Rabu, 05 November 2008

Pandangan lain tentang BAnk Syariah terhadap UKM

Pendahuluan

Perkembangan ekonomi syariah pada umumnya dan bank syariah pada khususnya semakin marak beberapa tahun terakhir. Laju pertumbuhan tersebut kemudian bertambah dengan adanya angin segar berupa keluarnya fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 16 November tahun 2003 tentang pengharaman berbagai jenis transaksi berbasis bunga, baik di lingkungan perbankan, asuransi maupun transaksi bisnis lainnya.

Sebenarnya, tanpa adanya fatwa dari MUI sekalipun, lembaga keuangan syariah dalam hal ini bank syariah akan tetap eksis di jalurnya. Perbankan syariah akan tetap mengalami pertumbuhan karena banyak didukung oleh infrastuktur kelembagaan dan komitmen dari Bank Indonesia (BI). Meskipun jumlah cabang yang dimiliki bank syariah sampai saat ini masih sangat kecil, perlahan namun pasti jumlah tersebut akan bergerak naik secara signifikan. Optimisme ini didukung oleh adanya fakta perkembangan bank syariah yang signifikan dari tahun ke tahun. Menurut data Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, bila pada tahun 1992 baru berdiri sebuah bank umum syariah (Bank Muamalat Indonesia), maka pada tahun 2003 atau sepuluh tahun kemudian ternyata telah muncul dua bank umum syariah, delapan unit usaha syariah dari bank konvensional, termasuk satu dari bank asing.



Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Bank Syariah

Semakin pesatnya pertumbuhan bank syariah tersebut pada saatnya memang menumbuhkan persepsi mengenai kebangkitan sektor ekonomi riil Indonesia secara umum. Lebih khusus lagi adalah perkembangan UKM (Usaha Kecil Menengah) yang selama ini menjadi tulang punggung dari sektor riil itu sendiri.

Kenyataannya, hal tersebut tidaklah sesuai dengan yang dipersepsikan. Setidaknya ada beberapa faktor yang menghambat dan melemahkan kaitan antara perkembangan UKM dan bank syariah itu sendiri. Faktor-faktor tersebut jelas signifikan menjelaskan bahwa pertumbuhan bank syariah tidak berkorelasi positif dengan tumbuhnya UKM, bahkan nantinya pertumbuhan bank syariah sendiri tidak mendukung pertumbuhan bagi UKM di Indonesia.

Faktor pertama yang berpengaruh terhadap pendapat tersebut adalah bahwa bank syariah di Indonesia tidak mampu menjangkau seluruh daerah di Indonesia. Indonesia, sebagai negara muslim terbanyak penduduknya memang mempunyai panjang area yang sangat luas yaitu membentang sekitar 5.000 kilometer. Daerah tersebut kemudian dipisahkan lagi dengan pulau-pulau dan keadaan wilayah desa kota yang sangat berbeda jauh di Indonesia. Dalam artian, Indonesia mempunyai kesenjangan yang berbeda jauh antara kota dan desa. Di satu sisi terdapat kota yang sedemikian majunya dan di sisi lain, di Indonesia masih banyak pula desa-desa dengan penduduk yang kurang berpendidikan dan sulit dijangkau.

Latifa M. Algoud dan Mervyn K. Lewis dalam bukunya yang berjudul Perbankan Syariah menyatakan bahwa gerai bank syariah yang ada tidak mampu menjangkau seluruh pelosok nusantara. Kekosongan peran tersebut kemudian digantikan oleh BMT (Baitul Maal Wattamwil) dan BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). BMT menurutnya, mampu memfokuskan dirinya pada unit-unit usaha kecil, seperti warung-warung dan pedagang kaki lima. Pada tahun 1998 saja, jumlah BMT telah mampu mencapai angka 898 yang tersebar di seluruh Indonesia. BPRS selanjutnya juga ternyata memberikan kontribusi aktif dalam penyaluran dana ke unit-unit usaha muslim. Walaupun jumlah BPRS pada data tahun 1999 hanya mencapai 78 unit.

Faktor kedua yang menjadikan peran bank syariah tidak optimal dalam mengembangkan UKM adalah karena manajemen bank syariah cenderung sentralistik. Tidak seperti BMT dan BPRS yang beroperasi secara lokal, bank syariah menghimpun dananya secara langsung atau terpusat. Dalam artian, bank syariah ternyata cenderung menghimpun dananya secara massal dan mengeluarkannya untuk pembiayaan dalam jumlah besar juga.

Akibatnya dapat dilihat dari pengucuran dana bank syariah terhadap UKM yang sangat sedikit. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan di lapangan bahwa ternyata akan sangat sulit untuk meminjam dana dari bank syariah dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Misalnya, kita sebut nominal lima juta rupiah. Maka, pada akhirnya terjadi biaya transaksi yang tinggi untuk meminjam modal sejumlah tersebut.

Lain halnya dengan BMT. BMT memang dirancang untuk memberikan kredit kepada usaha mikro. Sebagai sebuah perbandingan, BMT Amanah yang beroperasi di Kota Tegal saja hanya mampu memberikan kucuran dana di bawah sepuluh juta saja. Dengan kata lain, memang BMT sangat sesuai untuk pengembangan kredit mikro dan bank syariah nampaknya akan sulit untuk terfokus pada UKM tersebut.



Peran UKM dalam Perekonomian Nasional

Melihat kondisi yang dikemukakan di atas, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pengembangan UKM dengan tetap berbasiskan ekonomi syariah. Hal tersebut penting untuk diperhatikan karena ternyata UKM telah mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar. Dengan pengembangan UKM, pada akhirnya berarti mengurangi angka pengangguran di Indonesia.

Tabel 1.1

Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Skala Usaha

Tahun 2003 - 2004



No
Skala Usaha
Jumlah (Orang)

2003*)
2004**)

1
Usaha Kecil
71.099.307
70.919.385

2
Usaha Menengah
8.304.889
8.147.479

3
Usaha Besar
415.292
402.902

Jumlah
79.819.488
79.469.766


Keterangan: *) Angka Sementara

**) Angka Sangat Sementara

Sumber: BPS dan Kementrian Koperasi dan UKM (diolah)



Usaha kecil menengah selain menyerap banyak tenaga kerja, ternyata telah terbukti efektif pula menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Ini menjadi catatan penting dalam pengembangan perekonomian nasional ke depan. Bahwa kenyataannya UKM-lah yang mampu bertahan dalam badai krisis dan keguncangan ekonomi terberat sekalipun.



Menabung di bank syariah = menghambat usaha kecil menengah?

Bank sebagaimana umumnya mempunyai fungsi ganda. Di satu sisi menghimpun dana masyarakat lewat berbagai instrument tabungannya (saving). Saving dapat dilakukan lewat jenis tabungan biasa maupun tabungan berjangka seperti deposito dan instrument lainnya. Di sisi lain bank juga menyalurkan pinjaman dalam bentuk kredit kepada masyarakat.

Permasalahan yang muncul adalah kebanyakan dari bank menyalurkan kreditnya kepada proyek-proyek pembiayaan maupun investasi dalam jumlah besar. Mengapa ini terjadi? Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perbankan mempunyai sistem yang sentralistik di mana dana dari tiap cabangnya dikumpulkan dalam cabang pusat. Akibatnya jumlah dana yang terkumpul akan sangat banyak. Untuk memudahkan penyalurannya, maka bank cenderung untuk menginvestasikan dana tersebut dengan pembiayaan maupun investasi dalam jumlah besar pula.

Tidak berbeda juga dengan yang terjadi dengan perbankan syariah. Bedanya mungkin hanya perangkat-perangkat dan praktek yang telah dilakukan telah diubah menjadi sesuai dengan syariat Islam di mana unsur pokoknya yaitu tidak adanya lagi transaksi ribawi di dalamnya.

Oleh karena itu, jalan terbaik agar pembiayaan atau investasi tersebut tidak mengarah begitu saja pada usaha skala besar saja adalah dengan mengurangi input dana menuju bank syariah. Atau dengan kata lain jika kenyataan telah menunjukkan bahwa bank syariah tidak lebih terfokus pada pengembangan usaha dalam skala besar dan di sisi lain UKM sangat membutuhkan bantuan dana untuk kelanjutan usahanya, maka tindakan menabung di bank syariah bisa jadi turut andil dalam menghambat perkembangan UKM.



BMT sebagai solusi pemberdayaan UKM

Tidak berhenti di sini saja, tetapi harus ada solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pengalihan dana tersebut dari bank syariah harus dialihkan ke pihak lain yang lebih memiliki kapabilitas dalam pemberdayaan UKM. Langkah solutif yang tepat menurut pendapat penulis adalah dengan mengalihkannya kepada BMT.

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya pada tulisan ini, BMT memang sudah diproyeksikan untuk memberikan pinjaman kepada UKM. Namun sayangnya, BMT sendiri kurang memerlukan suntikan modal untuk mendukung sarana ini. Selain kesulitan modal kendala lain yang dihadapi oleh BMT sendiri adalah kurangnya tenaga terampil dan berpengalaman untuk mendirikan dan mengelola BMT secara professional. Akibatnya perkembangan BMT di beberapa daerah kurang baik. Malahan, ada kasus BMT gulung tikar karena tidak adanya dukungan modal dan di sisi lain banyak kredit macet.

Akhirnya, yang perlu dilakukan memang memasok sumber daya insani yang strategis untuk mengelola BMT dengan baik. Diharapkan dengan perkembangan BMT yang baik tersebut, perkembangan UKM juga menjadi lebih baik. Akankah Anda mengalihkan dana tabungan dari bank ke BMT?









Daftar Pustaka

Tim BNI Syariah. Prospek Bank Syariah Pasca Fatwa MUI (2005). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Latifa M. Algoud dan Mervyn K. Lewis. Perbankan Syariah (2005). Jakarta: Serambi.

Adiwarman Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (2004). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



Sumber lain

Proposal PKM (Program Kreativitas Mahasiswa). Peran Baitul Maal Wattamwil (BMT) dalam pemberdayaan UKM di Kota Depok. KSM EP UI 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar