Rabu, 05 November 2008

Bank Syariah Harus Biayai UKM

OPTIMALISASI PERANAN PERBANKAN SYARIAH DALAM PEMBIAYAAN PRODUKTIF BAGI SEKTOR USAHA KECIL-MENENGAH

Oleh: Khotibul Umam, S.H.


Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan salah satu agen pembangunan (agent of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yaitu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Adanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana bagi negara dan masyarakat guna menunjang jalannya proses pembangunan.

Sektor hukum perbankan di Indonesia mengalami perkembangan signifikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hal ini terjadi karena di dalam kebijakan perbankan di Indonesia pasca diundangkannya undang-undang ini secara tegas mengakui eksistensi dari bank islam (islamic banking) atau yang lebih kita kenal dengan bank syariah.

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang mengenal bank syariah semata-mata hanya bank yang mendasarkan pengelolaannya berdasarkan bagi hasil, maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 secara tegas mengakui eksistensi bank dengan Prinsip Syariah disamping bank konvensional yang berbasis pada bunga.

Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, Prinsip Syariah diartikan sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

Dengan melihat pengertian prinsip syariah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa produk perbankan syariah lebih variatif di bandingkan dengan produk pada bank konvensional. Hal mana produk pada bank syariah dirasakan dapat memenuhi kebutuhan nasabah deposan maupun nasabah debitur sesuai dengan kebutuhan nyata mereka. Khususnya dalam hal penyaluran dana kepada masyarakat, maka skim pembiayaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan nasabah.

Sementara itu sektor ekonomi di Indonesia secara faktual sebagian besar didukung oleh sektor usaha kecil dan menengah atau dikenal dengan singkatan UKM. Pada saat krisis ekonomi pun ternyata sektor ini mampu tetap bertahan, artinya sektor UKM mempunyai keunggulan dan sangat potensial untuk lebih dikembangkan lagi melalui suatu kebijakan yang tepat dan dukungan dari lembaga yang tepat. Adapun permasalahan utama yang dihadapi oleh sektor UKM adalah berupa permodalan, dimana terkadang dalam memperoleh modal dari bank mengalami kesulitan. Salah satu hal yang menyebabkan adanya hal ini adalah adanya suku bunga kredit yang tinggi dan diperlukannya jaminan kebendaan (collateral minded) yang sukar dipenuhinya.

Dengan semaraknya perkembangan sektor perbankan syariah, terutama pasca Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 maka diharapkan dapat lebih membantu perkembangan UKM ini. Melalui pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan karakteristik yang berbeda dengan kredit/pinjaman (loan) dari bank konvensional, maka UKM akan dapat memenuhi kebutuhan permodalan dimaksud.

Permasalahan yang muncul kaitannya dengan hal ini adalah mengenai jenis pembiayaan apa yang cocok untuk UKM dan bagaimana sebaiknya bank syariah menyikapi kebutuhan dari UKM.


Usaha Kecil-Menengah dan Produk Pembiayaan Perbankan Syariah yang Sesuai

Dalam Pembangunan Nasional, UKM adalah bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi.[1]

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kelangsungan suatu kegiatan usaha perlu didukung oleh permodalan dan sumber daya manusia yang memadahi. Namun dalam praktiknya UKM seringkali kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan, satu dan lain hal karena suku bunga pinjaman yang tinggi dan berdasarkan analisis kredit khususnya terkait dengan jaminan “dianggap” tidak memenuhi.

Dengan demikian sektor perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang mengemban misi bisnis (tijarah), sekaligus misi sosial (tabarru) sudah seyogyanya mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan sektor UKM dimaksud. Untuk kepentingan UKM suatu bank syariah hendaknya mampu secara cermat mengetahui kebutuhan nyata yang ada pada UKM yang bersangkutan. Hal ini penting karena karakteristik produk pembiayaan yang ada pada perbankan syariah bervariasi dan masing-masing hanya menjawab pada kebutuhan tertentu. Adapun beberapa motif dan kebutuhan yang ada pada nasabah debitur yang dalam hal ini adalah UKM dan produk perbankan syariah yang sesuai dapat dikategorikan antara lain sebagai berikut:

Pertama, UKM yang membutuhkan adanya barang modal sebagai sarana dalam proses usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad jual beli, khususnya pembiayaan murabahah. Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.[2] Adapun persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan murabahah ini, yaitu:[3]

a. Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.

b. jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;

c. Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;

d. dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;

e. Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;

f. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;

g. kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;

h. Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.


Selain pembiayaan murabahah, UKM yang membutuhkan adanya barang modal bisa juga diberikan pembiayaan berdasarkan akad sewa-menyewa. Pembiayaan yang didasarkan akad sewa-menyewa dalam praktik perbankan syariah dibedakan menjadi dua, yakni pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah muntahia bittamlik (IMBT). Dalam pembiayaan ijarah kedudukan bank adalah sebagai pemberi sewa sehingga berhak atas uang sewa (ujrah) dan pengembalian obyek sewa-menyewa[4] di akhir masa sewa, sedangkan UKM selaku nasabah berkedudukan sebagai pihak penyewa yang wajib membayar uang sewa dan mengembalikan obyek sewa-menyewa di akhir masa sewa. Kemudian dalam hal UKM yang bersangkutan disamping bermaksud mendapatkan manfaat atas suatu barang modal juga berkeinginan untuk memiliki barang yang bersangkutan di akhir masa sewa, maka ia dapat mengajukan permohonan pembiayaan IMBT.

Kedua, UKM dalam tahap pendirian yang membutuhkan modal kerja dan UKM yang membutuhkan tambahan modal untuk kepentingan ekspansi usaha. Menyikapi adanya hal ini pihak bank syariah dapat memberikan pembiayaan berdasarkan akad bagi hasil berupa pembiayaan mudharabah atau pembiayaan musyarakah. Mudharabah diartikan sebagai penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Adapun musyarakah adalah penanaman dana dari pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing.[5]

Persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan mudharabah ini, yaitu:[6]
Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha;
jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya;
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar;
pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha;
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan;

a) nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib;

b) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan nasabah;
pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan
Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.


Sedangkan persyaratan minimal yang harus dipenuhi dalam hal pembiayaan musyarakah, yaitu sebagai berikut:[7]
Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati;
Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha;
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak;
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah;
pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan
Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan atau kecurangan.


Ketiga, UKM yang sedang mengalami kesulitan keuangan, bahkan mungkin harus segera mendapatkan dana segar untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya (liability) kepada pihak ketiga. Bank syariah ketika menemukan UKM yang seperti ini adalah tepat ketika memberikan pembiayaan yang bersifat pinjaman tanpa bunga atau yang dikenal dengan pembiayaan qardh atau pembiayaan qardh al-hasan. Dalam Pasal 1 angka 11 PBI No. 7/46/PBI/2005, qardh diartikan sebagai pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian pembiayaan qardh ini hanya diberikan dalam keadaan darurat (emergency), atau dapat juga diberikan bagi UKM pada awal pendiriannya, akan tetapi mempunyai reputasi yang bagus dalam arti kejujuran pengelolanya.

Adapun untuk mendapatkan pembiayaan qardh ini persyaratan minimal yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 18 PBI No. 7/46/PBI/2005 adalah sebagai berikut:
Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima pada waktu yang telah disepakati;
Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan dengan pemberian pinjaman Qardh;
nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad;
dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban kerugian Bank;
dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat menjatuhkan sanksi kewajiban pembayaran atas kelambatan pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban pinjaman nasabah;
sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak;
sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari Dana Pihak Ketiga yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan kepentingan nasabah pemilik dana.


Sedangkan pembiayaan qardh al-hasan yang merupakan pinjaman kebajikan adalah pinjaman yang selain bebas bunga juga memang ditujukan untuk nasabah yang benar-benar tidak mampu akan tetapi membutuhkan dana untuk tetap melangsungkan kehidupannya. Untuk itu dalam qardh al-hasan pihak peminjam pada dasarnya tidak wajib mengembalikannya dalam hal memang tidak mampu mengembalikannya.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah memiliki produk-produk pembiayaan yang bervariasi dan dapat disesuikan dengan kebutuhan riil pada diri nasabah, baik itu nasabah perorangan maupun badan usaha. Untuk itu yang dibutuhkan berikutnya kaitannya dengan pengembangan UKM adalah diperlukannya optimalisasi pembiayaan produktif yang ada melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan bank sebagaimana yang telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya.




Optimalisasi Pembiayaan Produktif dalam Rangka Pengembangan Usaha Kecil- Menengah

Perbankan merupakan sebuah lembaga keuangan yang sarat akan pengaturan, sehingga para ahli sering mengatakan bahwa bank adalah the most regulated industry in the world. Di Indonesia selain didasarkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, secara teknis Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan juga telah mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Bank Indonesia (PBI), misalnya PBI No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Dari regulasi di bidang perbankan ini dapat ditarik beberapa prinsip berkaitan dengan pengelolaan bank yang berlaku bagi bank konvensional dan bank syariah. Prinsip-prinsip operasional bank dimaksud terdiri dari prinsip kepercayaan (fiduciary principle), prinsip kehati-hatian (prudential principle), prinsip kerahasiaan (confidential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your costumer principle). Keempat prinsip ini saling terkait satu dengan yang lainnya.

Berkaitan dengan optimalisasi pembiayaan produktif ini, maka penerapan prinsip-prinsip pengelolaan bank menjadi suatu keniscayaan. Bahwa hubungan bank dan nasabah didasarkan pada prinsip kepercayaan, sehingga perlu adanya hubungan saling percaya antara nasabah dengan bank. Dalam rangka mendapatkan rasa saling percaya maka bank hendaknya mengenal dengan baik karakter dan segala sesuatu yang berkaitan dengan nasabah. Adapun caranya adalah melalui studi kelayakan (feasibility study), misalnya dengan menggunakan prinsip 5 C (The 5’C Principle), yakni menganalisis nasabah yang dalam hal ini adalah UKM pada aspek watak (Character), modal (Capital), kemampuan dalam melunasi kewajiban (Capacity), kondisi ekonomi (Condition of Economic), dan jaminan (Collateral).

Dengan melakukan studi kelayakan dengan cermat, maka berarti pihak bank syariah telah melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential principle) sehingga dalam menyalurkan pembiayaan, khususnya pembiayaan produktif yang dalam hal ini ditujukan bagi pengembangan UKM adalah tepat sasaran dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan nyata dari UKM yang bersangkutan. Melalui studi kelayakan ini juga dapat meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah (non performing finance), sehingga proses pelaksanaan pembiayaan produktif dapat berjalan optimal. Kemudian baik UKM maupun bank syariah masing-masing mendapatkan manfaat dan keuntungan sesuai dengan perjanjian pembiayaan yang telah dibuatnya. Pada akhirnya dengan suksesnya pembiayaan bagi UKM, berarti juga merupakan kontribusi perbankan syariah terhadap proses pembangunan di Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur materiil maupun spirituil.


Penutup

Perbankan merupakan agen dari pembangunan, sehingga dalam melaksanakan kegiatan usahanya seyogyanya tidak hanya berpihak pada golongan ekonomi menengah ke atas, tetapi ia juga mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan di tataran akar rumput (grass root). UKM sebagai sektor usaha yang dimiliki oleh masyarakat kebanyakan hendaknya diberikan kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan produktif, tentu saja setelah melalui proses studi kelayakan yang cermat sehingga proses jalannya pembiayaan tepat sasaran dan masing-masing mendapatkan manfaat dan keuntungan secara lebih adil.

Hal ini semua dapat dipenuhi oleh perbankan syariah dengan syarat bahwa dalam melaksanakan kegiatan usahanya berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan bank yang ada. Dengan demikian optimalisasi pembiayaan produktif bagi UKM oleh perbankan syariah bisa diwujudkan.


Reference:

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

PBI (Peraturan Bank Indonesia) No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.


[1] Lihat Konsideran Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

[2] Pasal 1 angka 7 PBI (Peraturan Bank Indonesia) No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

[3] Pasal 9 ayat (1) PBI No.7/46/PBI/2005

[4] Obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang.

[5] Pasal 1 angka 5 dan 6 PBI No.7/46/PBI/2005

[6] Pasal 6 PBI No.7/46/PBI/2005

[7] Pasal 8 PBI No.7/46/PBI/2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar