Selasa, 06 Januari 2009

POLITIK

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.

GOLPUT

Kadangkala kita berpikir terlalu simpel dan sederhana dalam menilai sebuah permasalahan. Karena demokrasi dipandang sebagai bagian dari sistem kufur kemudian kita berlepas diri dari situasi dan realitas yang ada tanpa mau melakukan perubahan yang sitematis dan terarah. Bahkan, kadangkala tidak mau memahami cara berpikir orang lain yang dianggap batil, sesat, dan hanya pendapat kelompoknya sendiri yang benar.

Terkait dengan jawaban tentang golput sebelumnya, yang diharapkan adalah berpikir secara lebih cermat dan jernih. Yaitu bahwa dalam sebuah sistem pemilu, semata-mata tidak memilih pun sebenarnya bisa berdampak juga. Sehingga kita perlu sedikit lebih cerdas dalam menganalisa.

Sebagai ilustrasi, kalau kita punya dua pilihan yang keduanya tidak ada yang kita pilih karena karena dianggap sama-sama bermasalah, maka pastilah di antara keduanya ada yang tingkat masalahnya lebih parah. Misalnya calon A masalahnya lebih parah dari calon B. Sehingga kalau A terpilih, madharatnya bisa dipastikan lebih besar. Dan tentunya dengan memilih B yang masalahnya lebih ringan tentu akan lebih baik dengan prinsip �akhafu adh-dhararain�.

Bila calon A sampai menang padahal masalahnya lebih berat, maka kondisi �akhafu adh-dhararain� pastilah tidak terwujud. Dan ini pun masalah juga dan lebih parah. Padahal biar bagaimana pun presiden tetap pasti ada.

Maka pilihan untuk tidak memilih (golput) bila sampai menjadi salah satu faktor penyebab kemenangan pihak A yang masalahnya lebih besar, bukanlah pilihan yang terlalu bijak juga. Sebab secara tidak langsung, suara yang seharusnya diberikan kepada pihak B yang lebih ringan masalahnya akan hilang. Lalu bandulnya akan pindah ke pihak A yang sejak awal diyakini lebih berat masalahnya.

Dengan kata lain, bergolput pun tetap tidak lepas dari tanggung-jawab memenangkan pihak A yang masalahnya lebih berat. Ini tentu sebuah analisa semata yang berpandangan bahwa bergolput pun belum tentu terlepas dari tanggung jawab.

Kecuali bila dengan golput itu kita bisa membatalkan naiknya kedua calon yang tidak baik itu, baik A maupun B. Apalagi kalau bisa mendatangkan C yang jauh lebih baik dari keduanya, tentu golput dalam kondisi itu bisa punya nilai lebih. Sekali lagi ini hanyalah sebuah pemikiran dan analisa. Bisa benar dan bisa juga salah.

Di sisi lain, ketika kita menamakan atau masuk ke dalam sebuah sistem yang terlanjur disebut-sebut sebagai sistem demokrasi, sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran kita bahwa rakyat itu tuhan, seperti yang dipahami secara sempit dari kekuasaan di tangan rakyat. Yang dilakukan adalah mengatakan kepada lawan, �Kalau Anda mengatakan bahwa kekuasaan di tangan rakyat, oke dan boleh saja. Tapi ketahuilah bahwa rakyat itu menginginkan hukum Tuhan diterapkan di negeri ini�. .

Hasilnya akan jelas bahwa hukum Allah SWT akan berlaku dengan perantaraan diplomasi. Kira-kira hal tersebut senada dengan kisah pemuda Ashabul Ukhdud yang secara diplomatis rela memberikan kunci rahasia bagaimana caranya agar dirinya bisa dibunuh oleh penguasa. Syaratnya adalah bahwa raja dan semua rakyat harus mengucapkan syahadat ketika membunuhnya.

Jadi kita mengunakan logika lawan untuk bisa memenangkan argumentasi kita. Sama juga dengan diplomasi Nabi Ibrahim AS yang ketika ditanyakan kepadanya siapakah yang meruntuhkan tuhan-tuhan itu, Ibrahim menjawab dengan sangat diplomatis bahwa berhala yang paling besar itulah yang telah melakukannya. Diplomasi ini menohok lawan langsung tepat pada titik matinya. Sehingga mereka tercekat tak bisa menjawab kecuali dengan tangan besi.

Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?" Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara". (QS.Al-Anbiya� : 62)

Dengan teknik yang mirip, kita mengatakan kepada lawan bahwa kita siap beradu kekuatan dengan cara lawan, yaitu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin suara. Sebab kita yakin bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah muslimin, maka sudah barang tentu bila suara terbesar itu pastilah milik umat Islam. Sayangnya selama ini suara itu malah dimanfaatkan oleh partai sekuler untuk menegakkan sistem sekuler di negeri ini. Seandainya partai Islam yang komitmen dengan Islam mendapat dukungan luas dari umat Islam, insya Allah kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tidak seperti sekarang ini.

DEMONSTRASI

Demonstrasi sebagaimana yang disebutkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia mengandung dua makna. Pertama, pernyataan protes yang dikemukakan secara massal atau unjuk rasa. Kedua, peragaan yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau kelompok, misalnya demo masak, mendemonstrasikan pencak silat dll. Tapi barangkali pertanyaan yang dimaksud adalah demo dalam pengertian pertama, yang biasa disebut juga unjuk rasa.

Dalam wacana Islam demonstrasi disebut muzhoharoh, yaitu sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mensyi’arkannya dalam bentuk pengerahan masa. Demonstrasi merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya pisau, dapat digunakan untuk berjihad, tetapi dapat juga digunakan untuk mencuri.

Sehingga niat atau motivasi sangat menentukan hukum demonstrasi. Rasulullah saw. bersabda:


Sesungguhnya amal-amal itu terkait dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu mendapatkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia, maka akan mendapatkannya, atau karena wanita maka ia akan menikahinnya. Maka hijrah itu sesuai dengan niatnya” (Muttafaqun ‘alaihi).

Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Demonstrasi dapat dijadikan komoditas politik yang berorientasi pada perolehan materi dan kekuasaan, dapat juga berupa sarana amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad. Dalam kaitannya sebagai sarana mar ma’ruf nahi mungkar dan jihad, demonstrasi dapat digunakan untuk melakukan perubahan menuju suatu nilai dan sistem yang lebih baik. Allah SWT. berfirman:

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai (QS At-Taubah 33 dan As-Shaaf 9)

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi (QS Al-Fath 28).

Dan jika kita merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah, maka kita dapatkan kaidah-kaidah secara umum tentang muzhoharoh.

1. Al Qur’an

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)( QS Al-Anfaal 60).

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS AT-Taubah 120-121)


2. Hadits Rasul saw

Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi)

Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatitnya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman (HR Muslim).


3. Sirah Rasul saw



Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.

Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba’) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu:” Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)”.



4. Kaidah Fiqhiyah

Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib.

Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.

Dengan demikian kami cenderung mengatakan bahwa demonstrasi sebagai sebuah sarana harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad demi meneggakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Memberantas kezhaliman dan kebatilan. Dan umat Islam harus mendukung setiap upaya kebaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai Islam demi kejayaan Islam dan kemashlahatan umat.


UU THOGHUT

ada sejumlah hal yang perlu dipahami:
1. Berhukum dengan hukum Allah itu hukumnya wajib. Menyelenggarakan negara dengan dengan sistem Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah juga wajib. Dan hak untuk menentukan hukum dan undang-undang adalah kewenangan Allah SWT semata, bukan kewenangan manusia. Tidak ada yang menentang doktrin ini dari kalangan aktifs dakwah. Semua sepakat akan hal itu

2. Masalahnya adalah kondisi realitas umat Islam yang berada di dalam penjara dan penjajahan musuh. Kondisi ini nyaris memustahilkan umat Islam untuk memiliki negara sendiri dan tentunya pemerintahan sendiri dengan berdasarkan Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah. Ini adalah kondisi yang teramat tidak ideal akibat hilangnya khilafah Islam di muka bumi.

3. Karena itu, perlu ada upaya untuk membangun kembali khilafah atau daulah islam. Bagaimana caranya? Ada yang memilih sesuatu yang ideal yaitu ingin membangun khilafah secara sekaligus. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan ide ini. Hanya saja kenyataan di lapangan telah membuat kita tahu bahwa membangun khilafah itu tidak bisa diukur dengan usia seseorang. Sebab jangankan khilafah, sekedar sebuah kabupaten kecil yang bersyariat sekalipun tidak pernah terwujud. Dan umat Islam harus menunggu ratusan tahun untuk terwujudnya hal itu. Karena itu, yang harus dilakukan adalah adanya proses menuju ke arah tersebutsembari menuju ke arah sana dengan membina, mengkader, penyusun kekuatan, membangun struktur jaringan umat dan seterusnya, mereka juga mulai mengadakan proyek dan prototipe khilafah meski dalam skala yang masih kecil. Setiap ada kesempatan untuk melakukan bargaining yang memberi peluang diterapkannya hukum Islam, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Memang tidak mungkin berharap hukum Islam bisa terlaksana 100 % dari hasil adu bargaining itu, tetapi paling tidak sudah bisa mulai terkonsentrasinya upaya tegaknya hukum Islam. Mungkin awalnya bisa mendapat porsi yang kecil, 1 % atau 2 % di awalnya. Lalu perlahan tapi pasti seiring dengan kepercayaan umat mulai bisa melakukan penetrasi yang lebih besar lagi. Itu artinya, hukum Islam bisa dijalankan meski baru beberapa persen saja. Semua memang harus diusahakan secara perlahan tapi pasti dan tidak berhenti.

4. Undang-undang tidak serta merta bertentangan dengan syariat Islam. Ia merupakan produk hukum manusia yang bisa jadi isi dan materinya sejalan dengan substansi syariat Islam atau bisa pula berlawanan. Ketika parlemen sebagai lembaga yang membuat undang-undang diisi oleh orang-orang yang mengerti dan memiliki tekad untuk menegakkan syariah, tentu isi undang-undangnya akan sejalan dengan syariat. Namun, jika tidak maka mustahil rasanya undang-undang yang keluar akan selalu sejalan dengan syariat. Tetapi paling tidak sejumlah kalangan yang memiliki perhatian terhadap Islam berupaya agar undang-undang tersebut tidak terlalu menyimpang dari syariat.
5. Atas dasar itu, agar semua produk hukum yang dihasilkan sejalan dengan syariat, parlemen harus diisi oleh kalangan islam yang mengerti dan mau memperjuangkan syariat.

DEMOKRASI

Demokrasi Dalam Pandangan Syariat

Saat ini umat Islam dihadapkan pada kenyataannya bahwa khilafah Islamiyah yang tadinya besar itu telah dipecah-pecah oleh penjajah menjadi negeri kecil-kecil dengan sistem pemerintahan yang sekuler. Namun mayoritas rakyatnya Islam dan banyak yang masih berpegang teguh pada Islam. Sedangkan para penguasa dan pemegang keputusan ada di tangan kelompok sekuler dan kafir, sehingga syariat Islam tidak bisa berjalan. Karena mereka menerapkan sistem hukum yang bukan Islam dengan format sekuler dengan mengatasnamakan demokrasi.

Meski prinsip demokrasi itu lahir di barat dan begitu juga dengan trias politikanya, namun tidak selalu semua unsur dalam demokrasi itu bertentangan dengan ajaran Islam. Bila kita jujur memilahnya, sebenarnya ada beberapa hal yang masih sesuai dengan Islam. Beberapa diantaranya yang dapat kami sebutkan antara lain adalah :


-Prinsip syura (musyawarah) yang tetap ada dalam demokrasi meski bila deadlock diadakan voting. Voting atau pengambilan suara itu sendiri bukannya sama sekali tidak ada dalam syariat Islam.

-Begitu juga dengan sistem pemilihan wakil rakyat yang secara umum memang mirip dengan prinsip ahlus syuro.

-Memberi suara dalam pemilu sama dengan memberi kesaksian atas kelayakan calon.

-Termasuk adanya pembatasan masa jabatan penguasa.

-Sistem pertanggung-jawaban para penguasa itu di hadapan wakil-wakil rakyat.
-Adanya banyak partai sama kedudukannya dengan banyak mazhab dalam fiqih.


Namun memang ada juga yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, yaitu bila pendapat mayoritas bertentangan dengan hukum Allah. Juga praktek-praktek penipuan, pemalsuan dan penyelewengan para penguasa serta kerjasama mereka dalam kemungkaran bersama-sama dengan wakil rakyat. Dan yang paling penting, tidak adanya ikrar bahwa hukum tertinggi yang digunakan adalah hukum Allah SWT.

Namun sebagaimana yang terjadi selama ini di dalam dunia perpolitikan, masing penguasa akan mengatasnamakan demokrasi atas pemerintahannya meski pelaksanaannya berbeda-beda atau malah bertentangan dengan doktrin dasar demokrasi itu sendiri.

Sebagai contoh, dahulu Soekarno menjalankan pemerintahannya dengan gayanya yang menurut lawan politiknya adalah tiran, namun dengan tenangnya dia mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya dengan demokrasi terpimpin.

Setelah itu ada Soeharto yang oleh lawan politiknya dikatakan sebagai rezim yang otoriter, namun dia tetap saja mengatakan bahwa pemerintahannya itu demokratis dan menamakannya demokrasi pancasila. Di belahan dunia lain kita mudah menemukan para tiran rejim lainnya yang nyata-nyata berlaku zali dan memubunuh banyak manusia tapi berteriak-teriak sebagai pahlawan demokrasi. Lalu sebenarnya istilah demokrasi itu apa ?

Istilah demokrasi pada hari ini tidak lain hanyalah sebuah komoditas yang sedang ngetrend digunakan oleh para penguasa dunia untuk mendapatkan kesan bahwa pemerintahannya itu baik dan legitimate. Padahal kalau mau jujur, pada kenyataannya hampir-hampir tidak ada negara yang benar-benar demokratis sesuai dengan doktrin dasar dari demokrasi itu sendiri.

Lalu apa salahnya ditengah ephoria demokrasi dari masyarakat dunia itu, umat Islam pun mengatakan bahwa pemerintahan mereka pun demokratis, tentu demokrasi yang dimaksud sesuai dengan maunya umat Islam itu sendiri.

Kasusnya sama saja dengan istilah reformasi di Indoensia. Hampir semua orang termasuk mereka yang dulunya bergelimang darah rakyat yang dibunuhnya, sama-sama berteriak reformasi. Bahkan dari sekian lusin partai di Indonesia ini, tidak ada satu pun yang tidak berteriak reformasi. Jadi reformasi itu tidak lain hanyalah istilah yang laku dipasaran meski -bisa jadi- tak ada satu pun yang menjalankan prinsipnya.

Maka tidak ada salahnya pula bila pada kasus-kasus tertentu, para ulama dan tokoh-tokoh Islam melakukan analisa tentang pemanfaatan dan pengunaan istilah demokrasi yang ada di negara masing-masing. Lalu mereka pun melakukan evaluasi dan pembahasan mendalam tentang kemungkinan memanfaatkan sistem yang ada ini sebagai peluang menyisipkan dan menjalankan syariat Islam.

Hal itu mengingat bahwa untuk langsung mengharapkan terwujudnya khilafah Islamiyah dengan menggunakan istilah-istilah baku dari syariat Islam mungkin masih banyak yang merasa risih. Begitu juga untuk mengatakan bahwa ini adalah negara Islam yang tujuannya untuk membentuk khilafah, bukanlah sesuatu yang dengan mudah terlaksana.

Jadi tidak mengapa kita sementara waktu meminjam istilah-isitlah yang telanjur lebih akrab di telinga masyarakat awam, asal di dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada aturan dan koridor syariat Islam. Bahkan sebagian dari ulama pun tidak ragu-ragu menggunakan istilah demokrasi, seperti Ustaz Abbas Al-`Aqqad yang menulisbuku ‘Ad-Dimokratiyah fil Islam’. Begitu juga dengan ustaz Khalid Muhammad Khalid yang malah terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi itu tidak lain adalah Islam itu sendiri.

Semua ini tidak lain merupakan bagian dari langkah-langkah kongkrit menuju terbentuknya khilafah Islamiyah. Karena untuk tiba-tiba melahirkan khilafah, tentu bukan perkara mudah. Paling tidak, dibutuhkan sekian banyak proses mulai dari penyiapan konsep, penyadaran umat, pola pergerakan dan yang paling penting adalah munculnya orang-orang yang punya wawasan dan ekspert di bidang ketata-negaraan, sistem pemerintahan dan mengerti dunia perpolitikan.

Dengan menguasai sebuah parlemen di suatu negara yang mayoritas muslim, paling tidak masih ada peluang untuk ‘mengislamisasi’ wilayah kepemimpinan dan mengambil alihnya dari kelompok anti Islam. Dan kalau untuk itu diperlukan sebuah kendaraan dalam bentuk partai politk, juga tidak masalah, asal partai itu memang tujuannya untuk memperjuangkan hukum Islam dan berbasis masyarakat Islam. Partai harus ini menawarkan konsep hukum dan undang-undang Islam yang selama ini sangat didambakan oleh mayoritas pemeluk Islam. Dan di atas kertas, hampir dapat dipastikan bisa dimenangkan oleh umat Islam karena mereka mayoritas. Dan bila kursi itu bisa diraih, paling tidak, secara peraturan dan asas dasar sistem demokrasi, yang mayoritas adalah yang berhak menentukan hukum dan pemerintahan.

Umat Islam sebenarnya mayoritas dan seharusnya adalah kelompok yang paling berhak untuk berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku dan memilih eksekutif (pemerintahan). Namun sayangnya, kenyataan seperti itu tidak pernah disadari oleh umat Islam sendiri

Tanpa adanya unsur umat Islam dalam parlemen, yang terjadi justru di negeri mayoritas Islam, umat Islammnya tidak bisa hidup dengan baik. Karena selalu dipimpin oleh penguasa zalim anti Islam. Mereka selalu menjadi penguasa dan umat Islam selalu jadi mangsa. Kesalahannya antara lain karena persepsi sebagian muslimin bahwa partai politik dan pemilu itu bid`ah. Sehingga yang terjadi, umat Islam justru ikut memilih dan memberikan suara kepada partai-partai sekuler dan anti Islam.

Karena itu sebelum mengatakan mendirikan partai Islam dan masuk parlemen untuk memperjuangkan hukum Islam itu bid`ah, seharusnya dikeluarkan dulu fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila memberikan suara kepada partai non Islam. Atau sekalian fatwa yang membid`ahkan orang Islam bila hidup di negeri non-Islam.
Partai Islam dan Parlemen adalah peluang Dakwah :
Karena itu peluang untuk merebut kursi di parlemen adalah peluang yang penting sebagai salah satu jalan untuk menjadikan hukum Islam diakui dan terlaksana secara resmi dan sah. Dengan itu, umat Islam punya peluang untuk menegakkan syariat Islam di negeri sendiri dan membentuk pemerintahan Islam yang iltizam dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tentu saja jalan ke parlemen bukan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam, karena politik yang berkembang saat ini memang penuh tipu daya. Lihatlah yang terjadi di AlJazair, ketika partai Islam FIS memenangkan pemilu, tiba-tiba tentara mengambil alih kekuasaan. Tentu hal ini menyakitkan, tetapi bukan berarti tidak perlu adanya partai politik Islam dan pentingnya menguasai parlemen. Yang perlu adalah melakukan kajian mendalam tentang taktik dan siasat di masa modern ini bagaimana agar kekuasaan itu bisa diisi dengan orang-orang yang shalih dan multazim dengan Islam. Agar hukum yang berlaku adalah hukum Islam.

Selain itu dakwah lewat parlemen harus diimbangi dengan dakwah lewat jalur lainnya, seperti pembinaan masyarakat, pengkaderan para teknokrat dan ahli di bidang masing-masing, membangun SDM serta menyiapkan kekuatan ekonomi. Semua itu adalah jalan dan peluang untuk tegaknya Islam, bukan sekedar berbid`ah ria.


Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.