Selasa, 04 November 2008

Masalah Bank Syari'ah

PROBLEM PENGEMBANGAN PRODUK
DALAM BANK SYARIAH
Cecep Maskanul Hakim
Tim Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP
I. Pengantar
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan Undang-undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan merupakan langkah maju dalam perkembangan
perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undang-undang ini perbankan
syariah diberikan perlakuan yang sama equal treatment dengan perbankan konvensional.
Padahal jika dilihat jumlahnya, ketika undang-undang itu disahkan, baru ada satu bank
syariah –Bank Muamalat- dan sekitar 70 BPR Syariah.1
Disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 telah membuka kesempatan
lebih luas bagi bank syariah untuk berkembang. Undang-undang ini bahkan tidak saja
menyebut bank syariah secara berdampingan dengan bank konvensional dalam pasal
demi pasal, tetapi juga menyatakan secara rinci prinsip produk perbankan syariah, seperti
Murabahah, Salam, Istisna, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah; padahal dalam Undangundang
No. 7 Tahun 1992 tetang Perbankan, nama syariah pun sama sekali tidak disebut.
Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebenarnya telah cukup memberikan keleluasaan bagi bank syariah
untuk mengembangkan sendiri produknya, sebab undang-undang itu hanya mengikat
sistem perbankan konvensional. Hal itu dapat dilihat, baik dari sisi teoritis maupun
praktis, perbankan syariah telah mendapat tempat khusus. Sebagai contoh dalam
perpajakan ada ketentuan yang tidak mengenakan pajak jual-beli atas penjualan oleh
sebuah bank syariah, sepanjang penjualan itu merupakan bisnis murni bank syariah,
karena memang prinsip operasinya mengharuskan seperti itu. Oleh karena itu secara
teoritis semestinya produk bank syariah telah berkembang karena Bank Muamalat telah
didirikan sejak tahun 1992. Tetapi mengapa hanya Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil
saja yang terus-menerus dipergunakan, seperti tidak ada produk lain yang bisa
dikembangkan?
Nampaknya karena kritik tersebut, pada tahun 1997 Bank Muamalat melakukan
workshop interen untuk mengembangkan sendiri produknya, dan tidak lagi “mengekor”
kepada produk-produk Bank Islam Malaysia Berhad. Para narasumber didatangkan dan
berbagai sumber digali, baik dalam bidang fiqih, ekonomi, perbankan maupun akuntansi.
Semua kemungkinan dijajaki dan diuji, paling tidak dalam tataran teori. Hasilnya
lumayan mengejutkan. Dari lokakarya itu ditemukan bahwa selama ini apa yang
diterapkan dalam produk-produk, baik liabilitas, aset maupun jasa ternyata telah
mengambil jalan yang lumayan berbeda dari produk asli syariah. Manajemen kemudian
bertekad untuk memperbaiki yang ada dan mengembangkan produk-produk syariah yang
1 Bandingkan dengan 400 bank konvensional dan 8000 BPR konvensional.
1
selama ini tidak “tersentuh.” Ternyata pengembangan produk syariah ke perbankan tidak
semudah yang diduga. Perdebatan yang tadinya hanya berkisar tentang hal-hal kecil
seperti penentuan harga terhadap nasabah, berkembang menjadi masalah berat seperti
time value of money, economic cycle, posisi harta dalam Islam, peran hakim syariah, dan
sebagainya. Selain itu sumber daya manusia juga bukan masalah kecil. Dengan beragam
latar belakang pendidikan, pengalaman dan bidang kerja para karyawan, pengembangan
produk tidak lagi menjadi tanggungjawab sebuah divisi, tetapi inter-divisi dan bahkan
bank secara keseluruhan.
Tulisan ini berusaha mengungkap problematika yang dihadapi dalam
mengembangkan produk pada bank Syariah. Sebagian besar bahan tulisan ini dirangkum
dari pengalaman pribadi penulis yang pernah bekerja di Bank Muamalat sebagai staf
yang membidangi pengembangan produk aset; sedangkan referensi yang dikutip
merupakan tambahan yang kebetulan sesuai.
II. Pendekatan yang berbeda-beda.
Sebelum membahas problematika yang terjadi dalam pengembangan bank
syariah, terlebih dahulu perlu dilihat pendekatan yang mempengaruhi pola
pengembangan produk bank syariah. Pendekatan ini membentuk paradigma yang
akhirnya memberi arah bagi perkembangan produk itu. Ketika pendekatan ini tidak satu
dan berbeda, tetapi memerlukan suatu penetapan keputusan (decision making), maka
yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan, seberapapun kecilnya. Misalnya, jika
kemungkinan trade-off itu akan terjadi antara kepentingan nasabah dengan bank, maka
secara intuitif kepentingan bank lebih dahulu dilindungi, mengingat yang membuat
produk ini adalah orang bank itu sendiri.
1. Antara Akomodatif dan Asimilatif.
Pergumulan pendekatan yang sekarang masih berlanjut adalah antara
metode “akomodatif” dengan “asimilatif.”2 Metode akomodatif menekankan caracara
pragmatis dalam pengembangan bank syariah. Metode ini berangkat dari
asumsi bahwa saat ini tidak ada satupun situasi ideal bagi bank syariah untuk
melaksanakan secara murni apa yang terdapat dalam syariah. Karena itu bank
syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam segala
operasionalnya, baik produknya maupun transaksinya. Metode ini mengambil
dasarnya dari kaidah usul Fiqih: “Segala sesuatu dalam muamalah dibolehkan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Akibatnya tidak mengherankan jika
kemudian yang muncul ke permukaan adalah bank syariah yang produknya
merupakan fotokopi produk konvensional dengan perubahan sedikit disana-sini.
Misalnya, jika di bank konvensional ada “kredit modal kerja” maka di bank
2 Abdullah Saeed dari University Melbourne membagi pendekatan ini menjadi tiga, yaitu idealis, pragmatis dan
maslaha oriented. Dua yang pertama merupakan nama lain dari akomodasi dan asimilasi, sedangkan pendekatan
maslaha oriented yang berprinsip diantaranya bahwa bunga bukan riba sebagaimana yang dimaksud dalam Islam,
penulis tidak membahasnya karena tidak terlalu relevan. Lihat Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of
the Interpretation of Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper
dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
2
syariah ada “pembiayaan modal kerja” dengan spesifikasi yang nyaris tidak
berbeda.
Jika terdapat bahwa produk Syariah tidak dapat mengakomodir produk
perbankan, maka menurut metode ini produk syariah, harus “direvisi” atau
disesuaikan kedalam produk perbankan. Maka tidak heran misalnya sampai saat
ini banyak bank syariah tetap meminta jaminan dari nasabah ketika ia
memberikan pembiayaan Mudharabah atau Musyarakah. Padahal hampir seluruh
ulama sepakat bahwa apabila seseorang melakukan Mudharabah, pemilik
modal/dana tidak boleh meminta jaminan dari pelaksana (mudharib).3
Metode asimilatif berfikir sebaliknya. Bank syariah merupakan salah satu
personifikasi atau invidividu abstrak4 dari orang yang melakukan kontrak (akad)
syariah-muamalah. Disebut salah satu disini karena pelaksanaan akad syariah
bukan hanya dapat dilaksanakan oleh bank, tetapi bisa juga oleh lembaga lain,
seperti mul t i f inance, asuransi, perusahaan sekuriti dan sebagainya.
Konsekwensinya, semua produk bank syariah adalah penjelmaan dari produk
syariah. Jika misalnya bank syariah melakukan Murabahah (jual beli yang
keuntungannya disepakati oleh pembeli dan penjual) maka bank harus melakukan
jual beli dalam arti yang sebenarnya. Artinya bank memang melakukan penjualan
barang kepada nasabah dengan akte jual beli dan syarat-syarat sebagaimana
lazimnya sebuah transaksi penjualan.
Jika kemudian produk bank tidak sesuai dengan syariah, maka suka atau
tidak suka produk itu ditinggalkan. Sebab, berusaha untuk mencocokcocokkannya
dengan produk syariah akan membawa dampak kepada
ketidakmurnian produk syariah. Padahal produk syariah sudah sedemikian
lengkap dan baku. Metode asimilatif memandang bahwa bank adalah semata-mata
alat penerapan dari produk syariah yang tidak memiliki hak kapabilitas merubah
atau merivisi produk Syariah. Akan banyak kerancuan yang terjadi jika produk
syariah direvisi menurut sifat yang ada dalam produk perbankan.
Jika yang terjadi produk syariah tidak diterapkan karena ketentuan dalam
hukum positif tidak mengizinkan, maka ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama untuk sementara produk syariah disesuaikan dengan revisi seminimal
mungkin. Kedua harus ada upaya jangka panjang untuk mengamandir hukum
positif agar produk syariah dapat diakomodir didalamnya. Sebab, produk
perbankan syariah, sebagai penjelmaan produk syariah, memiliki karakter unik
yang berbeda dengan bank konvensional.
4 Tentang kedudukan individu abstrak atau abstract personality (yang dalam bahasa Arabnya Syakhsiyyah
I’tibariyyah atau Syakhsyiyyah Hukmiyyah) dalam syariah, lihat Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh
al’Aam, Vol.III hal. 256 dan Wahbah Zuhaily, ibid, Vol. IV hal 11. Lihat juga Kumpulan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, tentang Reksadana Syariah, hal 199.
3
2. Antara Moneter dabn Rill
Pendekatan yang juga mempengaruhi pengembangan produk bank syariah
adalah ambivalensi bank syariah yang berada diantara sektor riil dan moneter.
Disatu sisi, kata “bank” sendiri sudah menunjukkan bahwa lembaga ini memang
bergerak di bidang finansial alias moneter. Adalah logis jika kemudian produkproduknya,
termasuk dalam hal ini produk bank syariah, mengikuti
perkembangan produk finansial. Disisi lain para penulis ekonomi Islam umumnya
menggariskan bahwa Islam tidak mengenal perbedaan antara sektor moneter dan
sektor riil. Sektor moneter merupakan bayangan atau cermin dari sektor riil. Jika
sektor riilnya tidak ada maka bagaimana ada sektor moneter? Oleh karena itu
penciptaan produk finansial yang terlepas dari produk riil akan mengakibatkan
derivasi yang menyebabkan timbulnya bubble economics.
Ambivalensi seperti ini mengakibatkan pengembangan produk, terutama derivative, menjadi
lambat jika tidak terhenti sama sekali. Ada dua kutub yang sama-sama dipelajari bank
syariah di Indonesia dan masing-masing memiliki pengaruhnya, yaitu Bank Islam Malaysia
Berhad (BIMB) dan bank-bank Islam Timur Tengah. BIMB, meskipun banyak dikritik
karena sikap akomodatifnya terhadap produk derivatif, berhasil merekayasa banyak produk
sektor perbankan dan keuangan Islam. Misalnya ada Pasar Uang Antar Bank Islam, Obligasi
Islam, Islamic Futures, Islamic Option, Islamic Swap, Islamic Securitization dan
sebagainya.5 Sementara bank-bank di Timur Tengah, meskipun mengklaim sebagai
pelaksana produk syariah secara konsisten, lambat mengembangkan pasar uangnya. Apatah
lagi produk-produk derivatifnya.
III. Problem Dalam Pengembangan Produk
Paradigma yang harus dipegang dalam pengembangan produk adalah bahwa
berbeda dengan yang ada dalam bank konvensional, yang memakai satu jenis transaksi
yaitu pinjaman, dalam bank syariah produk-produk harus dikembangkan mengikuti
karakter dan sifat produk syariah yang berbeda satu sama lain. Resiko dan jangka waktu
merupakan faktor kedua sesudah karakter dan sifat itu diletakkan. Misalnya, karakter
produk Murabahah adalah jual beli barang. Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah
sebagai pembeli. Bank boleh meminta jaminan tambahan selain barang yang dibeli.
Ketika produk ini diterapkan pada pembiayaan konstruksi, tentu tidak tepat. Karena harus
ada barang yang diperjual belikan, bukan proyek yang bentuknya tidak nyata. Jika dicocokcocokkan
dengan menjual beli bahan-bahan konstruksi seperti batu, pasir, semen dan lainlain,
bank akan mendapat kesulitan dalam perincian barang. Kalau memaksakan juga, ada
sesuatu yang tidak bisa diperjual belikan, seperti tenaga kerja, dan untuk itu harus
digunakan produk lain yaitu Ijarah (sewa). Kalau sudah begini artinya Murabahah tidak
cocok untuk pembiayaan konstruksi. Ada yang lebih cocok, misalnya Istisna, yaitu produk
Syariah lain untuk jual beli, dimana bank bertindak sebagai pembeli barang yang akan
dibangun/ dibuat. Bank membayar secara bertahap kepada kontraktor dan setelah selesai
bank menjualnya kepada bohir.
5 Lihat Dr. Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya Ulama tentang
Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
4
Jika paradigma ini tidak dipegang, maka kecendrungan bankir adalah membuat
produk yang lebih dekat dengan produk konvensional. Alasannya sederhana, lebih mudah
dihitung, lebih mudah dibandingkan dan jelas ukurannya. Tabel 1 memberikan
perbandingan contoh produk syariah dan poduk keuangan dan perbankan.
1. Syariah versus Undang-undang dan Peraturan
Seperti yang disinggung sedikit dimuka, kendala yang dihadapi bank
syar iah dalam mengembangkan produknya di antaranya j ika ter jadi
ketidakserasian antara aturan syariah dengan aturan yang berlaku dalam hukum
positif. Memilih diantara kedua ekstrim itu memiliki konsekwensi masingmasing.
Tabel 2 memberikan contoh kendala penerapan produk-produk syariah
dalam produk perbankan karena perbedaan antara hukum syariah dan perbankan.
2. Diversifikasi Produk
Kemana arah pengembangan produk bank syariah? Pertanyaan ini sering
ditanya mengingat berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992 diiringi sejumlah
harapan dari masyarakat muslim yang kebanyakan kaum menengah kebawah.
Dengan kata lain bank ini diharapkan untuk menjadi bank pembangunan. Padahal
status bank ini adalah swasta yang tentunya berorientasi kepada komersial.
Karena itu suka atau tidak suka produk bank syariah harus dikembangkan ke dua
arah ini.
Tuntutan masyarakat agar ada bank syariah di daerahnya juga menjadi sumber
diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang lebih
mengedepankan budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk
pembiayaan dengan jangka waktu lebih panjang karena tidak mungkin mereka dapat
mengembalikan dana pembiayaan dalam jangka waktu satu-dua tahun, padahal hasil
perkebunan baru dapat dinikmati setelah 5 tahun.6 Ini berarti bahwa produk syariah harus
diarahkan ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan menjadi instrumen pasar
uang antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya menjaga likuiditas. Sedangkan di
daerah perkotaan, orang lebih suka dengan jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan
demikian kategori pengembangan produk harus ditambah dengan investasi dan retail.
Segmentasi jenis usaha merupakan faktor lain. Produk untuk perdagangan tentu
berbeda dengan produk konsumtif. Produk untuk sektor modal produksi tentu berbeda
dengan sektor distribusi. Begitu pula produk untuk pertambangan bisa berbeda dengan
produk untuk konstruksi. Sebagai contoh, kekeliruan bank syariah selama ini terlihat
ketika menerapkan Murabahah, yang merupakan produk syariah untuk jual beli barang
sekali jalan (one shot deal), pada sektor
6 Mungkin itulah sebabnya kebanyakan bank pertanian kurang berhasil karena pola perbankan kurang cocok untuk
produk perkebunan
5
perdagangan. Akibatnya Murabahah menjadi revolving, karakter yang hanya dimiliki
oleh Mudharabah dan Musyarakah.
Berbeda pula halnya jika kategori produk menurut resiko. Produk untuk
pembangunan masyarakat menengah ke bawah secara relatif lebih beresiko
ketimbang untuk masyarakat bisnis. Produk untuk peningkatan kesejahteraan seperti
ini harus sederhana, mudah dimengerti dan tidak berbelit-belit. Sulitnya adalah produk
syariah apa yang cocok, karena bisa jadi segmennya bermacammacam. Misalnya untuk
pertanian (padi) produk Salam dapat digunakan. Tapi untuk asongan, kelontongan,
kerajinan dan sebagainya harus juga dicarikan padanannya. Suka atau tidak, semua
produk harus disimulasi untuk menghasilkan produk yang tepat dalam kategori ini.
Menurut pengalaman, para praktisi bank syariah dalam berhubungan nasabah
pembiayaan, produk itu dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah terjalin diantara
keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung diberikan pembiayaan
dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau Musyarakah. Tetapi diberikan
produk jual beli, seperti Murabahah (atau Bai’ Bithaman Ajil menurut BIMB), Salam
dan Istisna. Karena dalam produk ini bank dapat menerapkan semua prinsip perbankan
murni, seperti hutang, kewajiban cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan
tambahan dan sebagainya. Ketika melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah
sudah dapat dilihat, bank kemudian menawarkan produk yang lebih beresiko, seperti
Mudharabah. Pada produk ini bank tidak dapat lagi membebankan resiko pada
nasabah, karena sepenuhnya ditanggung oleh bank. Kredibilitas, integritas dan
accountibilitas nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan
produk inipun nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya,
yaitu Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah telah
mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa kewajiban
memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya diberikan untuk
kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak bisa dilayani oleh produk lain
dan kemungkinan besar tidak akan macet.
Kritik terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas
mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya mereka
saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap sebelumnya,
seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah, karena menyangkut
pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan syariah akan melestarikan
status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya strata masyarakat atas saja yang
dapat menikmati fasilitas perbankan.
6
T a b e l 1
Contoh Produk Syariah Dan Keuangan
PRODUK SYARIAH PRODUK PERBANKAN
Jual Beli Pembiayaan
1. Murabahah : Jual beli yang keuntungannya disepakati penjual dan pembeli 1. Kredit Investasi
2. Musawamah : Jual beli yang keuntungannya hanya diketahui penjual 2. Kredit Modal Kerja
3. Tauliah: Jual beli yang tidak ada keuntungan bagi penjual. (komisi) 3. Kredit Konstruksi
4. Muwadhaah: Jual beli yang harganya dibawah harga jual (diskon) Pembangunan
5. Mutlaq: Tukar menukar uang dengan barang 1. Kredit Usaha Kecil
6. Muqayadhah: Tukar menukar barang dengan barang 2. Kredit Usaha Tani
7. Sarf: Tukar menukar uang dengan uang 3. Kredit untuk Koperasi
8. Salam: Jual beli yang harga dibayar lebih dulu, barang diserahkan kemudian Konsumsi
9. Istisna: Jual beli yang harga dapat dicicil, barang dibuat dan diserahkan kemudian 1. Kredit pemilikan rumah
10. Wafa: Jual beli yang diiringi syarat untuk dibeli kembali 2. Kredit pemilikan kendaraan
11. Urbun: Jual beli yang jika tidak diteruskan uang muka jadi milik penjual
Bagi Untung/Bagi Hasil Kredit Ekspor
1. Mudharabah: Perkongsian pemodal (sahibul mal) dan pengelola (mudharib), keuntungan 1. Letter of Credit
dibagi menurut porsi yang disepakati sebelumnya sedangkan jika usaha rugi ditanggung 2. Garansi Bank
pemodal. Treasury
2. Musyarakah: Perkongsian para pemodal, keuntungan dibagi menurut porsi yang disepakati 1. Spot
sebelumnya, kerugian ditanggung bersama berdasarkan proporsi modal. 2. Forward
3. Muzaraah: Perkongsian pemilik tanah pertanian dan pengelola, pembagian hasil menurut 3. Swap
porsi yang disepakati sebelumnya. 4. Option
4. Musaqat: Perkongsian pemilik tanah perkebunan dan pengelola, pembagian menurut porsi
yang disepakati sebelumnya.
Jasa Simpanan
1. Ijarah: Sewa menyewa 1. Giro
2. Wadiah: Titipan 2. Tabungan
3. Wakalah: Perwakilan 3. Deposito
4. Kafalah: Penjaminan
5. Hiwalah: Anjak Piutang Jasa
6. Ju’alah: Jasa khusus, sayembara 1. Transfer
7. Qardh: Pinjaman 2. Inkaso
8. Rahn: Gadai 3. ATM
7
T a b e l 2
Contoh Kendala penerapan produk Syariah dalam perbankan
Produk Syariah Hukum Syariah Hukum Positif/ Perbankan Kendala bagi bank syariah jika
tetap berpegang kepada produk
syariah
Mudharabah Dana (modal) tidak boleh dijamin Dijamin (liabilitas, deposito/ Bank harus menanggung semua
Musyarakah tabungan) kewajiban
Bank boleh meminta jaminan
tergantung resiko (Asset)
Tidak berbeda dengan bank
konvensional
Murabahah Bank menjual kepada nasabah Jika dilakukan jual beli harus ada Bank akan terkena pajak
Tidak boleh diwakilkan kepada nasabah akta jual beli pembelian.
yang mengajukan pembiayaan untuk Harus ada bukti penerimaan uang Tanda terima barang oleh nasabah
membeli barang. oleh nasabah tidak bisa dijadikan bukti.
Salam Setelah dibayar, petani berhutang gabah Petani berhutang uang, harus Resiko harga bagah yang
yang akan diantar kemudian mengembalikan uang fluktuatif akan merugikan
bank
Istisna Setelah dibayar (sebagian), penjual
(Nasabah) berhutang barang yang akan
diantar kemudian.
Penjual berhutang uang, harus
mengembalikan uang
Jika barang itu pesanan bohir,
bank beresiko tidak dibayar
bila terdapat cacat pada
barang.
Ijarah Muntahia Syariah hanya mengenal Operating Lease. Operating Lease adalah produk Bank sulit mengeluarkan nasabah
Bittamliik Jika ada opsi beli, maka itu hanya mengikat perusahaan jasa. Finance & yang menyewa dari
bila diakadkan di akhir masa sewa Capital Lease adalah produk rumahnya.
(tidak boleh dua akad/kontrak perusahaan keuangan Merugikan salah satu pihak bila
dijadikan satu). Opsi bersifat mengikat jika
dimasukkan dalam perjanjian.
opdi tidak dilaksanakan.
8
Para bankir syariah sering mengeluh bahwa bank syariah terlalu banyak
mengembangkan produk pembiayaan dan tertinggal dalam produk interbank (institutional)
dan treasury. Mereka berfikir bahwa produk interbank memiliki spesifikasi berbeda dengan
produk pembiayaan. Padahal jika mereka kembali kepada dasar produk perbankan, yaitu
produk syariah, produk interbank dan treasuri akan mereka disain dengan mudah.
Inti produk syariah dalam hal ini adalah menjelaskan hubungan (muamalah)
yang melibatkan harta dan menjelaskan hak dan kewajiban pihak-pihak yang
melakukan transaksi. Tinggal dipertemukan antara transaksi interbank dengan produk
syariah yang memiliki karakter yang sesuai. Misalnya jika bank melakukan transaksi
dengan bank lainnya menggunakan pinjaman, maka produk yang bisa digunakan adalah
Qardh dan tidak boleh ada imbalan yang diperjanjikan. Jika dari dana itu dituntut
imbalan, transaksi itu harus menggunakan produk Mudharabah, yang
memungkinkan adanya keuntungan yang didapat, disamping juga kemungkinan kerugian.
Spesifikasi produk treasury dan institutional banking pada Mudharabah ini adalah porsi
bagi-hasil/ bagi-untung yang memiliki dana lebih besar (misalnya 70:30) dari yang biasa
disepakati untuk nasabah deposan (misalnya 60:40). Yang kedua biasanya mudharabah
dan pinjaman dalam transaksi treasury berjangka waktu lebih pendek dari produk
liabilitas lainnya.
3. Penentuan Harga (Pricing)
Hal yang paling banyak mengundang perdebatan adalah penentuan harga,
terutama untuk produk pembiayaan. Hal ini disebabkan adanya faktor rujukan
(benchmark) sebagai bahan perbandingan. Padahal jika prinsip perbankan syariah
benar-benar dijalankan, para bankir tidak akan menghadapi kesulitan.
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus
dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Untuk produk jual beli seperti
Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya
dalam perbankan konvensional, misalnya 12%. Tingkat keuntungan ini lalu ditambahkan
kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah. Tapi persoalannya tidak selesai
sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan
itu lumpsum atau per annum. Dalam syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu
akad. Artinya jika bank dan nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 % per annum dari
harga beli sebesar Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga
dalam satu akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu
menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya
tidak lagi sebesar harga beli + 24 %, tetapi harga beli + 30 %. Itu sebabnya
mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat, karena penentuan
harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga dalam bank konvensional.
9
Issue keterpisahan pasar finansial dari pasar riil timbul lagi dalam pembahasan
rujukan benchmark. Dalam suatu pembahasan produk, para dealer treasury mengajukan
penetapan fatwa Dewan Pengawas Syariah atas transaksi forward. Ketika ditanya
bagaimana menghitung harga beli valuta asing sesudah jangka waktu 30 hari, para
dealer memberikan rumus sebagai berikut:
Nominal Valuta Asing x Nilai Tukar [ 1 + ( 30/360 x 15%)]
Para ulama amat terkejut ketika mengetahui bahwa 15% itu tingkat bunga pasar, dan
mereka bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dijadikan dasar
perhitungan. Apakah tidak ada alternatif lain? Celakanya masalah rujukan ini bukan
saja masalah nasional, tetapi juga merupakan fenomena internasional. Saat ini kritik tajam
dilontarkan kepada bank syariah karena menjadikan pasar uang sebagai rujukannya.
Islamic Development Bank, misalnya, masih menggunakan London Inter-Bank Offer
Rate (LIBOR) sebagai rujukan cost of fund dari dana yang diberikan. Padahal rujukan
itu tentunya didapat dari tingkat bunga. Karena itu sebuah rujukan khusus bagi bank
syariah masih dinantikan sebagai pengganti pasar uang antar bank. Pernah ada usulan agar
tingkat harga bank syariah merujuk kepada tingkat harga di pasar riil dengan masingmasing
sektornya. Misalnya tingkat keuntungan pada sektor konstruksi adalah
20%. Maka bank dapat mengenakan tingkat harga untuk jual beli konstruksi pada
sekitar tingkat itu. Namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih mendalam, karena
akan timbul berbagai masalah, diantaranya kecemburuan antarsektoral. Misalnya, bisa saja
nasabah yang membeli barang konsumtif dengan cara Murabahah merasa
dirugikan karena dikenakan tingkat harga lebih tinggi dari mereka yang membeli barang
modal, juga dengan cara Murabahah, dengan tingkat harga yang lebih rendah.
Kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan produk jual beli dari produk bagi
hasil membawa ekses pada penentuan tingkat harga ini. Tingkat keuntungan yang
ditentukan untuk produk jual beli, akhirnya menjadi cost of fund untuk semua produk,
termasuk produk bagi hasil. Celakanya, hal itu juga dihitung dengan metode per
annum. Maka tidak heran jika ada Mudharabah dengan bagi hasil yang dibebankan
kepada nasabah setara 20% per annum! Artinya nasabah sebagai mudharib harus
membayar bagi hasil kepada bank setara 20% pertahun! Jika nasabah mendapat
keuntungan lebih dari itu, ia hanya membayar 20%nya, sedangkan jika ia rugi maka ia
harus tetap membayar setara itu. Padahal Mudharabah adalah produk bagi hasil yang
kondisi pendapatannya tidak fixed, tergantung situasi bisnis. Kerancuan ini timbul karena
bank menganggap cost of fund sebagai target yang wajib dipenuhi untuk mencapai tingkat
keuntungan yang akan dibagikan kepada nasabah penyimpan, tanpa memilah
produk syariah tertentu yang memiliki karakter seperti itu.
Jika demikian halnya, maka prinsip perbankan syariah hanya tersisa pada nama
produk, karena pada dasarnya paradigma konvensional juga yang diterapkan. Itu
10
terlihat pada proses yang dilakukan para bankir syariah dalam menetapkan asset
liability management. Mereka menentukan dulu berapa tingkat keuntungan yang harus
diberikan kepada nasabah penyimpan (dengan rujukan tingkat bunga yang diberikan
bank konvensional), lalu menetapkan tingkat keuntungan yang harus dibebankan
kepada nasabah pembiayaan (dengan rujukan yang sama). Dengan kata lain,
sebenarnya para bankir syariah selama ini menerapkan konsep biaya (cost concept).
Padahal jika paradigma ini dirubah dengan konsep pendapatan (revenue concept) maka
bank sebagai mudharib tidak memiliki kewajiban untuk memberikan keuntungan jika
memang belum bisa memperolehnya. Artinya cost of fund bank adalah nol. Demikian
pula jika bank sebagai penerima titipan untuk penerapan wadiah pada produk giro.7
Karena itu bank syariah bebas menetapkan keuntungan yang harus dibebankan
kepada nasabah pembiayaan, bahkan bisa lebih murah dari bank konvensional.
4. Sumber Daya Manusia
Masalah sumber daya manusia merupakan masalah yang paling rumit bukan saja
dalam pengembangan produk, tapi dalam bank syariah secara keseluruhan.
Bahkan problem ini juga bukan saja masalah lokal tetapi juga bank syariah di
dunia Islam internasional. 8 Pendidikan yang dikelola pemerintah di dunia Islam
umumnya mengikuti pola bekas penjajah, yaitu memisahkan kehidupan ilmu dan
keduniaan dari agama. Akibatnya para lulusan sekolah itu menguasai ilmu
pengetahuan dan sedikit saja yang memahami masalah agama. Disisi lain
pesantren sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu berbasis agama tidak
mengembangkan ilmu-ilmu ‘aqli (rasio), sehingga para lulusannya mahir dalam
fiqih, usul fiqih, hadist dan sebagainya namun lemah dalam ilmu kealaman seperti
fisika, biologi, matematika dan lain-lain.
Hal yang sama terjadi dalam perbankan syariah. Ketika diminta mengembangkan
suatu produk, biasanya terjadi perdebatan yang cukup panjang antara orang-orang
yang berlatar belakang perbankan murni dengan yang beratar belakang syariah.
Jarang didapati dalam satu bank SDM yang memahami kedua ilmu dasar ini,
apatah lagi tentang perbankan syariah yang relatif baru di Indonesia.
V. Alokasi Penelitian dan Pendidikan
Di kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya,
penelitian dan pengembangan (research and development) belum mendapat
prioritas tinggi.9 Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan
konferensi untuk membahas issu. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas
7 Bank biasanya menerapkan produk syariah wadiah yad dhamanah untuk giro dan sebagian tabungan, dan produk
mudharabah pada deposito dan sebagian tabungan lainnya.
8 Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
9 Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam Research and Methodology in Islamic Bank,
Syed Omar & (ed.), Pelanduk Publication, Selangor 1992.
11
pendidikan lanjutan untuk para karyawannya. Padahal di negara maju keduanya dianggap
sebagai investasi yang dapat diambil manfaatnya dalam jangka panjang.
Alokasi pendidikan, kalaupun ada biasanya diberikan bank syariah untuk
mengirimkan karyawannya ke pelatihan-pelatihan. Namun substansi pelatihan
seringkali diprioritaskan kepada masalah teknis perbankan, sementara materi
syariahnya diletakkan pada prioritas berikutnya. Padahal semestinya jika sumber
daya manusia di bank syariah ingin maju, maka kedua muatan ini harus
berimbang. Bahkan menurut pengalaman, lebih mudah menjadikan seorang yang
memiliki disiplin ilmu syariah menjadi seorang bankir, daripada melakukan hal
sebaliknya. Ada kecendrungan dari kalangan bankir syariah sendiri untuk
menganggap masalah syariah adalah masalah sepele. Bahkan ada yang
menganggap masalah syariah bukan urusan mereka, tetapi diserahkan sepenuhnya
kepada para ulama di Dewan Pengawas Syariah. Jika sudah begini, sumber daya
manusia di bank syariah tidak pernah berkembang, karena melestarikan dikotomi
apa yang disebut ilmu dunia dan ilmu agama. Ilmu dunia adalah ilmu-ilmu yang
dianggap mengurus maslah keduniawian semata, seperti ekonomi, politik, sosial
dan sebagainya, sedangkan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang mempelajari
masalah keagamaan, seperti Qur’an, Hadist, Tafsir, Fiqih, Usul Fiqih dan
sebagainya.
VI. Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak diantara kedua
aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya
bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun undang-undang bank
syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah dapat menunjukkan ciri
khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional.
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan
konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua
produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori, tetapi harus
mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk
memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di dunia
konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang paling
jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada dalam
penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan
mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah
sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan.
Untuk itu Perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi
12
dan ilmu agama sejak dini sekali dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya
bahkan samnpai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama
dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan
syariah semata, tapi tugas ummat Islam secara nasional.
RUJUKAN
.
1. Abdul Halim Ismail, Islamic Fund Manager, paper dipresentasikan dalam Lokakarya
Ulama tentang Reksadana, Holiday Inn, Jakarta, 29-30 Juli 1997.
2. Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of
Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, paper
dipresentasikan pada Islamic Funds Conference, Kuala Lumpur, 23-24 Juni 1997
3. Ausaf Ahmad, Development and Problem of Islamic Banks, IRTI-IDB, 1985
4. Khurshid Ahmad, Problem of Research in Islamic Economics, dalam
Research and Methodology in Islamic Bank, Syed Omar & Aidit Ghazali (ed.),
Pelanduk Publication, Selangor 1992.
5. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1999
6. Musthafa Ahmad Zarqa, Madkhal al fiqh al’Aam, Vol.III hal. 256 dan
7. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuh, Vol.IV, Maktabah , Damaskus,
1989.
13