malam Asyura', maka seakan-akan seluruh umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berbuka di rumahnya sampai kenyang." (Hadits palsu dinyatakan oleh imam As-Suyuthi dan Asy-Syaukani, no. 34, lihat Tanbihul Ghafilin, 1/366).

* Membaca do'a Asyura' seperti yang tercantum dalam kumpulan do'a dan Majmu' Syarif yang berisi minta panjang umur, kehidupan yang baik dan khusnul khotimah. Begitu pula keyakinan mereka bahwa siapa yang membaca do'a Asyura' tidak akan meninggal pada tahun tersebut adalah bid'ah yang jahat. (As-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad Asy-Syuqairi, hal.134).
* Membaca "Hasbiyallah wani'mal wakil" pada air kembang untuk obat dari berbagai penyakit adalah bid'ah.
* Shalat Asyura'. Haditsnya adalah palsu, seperti yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam Al-La'ali Al-Mashnu'ah (As-Sunan wal Mubtada'at, 134).

Asyuro dalam Tradisi dan Kultur Kejawen
Bulan Suro banyak diwarnai oleh orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain : Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh dibuat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan dan lain-lain yang ada hanya ritual.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah dan animisme, dinamisme dan Arab jahiliyah. Dulu,orang Quraisy jahiliyah pada setiap Asyura' selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah) (Fathul Bari, 4/246). Kini, orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin.

Di dalam Islam, Asyura' tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (Syi'ah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri (Jahalatu Ahlissunnah) dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura' dengan satu hari sebelumnya atau juga dengan sehari sesudahnya. Waallahu-a'lam. (Abu Hamzah A. Hasan Bashori)

* * *

Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu berkata : Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa."