No Smoking
Dr. Ir. M. Romli, Msc
Rokok, dulu makruh, kini haram. Sepintas, ini mungkin terasa aneh. Wong hukum kok berubah-ubah, yang dari dulu diketahui makruh sekarang dikatakan haram.
Hal ini disebabkan kita masih sering mencampuradukkan antara pengertian syariah dan fiqih. Syariah adalah hukum yang diwahyukan oleh Allah SWT, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah. Apa yang telah ditetapkan 14 abad yang lalu berupa hukum Syariah itu, tetap berlaku hingga kini bahkan sampai akhir jaman nanti, tidak berubah.
Lain halnya dengan Fiqih. Fiqih adalah hukum Islam yang dideduksi dari syariah untuk menjawab situasi-situasi spesifik yang tidak secara langsung ditetapkan oleh hukum syariah. Penetapan hukum berdasarkan deduksi ini dapat saja berubah tergantung pada situasi dan kondisi dimana hukum itu diterapkan. Kedua istilah yang sebenarnya tidak sama ini, hingga kini masih sering dipukul rata saja dengan sebutan, Hukum Islam.
Lima Ratus Silam
Budaya (me) rokok termasuk gelaja yang relatif baru di dunia Islam. Tak lama setelah Chirstopher Columbus dan penjelajah-penjelajah Spanyol lainnya mendapati kebiasaan bangsa Aztec ini pada 1500, rokok kemudian tersebar dengan cepatnya ke semenanjung Siberia dan daerah Mediterania. Dunia Islam, pada saat itu berada dui bawah kekhilafahan Ustmaniyah yang berpusat di Turki. Setelah diketahui adanya sebagian orang Islam yang mulai terpengaruh dan mengikuti kebiasaan merokok, maka dipandang perlu oleh penguasa Islam saat itu untuk menetapkan hukum tentang merokok.
Pendekatan yang digunakan untuk menetapkan hukum merokok, adalah dengan melihat akibat yang nampak ditimbulkan oleh kebiasaan ini. Diketahui bahwa merokok menyebabkan bau nafas yang kurang sedap. Fakta ini kemudian dianalogkan dengan gejala serupa yang dijumpai pada masa Rasulullah Saw, yaitu larangan mendatangi masjid bagi orang-orang yang habis makan bawang putih/bawang merah mentah, karena bau tak sedap yang ditimbulkannya. Hadist mengenai hal ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Umar, ra, dimana Nabi bersabda, "Siapa yang makan dari tanaman ini (bawang putih) maka jangan mendekat masjid kami" (HR Bukhari-Muslim).
Sebagaimana kita ketahu, di penghujung sholat setiap orang memberikan salam, yang bisa bertemu muka satu dengan yang lainnya. Dapat dibayangkan, betapa tidak nyamannya bila ucapan salam ke kanan-kiri itu menebarkan "wangi" bawang mentah! Berdasarkan analogi tersebut, para ulama Islam saat itu berpendapat bahwa merokok hukumnya makruh (tercela).
Kini, Haram
Demikianlah hukum merokok yang sampai saat ini kita pahami, makruh. Lima ratus tahun berselang, fakta-fakta medis menunjukkan bahwa rokok tidak sekedar menyebabkan bau nafas tak sedap, tetapi juga berakibat negatif secara lebih luas pada kesehatan manusia.
Sebenarnya pengaruh buruk dari merokok terhadap kesehatan telah diperkirakan sejak awal abad XVII (Encyclopedia Americana, Smoking and Health, p.70 1989). Namun demikian, rupanya perlu waktu hingga 350 tahun untuk mengumpulkan bukti-bukti ilmiah yang cukup untuk meyakinkan dugaan-dugaan itu.
Kenaikan jumlah kematian akibat kanker paru-paru yang diamati pada awal abad XX telah menggelitik dimulainya penelitian-penelitian ilmiah tentang hubungan antara merkokok dan kesehatan. Sejalan dengan peningkatan pesat penggunaan tembakau, penelitian pun lebih dikembangkan, khususnya pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an.
Laporan penting tentang akibat merokok terhadap kesehatan dikeluarkan oleh The Surgeon General's Advisory Committee on Smoking and Health di Amerika Serikat pada tahun 1964. Dua tahun sebelumnya The Royal College of Physician of London di Inggris telah pula mengeluarkan suatu laporan penelitian penting yang mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan penyakit kanker paru-paru, bronkitis, serta berbagai penyakit lainnya.
Hingga tahun 1985 sudah lebih dari 30.000 paper tentang rokok dan kesehatan dipublikasikan. Sekarang ini tanpa ada keraguan sedikitpun disimpulkan bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru baik pada laki-laki maupun wanita. Diketahui juga bahwa kanker paru-paru adalah penyebab utama kematian akibat kanker pada manusia. Merokok juga dihubungkan dengan kanker mulut, tenggoroka, pankreas, ginjal, dan lain-lain.
Bukti-bukti ilmiah tentang pengaruh negatif rokok terhadap kesehatan yang telah diringkaskan di atas mengharuskan kita untuk meninjau kembali status hukum makruh merokok yang selama ini kita ketahui. Beberapa fakta berikut ini sangatlah relevan untuk dijadikan bahan perenungan dan pertimbangan, sebelum sebatang rokok lagi mulai anda "nikmati" :
Rokok menyebabkan kanker dan kanker menyebabkan kematian, maka merokok menyebabkan kematian. Hukum tentang perbuatan semacam ini secara terang dijelaskan dalam syariat Islam, antara lain ayat Al-Quran yang terjemahannya adalah: "...dan janganlah kamu membunuh jiwa..." (QS 6:151)
Tubuh kita pada dasarnya adalah amanah dari Allah yang harus dijaga. Mengkonsumsi barang-barang yang bersifat mengganggu fungsi raga dan akal (intoxicant) hukumnya haram, misalnya alkohol, ganja dan sebangsanya. Perhatikan firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah kekejian, termasuk perbuatan setan.Jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu sukses" (QS 5:90). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah hadist yang dikumpulkan oleh Muslim dan Abu Dawud, dimana Nabi Saw berkata, "Setiap yang mengganggu fungsi akal (intoxicant) adalah khamr dan setiap khamr adalah haram".
Merokok hampir selalu menyebabkan gangguan pada orang lain. Asap rokok yang langsung diisapnya berakibat negatif tidak saja pada dirinya sendiri, tapi juga orang lain di sekitarnya. Asap rokok yang berasal dari ujung puntung maupun yang dikeluarkan kembali dari mulut dan hidung si perokok, menjadi "jatah" orang-orang disekelilingnya. Ini yang disebut passive smoking atau sidestream smoking yang berakibat sama saja denan mainstream smoking. Berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya (mudharat) bagi diri sendiri apalagi orang lain, adalah hal yang terlarang menurut syariat. Sebagaimana sabda Nabi SAW, "Laa dharar wa laa dhiraar".
Harta yang kita miliki tidaklah pantas untuk dibelanjakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaa, misalnya dengan membakarnya menjadi abu dan asap rokok. Tegakah kita melihat selembar uang berwajah kartini dibakar setiap minggunya? Perhatikan ayat-ayat Alquran sebagai berikut: "...dan janganlah menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sungguh para pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar pada Tuhannya" (QS 17: 26-27). Sungguh ayat ini adalah suatu deskripsi yan sangat serius
Kesimpulan
Uraian singkat di atas cukuplah kiranya membuktikan bahwa kebiasaan merokok merupakan suatu perbuatan yang terlarang menurut ajaran Islam. Merokok tidak saja memberikan mudharat bagi pelakunya, tetapi juga bagi orang-orang lain di sekitarnya. Merokok tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi pelakunya, sehingga membelanjakan harta untuk rokok termasuk dalam kategori pemborosan (tabdzir) yang sangat dicela oleh Islam.
Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam pada dasarnya adalah suatu sistem yang membangun, bukan yang menghancurkan. Islam tidak datang untuk menghancurkan kebudayaan, moral maupun kebiasan-kebiasaan umat manusia, tetapi ia datang untuk memperbaiki kondisi umat manusia. Dengan demikian segala sesuatunya dilihat dari persepektif kesejahteraan umat manusia, apa yang merugikan dihilangkan dan apa yang bermanfaat dikonfirmasikan. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa Islam adalah suatu sistem yang:
"..menyuruh mengerjakan ma'ruf dan melarang perbuatan mungkar, dan menghalalkan segala cara yang baik dan mengharamkan segala yang buruk..." (QS. 7:157).
Mudah-mudahan kita sekalian diberi kekuatan untuk selalu melakukan apa yang diperintahkan Allah SWT dan RasulNya, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.
Wallahu a'lam
Penulis adalah auditor LPPOM MUI, Direktur APN dan Staf Dosen Jurusan Teknologi Industri-FATETA, IPB.
Rabu, 05 November 2008
Keuntungan dan Resiko Bank Syariah
Tulisan: Drs. Zainul Arifin
Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank kelebihan dana-dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara Bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat laba Bank Syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi-hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan laba.
1. Sumber-sumber Dana Bank Syariah
Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah bank yang paling utama. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain, bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang sewaktu-waktu atau pada suatu saat tertentu akan ditarik kembali, baik sekaligus ataupun secara berangsur-angsur. Berdasarkan data empiris selama ini, dana yang berasal dari para pemilik bank itu sendiri, ditambah cadangan modal yang berasal dari akumulasi keuntungan yang ditanam kembali pada bank, hanya sebesar 7 sampai 8 % dari total aktiva bank. Bahkan di Indonesia rata-rata jumlah modal dan cadangan yang dimiliki oleh bank-bank belum pernah melebihi 4% dari total aktiva. Ini berarti bahwa sebagian besar modal kerja bank berasal dari masyarakat, lembaga keuangan lain dan pinjaman likuiditas dari Bank Sentral.
Dalam pandangan syariah uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana “uang mengembang-biakkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar (primary economic activities), baik secara langsung melalui transaksi seperti perdagangan, industri manufaktur, sewa-menyewa dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut Bank Syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk :
1. Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembalian nya (guaranteed deposit) tetepi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan;
2. Partisipsi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general investment account / mudharabah mutlaqah) dimana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan portfolio yang didanai dengan modal tersebut;
3. Investasi khusus (special investment account / mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambiil resiko atas investasi itu.
Dengan demikian sumber dana bank Syariah terdiri dari :
(1) Modal inti (core capital)
(2) Kuasi ekuitas (mudharabah account) dan
(3) Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
(1) Modal Inti
Modal ini adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari:
a. Modal yang disetor oleh para pemegang saham;
Sumber utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru.
b. Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian di kemudian hari;
c. Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.
(2) Kuasi Ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (shahib al maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa :
· Rekening investasi umum, dimana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk Investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah (unresrtricted investment account). Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.
· Rekening investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki. Rekening ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah (restricted investment account). Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus.
· Rekening Tabungan Mudharabah, Prinsip mudharabah juga digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat mudharabah adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang (monetary form), dalam jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu tabungan mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah. Dengan demikian tabungan mudharabah biasanya tidak diberikan fasilitas ATM, karena penabung tidak dapat menarik dananya dengan leluasa. Dalam aplikasnya bank syari’ah melayani tabungan mudharabah dalam bentuk targeted saving, seperti tabungan korban, tabungan haji atau tabungan lain yang dimaksudkan untuk suatu pencapaian target kebutuhan dalam jumlah dan atau jangka waktu tertentu.
Tidak seperti bank konvensional, Bank Syariah tidak menjamin pembayaran kembali nilai nominal dari investasi mudharabah. Bank Syariah juga tidak menjamin keuntungan atas investasi mudharabah. Mekanisme pengaturan realisasi pembagian keuntungan final atas investasi mudharabah tergantung pada performance dari bank, berlainan dengan bank konvensional yang menjamin keuntungan atas deposito berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan mengabaikan performancenya.
(3) Dana Titipan (wadiah / non remunerated deposit)
Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.
· Rekening Giro wadi’ah
Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadiah, dan sebaliknya pemegang rekening juga tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening wadiah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana. (pemegang rekening wadiah).
Ciri-ciri giro wadiah adalah sebagai berikut:
a. Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasi kan rekeningnya;
b. Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank, dan menyetor sejumlah dana minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-masing bank) sebagai setoran awal;
c. Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia;
d. Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi tertulis lainnya;
e. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening pemilik tunggal,
- Rekening bersama (dua orang individu atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perusahaan yang berbadan hukum,
- Rekening kemitraan,
- Rekening titipan;
f. Servis lainnya :
- Cek istimewa,
- Instruksi siaga (standing instruction),
- Transfer dana otomatis;
- Kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan;
- Konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.
· Rekening tabungan wadiah
Prinsip wadiah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi, atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan buku (passbook) atau kartu ATM;
b. Besarnya setoran pertama dan salbo minimum yang harus mengendap, tergantung pada kebijakan masing-masing bank;
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja;
d. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening bersama (dua orang atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
- Rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan);
e. Pembayaran bonus (hibah) dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
Bank Syariah tidak memperjanjikan bagi hasil atas tabungan wadiah, walaupun atas kemauannya sendiri bank dapat memberikan bonus kepada para pemegang rekening wadiah.
2. Penggunaan Dana Bank
Bank harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan. Alokasi ini mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1. Mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat resiko yang rendah
2. Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
Untuk mencapai kedua keinginan tersebut maka alokasi dana-dana bank harus diarahkan sedemikian rupa agar pada saat diperlukan semua kepentingan nasabah dapat terpenuhi.
Alokasi penggunaan dana bank syariah pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu:
(1) Earning Assets (aktiva yang menghasilkan) dan
(2) Non Earning Assets (aktiva yang tidak menghasilkan)
Earning Assets adalah berupa investasi dalam bentuk:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah);
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah);
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (Al Bai’);
d. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah Muntahiah bi Tamlik);
e. Surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya.
Fungsi penggunaan dana yang terpenting bagi bank komersil adalah fungsi pembiyaan. Portfolio pembiayaan pada bank komersil menempati porsi terbesar, pada umumnya sekitar 55% sampai 60% dari total aktiva. Tingkat penghasilan dari pembiayaan (yield on financing) merupakan tingkat penghasilan tertinggi bagi bank. Sesuai dengan karakteristik dari sumber dananya, pada umumnya bank komersil memberikan pembiayaan berjangka pendek dan menengah, meskipun beberapa jenis pembiayaan dapat diberikan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Tingkat penghasilan dari setiap jenis pembiayaan juga bervariasi, tergantung pada prinsip pembiayaan yang digunakan dan sektor usaha yang dibiayai.
sumber : Tazkia Cendekia
Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit). Melalui bank kelebihan dana-dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank berbasis bunga melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dengan nasabahnya adalah hubungan antara kreditur dan debitur.
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara Bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al maal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu tingkat laba Bank Syariah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap bagi-hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana. Dengan demikian kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik (professional investment manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuannya menghasilkan laba.
1. Sumber-sumber Dana Bank Syariah
Pertumbuhan setiap bank sangat dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya menghimpun dana masyarakat, baik berskala kecil maupun besar dengan masa pengendapan yang memadai. Sebagai lembaga keuangan, maka dana merupakan masalah bank yang paling utama. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat berbuat apa-apa, atau dengan kata lain, bank menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai, atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang sewaktu-waktu atau pada suatu saat tertentu akan ditarik kembali, baik sekaligus ataupun secara berangsur-angsur. Berdasarkan data empiris selama ini, dana yang berasal dari para pemilik bank itu sendiri, ditambah cadangan modal yang berasal dari akumulasi keuntungan yang ditanam kembali pada bank, hanya sebesar 7 sampai 8 % dari total aktiva bank. Bahkan di Indonesia rata-rata jumlah modal dan cadangan yang dimiliki oleh bank-bank belum pernah melebihi 4% dari total aktiva. Ini berarti bahwa sebagian besar modal kerja bank berasal dari masyarakat, lembaga keuangan lain dan pinjaman likuiditas dari Bank Sentral.
Dalam pandangan syariah uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga dimana “uang mengembang-biakkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan produktif atau tidak.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar (primary economic activities), baik secara langsung melalui transaksi seperti perdagangan, industri manufaktur, sewa-menyewa dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan prinsip tersebut Bank Syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau masyarakat dalam bentuk :
1. Titipan (wadiah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembalian nya (guaranteed deposit) tetepi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan;
2. Partisipsi modal berbagi hasil dan berbagi resiko (non guaranteed account) untuk investasi umum (general investment account / mudharabah mutlaqah) dimana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan portfolio yang didanai dengan modal tersebut;
3. Investasi khusus (special investment account / mudharabah muqayyadah) di mana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor sepenuhnya mengambiil resiko atas investasi itu.
Dengan demikian sumber dana bank Syariah terdiri dari :
(1) Modal inti (core capital)
(2) Kuasi ekuitas (mudharabah account) dan
(3) Titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
(1) Modal Inti
Modal ini adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari:
a. Modal yang disetor oleh para pemegang saham;
Sumber utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul apabila pemilik menyertakan dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengeluarkan dan menjual tambahan saham baru.
b. Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian di kemudian hari;
c. Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.
(2) Kuasi Ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagi hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (shahib al maal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa :
· Rekening investasi umum, dimana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk Investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah (unresrtricted investment account). Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.
· Rekening investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu yang mereka setujui atau mereka kehendaki. Rekening ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah (restricted investment account). Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus.
· Rekening Tabungan Mudharabah, Prinsip mudharabah juga digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat mudharabah adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang (monetary form), dalam jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu tabungan mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah. Dengan demikian tabungan mudharabah biasanya tidak diberikan fasilitas ATM, karena penabung tidak dapat menarik dananya dengan leluasa. Dalam aplikasnya bank syari’ah melayani tabungan mudharabah dalam bentuk targeted saving, seperti tabungan korban, tabungan haji atau tabungan lain yang dimaksudkan untuk suatu pencapaian target kebutuhan dalam jumlah dan atau jangka waktu tertentu.
Tidak seperti bank konvensional, Bank Syariah tidak menjamin pembayaran kembali nilai nominal dari investasi mudharabah. Bank Syariah juga tidak menjamin keuntungan atas investasi mudharabah. Mekanisme pengaturan realisasi pembagian keuntungan final atas investasi mudharabah tergantung pada performance dari bank, berlainan dengan bank konvensional yang menjamin keuntungan atas deposito berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan mengabaikan performancenya.
(3) Dana Titipan (wadiah / non remunerated deposit)
Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.
· Rekening Giro wadi’ah
Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadiah, dan sebaliknya pemegang rekening juga tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening wadiah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana. (pemegang rekening wadiah).
Ciri-ciri giro wadiah adalah sebagai berikut:
a. Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasi kan rekeningnya;
b. Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank, dan menyetor sejumlah dana minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-masing bank) sebagai setoran awal;
c. Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia;
d. Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi tertulis lainnya;
e. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening pemilik tunggal,
- Rekening bersama (dua orang individu atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perusahaan yang berbadan hukum,
- Rekening kemitraan,
- Rekening titipan;
f. Servis lainnya :
- Cek istimewa,
- Instruksi siaga (standing instruction),
- Transfer dana otomatis;
- Kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan;
- Konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.
· Rekening tabungan wadiah
Prinsip wadiah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi, atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan buku (passbook) atau kartu ATM;
b. Besarnya setoran pertama dan salbo minimum yang harus mengendap, tergantung pada kebijakan masing-masing bank;
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja;
d. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening bersama (dua orang atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
- Rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan);
e. Pembayaran bonus (hibah) dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
Bank Syariah tidak memperjanjikan bagi hasil atas tabungan wadiah, walaupun atas kemauannya sendiri bank dapat memberikan bonus kepada para pemegang rekening wadiah.
2. Penggunaan Dana Bank
Bank harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan. Alokasi ini mempunyai beberapa tujuan yaitu :
1. Mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat resiko yang rendah
2. Mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga agar posisi likuiditas tetap aman.
Untuk mencapai kedua keinginan tersebut maka alokasi dana-dana bank harus diarahkan sedemikian rupa agar pada saat diperlukan semua kepentingan nasabah dapat terpenuhi.
Alokasi penggunaan dana bank syariah pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian penting dari aktiva bank, yaitu:
(1) Earning Assets (aktiva yang menghasilkan) dan
(2) Non Earning Assets (aktiva yang tidak menghasilkan)
Earning Assets adalah berupa investasi dalam bentuk:
a. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudharabah);
b. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan (Musyarakah);
c. Pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli (Al Bai’);
d. Pembiayaan berdasarkan prinsip sewa (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina/Ijarah Muntahiah bi Tamlik);
e. Surat-surat berharga syariah dan investasi lainnya.
Fungsi penggunaan dana yang terpenting bagi bank komersil adalah fungsi pembiyaan. Portfolio pembiayaan pada bank komersil menempati porsi terbesar, pada umumnya sekitar 55% sampai 60% dari total aktiva. Tingkat penghasilan dari pembiayaan (yield on financing) merupakan tingkat penghasilan tertinggi bagi bank. Sesuai dengan karakteristik dari sumber dananya, pada umumnya bank komersil memberikan pembiayaan berjangka pendek dan menengah, meskipun beberapa jenis pembiayaan dapat diberikan dengan jangka waktu yang lebih panjang. Tingkat penghasilan dari setiap jenis pembiayaan juga bervariasi, tergantung pada prinsip pembiayaan yang digunakan dan sektor usaha yang dibiayai.
sumber : Tazkia Cendekia
Pembiayaan Usaha di Bank Syariah
Tulisan Oleh : Acep Jayaprawira (PNM Venture Capital)
Sumber : Republika Online
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagai menjadi:
Pembiayaan produktif: pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yakni untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
Pembiayaan konsumtif: pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk dipakai memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif terdiri atas: Pembiayaan modal kerja: pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan (1) peningkatan produksi, kuantitatif dan kualitatif; dan (2) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan suatu utility of place dari suatu barang.
Pembiayaan investasi untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal dan fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang umumnya meliputi persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi.
Bank konvensional memberikan kredit modal kerja dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untu mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut, bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah. Di sini bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib).
Skema pembiayaan semacam ini disebut mudharanah atau trust financing. Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
Pembiayaan likuiditas
Pembiayaan ini umumnya digunakan untuk memeuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan atau yang biasa disebut kredit rekening koran.
Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka rekening giro, dan bank tidak memberikan bonus atas giro itu. Bila nasabah mengalami situasi mismatched,nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apapun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
Pembiayaan likuiditas
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barang dengan kredit, tapi jumlah dan jangka waktunya melebihi kapasaitas modal kerja yang dimilikinya.
Pembiayaan ini berupa pembiayaan piutang dan anjak piutang atau factoring. Dalam kasus pembiayaan piutang, bank syariah melakukannya dalam bentuk al qardh. Bank tak boleh meminta imbalan, kecuali biaya administrasi.
Untuk anjakpiutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihan utang yang disebut dengan hiwalah. Untuk fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecualai biaya layanan atau atau administrasi dan biaya penagihan.
Pembiayaan persediaan
Pada bank konvensional dapat dijumpai adanya kredit modal kerja untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Bank syariah punya mekanisme sendiri untuk kasus ini, yakni dengan menggunakan prinsip jual beli (al bai) dalam dua tahap.
Tahap pertama bank mengadakan (membeli dari suplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua bank menjual kepada nasabah dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah.
Ada beberapa skema jual beli uantuk meng-approach kebutuhan itu:
Bai al Murabahah: pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku itu kan menjadi barang setengah jadi kemudian menjadi barang jadi yang siap dijual. Bila barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Bai al Istishna: bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’al istishna’. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemsanan barang dengan harga yang disepakati kedua pihak dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap produksi.
Bai as Salam: bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus. Masabah wajib mengirim baranag itu pada tanggal yang ditetapkan dalam kontrak. Pada waktu itu pula bank dapat mencari pembeli produk tersebut.
Sumber : Republika Online
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagai menjadi:
Pembiayaan produktif: pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yakni untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
Pembiayaan konsumtif: pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk dipakai memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif terdiri atas: Pembiayaan modal kerja: pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan (1) peningkatan produksi, kuantitatif dan kualitatif; dan (2) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan suatu utility of place dari suatu barang.
Pembiayaan investasi untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal dan fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang umumnya meliputi persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi.
Bank konvensional memberikan kredit modal kerja dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan untu mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan berupa bunga.
Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut, bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah. Di sini bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib).
Skema pembiayaan semacam ini disebut mudharanah atau trust financing. Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
Pembiayaan likuiditas
Pembiayaan ini umumnya digunakan untuk memeuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan atau yang biasa disebut kredit rekening koran.
Bank syariah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka rekening giro, dan bank tidak memberikan bonus atas giro itu. Bila nasabah mengalami situasi mismatched,nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apapun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
Pembiayaan likuiditas
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang menjual barang dengan kredit, tapi jumlah dan jangka waktunya melebihi kapasaitas modal kerja yang dimilikinya.
Pembiayaan ini berupa pembiayaan piutang dan anjak piutang atau factoring. Dalam kasus pembiayaan piutang, bank syariah melakukannya dalam bentuk al qardh. Bank tak boleh meminta imbalan, kecuali biaya administrasi.
Untuk anjakpiutang, bank dapat memberikan fasilitas pengambilalihan utang yang disebut dengan hiwalah. Untuk fasilitas ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecualai biaya layanan atau atau administrasi dan biaya penagihan.
Pembiayaan persediaan
Pada bank konvensional dapat dijumpai adanya kredit modal kerja untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Bank syariah punya mekanisme sendiri untuk kasus ini, yakni dengan menggunakan prinsip jual beli (al bai) dalam dua tahap.
Tahap pertama bank mengadakan (membeli dari suplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua bank menjual kepada nasabah dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah.
Ada beberapa skema jual beli uantuk meng-approach kebutuhan itu:
Bai al Murabahah: pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri atas biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku itu kan menjadi barang setengah jadi kemudian menjadi barang jadi yang siap dijual. Bila barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Bai al Istishna: bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’al istishna’. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemsanan barang dengan harga yang disepakati kedua pihak dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap produksi.
Bai as Salam: bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus. Masabah wajib mengirim baranag itu pada tanggal yang ditetapkan dalam kontrak. Pada waktu itu pula bank dapat mencari pembeli produk tersebut.
Prinsip Operasional Bank Syariah
Tulisan: Drs. Zainul Arifin, MBA
1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Sistim keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.
Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena agama lain tidak dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat diarahkan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam Ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam Ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
(1) Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.
(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
(3) Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur’an: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…’ (QS 4 : 29).
(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkap kan bahwa, ‘Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…’ (QS 57:7). Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api” (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.
(6) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an sebagai berikut: ‘Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…’ (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
(7) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.
(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.
Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk dipraktekkannya bunga.
2. Prinsip Dasar Operasional Bank Islam
2.1 Prinsip Utama
Islam adalah suatu Din (Way of Life) yang praktis, yang mengajarkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature).
Prof. Emeritus Tan Sri Datuk Ahmed bin Mohd. Ibrahim menyatakan :
“Banking and financial activities have emerged to meet genuine human needs. Therefore, unless these activities belong to the category expressly forbidden by Islam, there is nothing in the nature of these activities which is contrary to the Syariah. Examples of forbidden activities include gambling and manufacturing and trading in forbidden goods such as liquor” .
Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur’an yaitu:
(1) Prinsip Al Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS 5:2)
(2) Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (Idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (QS 4: 29)
Perbedaan pokok antara Perbankan Islam dengan perbankan konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan Islam. Bagi Islam, riba dilarang sedang jual-beli (Al Bai’) dihalalkan.
Sejak dekade tahun 70-an, umat Islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank Islam. Tujuan dari pendirian bank-bank Islam ini pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan dan bisnis lain yang terkait.
Prinsip utama yang dianut oleh Bank Islam adalah:
· Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi;
· Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah;
· Memberikan zakat.
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (Bai’ al Muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman:
“Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kele- mahan - kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.”
Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.
“Ternyata Rasulullah saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya.”
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil resiko karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan Qard yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.
Secara mikro, Qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, Qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula pengeluaran Shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian Qard.
Islam juga tidak mengenal konsep Time Value of Money, namun Islam mengenal konsep Economic Value of Time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (Deferred Payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Cash).
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan Time Value of Money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500,00, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1000,00. Sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai .
2.2. Sistim Operasional Bank Islam
Sistim keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dalam bentuk penyertaan (equity financing) maupun dalam bentuk pinjamanan (debt financing).
Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (Profit and Loss Sharing), sebagai metoda pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing), dengan produk-produknya sebagai berikut :
2.2.1. Produk Pembiayaan
(a) Equity Financing.
Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu :
1) Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah al Inan) sebagai sebuah Badan Hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (Voting Right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek dimana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan.
Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut dengan Musyarakah al Mutanakishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, dimana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.
2) Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Kontrak mudharabah adalah juga merupakan suatu bentuk Equity Financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dengan musyarakah. Di dalam mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal melainkan antara penyedia dana (Shahib al Maal) dengan entrepreneur (Mudharib). Di dalam kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan atau perniagaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.
Dalam hal obyek yang didanai ditentukan oleh penyedia dana, maka kontrak tersebut dinamakan Mudharabah al Muqayyadah. Dia menggunakan modal tersebut, dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, untuk menghasilkan keuntungan. Pada saat proyek sudah selesai, Mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh Shahib al Maal. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi penyedia dana (Mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung, atau dapat menjadi penyedia dana (Shahib al Maal) dalam hubungan mereka dengan pihak yang mereka beri dana.
(b) Debt Financing
Kalimat Al Qur’an “… Allah menghalalkan jual beli (al bai) dan melarang riba…” (QS 2:275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak sesuai dengan spirit Islam. Istilah jual-beli (Al Bai’) memiliki arti yang secara umum meliputi semua tipe kontrak pertukaran, kecuali tipe kontrak yang dilarang oleh syariah. Al Bai’ berarti setiap kontrak pertukaran barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang (termasuk uang) dan jasa yang lain. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan tangguh (deferred). Oleh karenanya syarat-syarat Al Bai’ dalam Debt Financing menyangkut berbagai tipe dari kontrak jual beli tangguh (Deferred Contract of Exchange) yang meliputi transaksi-transaksi sebagai berikut:
1. Prinsip Jual-beli
- Al Murabahah, yaitu kontrak jual beli dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus.
- Al Bai’ Bitsaman Ajil, yaitu kontrak al murabahah dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan dengan segera sedang harga atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara angsuran (Installment Deferred Payment). Dalam prakteknya pada bank sama dengan murabahah, hanya saja kewajiban nasabah dilakukan secara angsuran.
- Bai’ as Salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dengan segera (secara sekaligus), sedangkan penyerahan atas barang tersebut dilakukan kemudian. Bai’ as salam ini biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian yang berjangka pendek. Dalam hal ini, bank bertindak sebagai pembeli produk dan menyerahkan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. Karena kewajiban nasabah kepada bank berupa produk pertanian, biasanya bank melakukan Paralel Salam yaitu mencari pembeli kedua sebelum saat panen tiba.
- Bai’ al Istishna’, hampir sama dengan bai’ as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi (manufactured) dan diserahkan kemudian. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (mustashni’ ke-1) kepada pemilik/pembeli proyek (bohir) dan mensubkannya kepada kontraktor (mustashni’ ke-2).
2. Prinsip sewa-beli
Sewa dan Sewa-beli (Ijarah dan Ijara wa Iqtina) oleh para ulama, secara bulat dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai lease dan financing lease. Al Ijarah atau sewa, adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberikan options untuk membeli barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut Al Ijarah wa Iqtina’, dimana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
(c) Al Qard al Hasan
Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank dapat memberikan fasilitas yang disebut Al Qard al Hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya tetapi bank sama sekali dilarang untuk menerima imbalan apapun.
2.2.2. Produk Penghimpunan Dana (Funding)
Bank Islam menjalankan fungsi-fungsi financing tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai mudharib dengan menggunakan dana-dana yang diperoleh dari para nasabah sebagai Shahib al Maal, yang menyimpan dan menanamkan dananya pada bank melalui rekening-rekening sebagai berikut :
(a) Rekening Koran
Jasa simpanan dana dalam bentuk Rekening Koran diberikan oleh bank Islam dengan prinsip Al Wadi’ah yad Dhamanah, di mana penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, bank menerima simpanan dana dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dengan kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.
Jadi, Bank memperoleh ijin dari nasabah untuk menggunakannya selama dana tersebut mengendap di bank. Nasabah sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh saldo yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan pembayaran kembali dari bank atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut selama mengendap di bank adalah menjadi hak bank. Bank diperbolehkan memberikan bonus kepada nasabah atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian. Bank menyediakan cek dan jasa-jasa lain yang berkaitan dengan rekening koran tersebut.
Berdasarkan prinsip wadiah ini penerima simpanan juga dapat bertindak sebagai Yad al Amanah (tangan penerima amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal itu bukan akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan (terjadi karena faktor di luar kemampuan penerima simpanan). Penerapannya dalam perbankan dapat kita saksikan, misalnya dalam pelayanan safe deposit box.
(b) Rekening Tabungan.
Bank menerima simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali berikut kemungkinan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip Wadi’ah. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, namun tetapi berbeda dengan rekening koran, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
(c) Rekening Investasi Umum
Bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi dari dana mereka dalam bentuk Rekening Investasi Umum berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.
(d) Rekening investasi khusus
Bank dapat juga menerima simpanan dari pemerintah atau nasabah korporasi dalam bentuk rekening simpanan khusus. Rekening ini juga dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah, tetapi bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus (mudharabah muqayyadah).
2.2.3. Produk Jasa-jasa
(a) Rahn
Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah untuk keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.
(b) Wakalah
Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak. Dalam aplikasinya pada Perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
(c) Kafalah
Kafalah adalah akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (Bank Guarantee), baik dalam rangka mengikuti tender (Bid bond), pelaksanaan proyek (Performance bond), ataupun jaminan atas pembayaran lebih dulu (Advance Payment bond).
(d) Hawalah
Hawalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Prakteknya dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (Factoring). Namun kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan hutang/piutang tersebut.
(e) Jo’alah
Jo’alah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas / pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah.
(f) Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.
Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits antara lain:
- Harus tunai;
- Serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak;
- Bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah / kuantitas yang sama.
1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Sistim keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.
Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena agama lain tidak dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat diarahkan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam Ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam Ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
(1) Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.
(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
(3) Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur’an: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…’ (QS 4 : 29).
(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkap kan bahwa, ‘Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…’ (QS 57:7). Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api” (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.
(6) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur’an sebagai berikut: ‘Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…’ (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
(7) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.
(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.
Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk dipraktekkannya bunga.
2. Prinsip Dasar Operasional Bank Islam
2.1 Prinsip Utama
Islam adalah suatu Din (Way of Life) yang praktis, yang mengajarkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature).
Prof. Emeritus Tan Sri Datuk Ahmed bin Mohd. Ibrahim menyatakan :
“Banking and financial activities have emerged to meet genuine human needs. Therefore, unless these activities belong to the category expressly forbidden by Islam, there is nothing in the nature of these activities which is contrary to the Syariah. Examples of forbidden activities include gambling and manufacturing and trading in forbidden goods such as liquor” .
Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur’an yaitu:
(1) Prinsip Al Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an :
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS 5:2)
(2) Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (Idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (QS 4: 29)
Perbedaan pokok antara Perbankan Islam dengan perbankan konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan Islam. Bagi Islam, riba dilarang sedang jual-beli (Al Bai’) dihalalkan.
Sejak dekade tahun 70-an, umat Islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank Islam. Tujuan dari pendirian bank-bank Islam ini pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan dan bisnis lain yang terkait.
Prinsip utama yang dianut oleh Bank Islam adalah:
· Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi;
· Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah;
· Memberikan zakat.
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (Bai’ al Muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman:
“Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kele- mahan - kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.”
Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.
“Ternyata Rasulullah saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya.”
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil resiko karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan Qard yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.
Secara mikro, Qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, Qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula pengeluaran Shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian Qard.
Islam juga tidak mengenal konsep Time Value of Money, namun Islam mengenal konsep Economic Value of Time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (Deferred Payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Cash).
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan Time Value of Money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500,00, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1000,00. Sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai .
2.2. Sistim Operasional Bank Islam
Sistim keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dalam bentuk penyertaan (equity financing) maupun dalam bentuk pinjamanan (debt financing).
Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (Profit and Loss Sharing), sebagai metoda pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing), dengan produk-produknya sebagai berikut :
2.2.1. Produk Pembiayaan
(a) Equity Financing.
Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu :
1) Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah al Inan) sebagai sebuah Badan Hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (Voting Right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek dimana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan.
Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut dengan Musyarakah al Mutanakishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, dimana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.
2) Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Kontrak mudharabah adalah juga merupakan suatu bentuk Equity Financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dengan musyarakah. Di dalam mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal melainkan antara penyedia dana (Shahib al Maal) dengan entrepreneur (Mudharib). Di dalam kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan atau perniagaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.
Dalam hal obyek yang didanai ditentukan oleh penyedia dana, maka kontrak tersebut dinamakan Mudharabah al Muqayyadah. Dia menggunakan modal tersebut, dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, untuk menghasilkan keuntungan. Pada saat proyek sudah selesai, Mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh Shahib al Maal. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi penyedia dana (Mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung, atau dapat menjadi penyedia dana (Shahib al Maal) dalam hubungan mereka dengan pihak yang mereka beri dana.
(b) Debt Financing
Kalimat Al Qur’an “… Allah menghalalkan jual beli (al bai) dan melarang riba…” (QS 2:275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak sesuai dengan spirit Islam. Istilah jual-beli (Al Bai’) memiliki arti yang secara umum meliputi semua tipe kontrak pertukaran, kecuali tipe kontrak yang dilarang oleh syariah. Al Bai’ berarti setiap kontrak pertukaran barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang (termasuk uang) dan jasa yang lain. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan tangguh (deferred). Oleh karenanya syarat-syarat Al Bai’ dalam Debt Financing menyangkut berbagai tipe dari kontrak jual beli tangguh (Deferred Contract of Exchange) yang meliputi transaksi-transaksi sebagai berikut:
1. Prinsip Jual-beli
- Al Murabahah, yaitu kontrak jual beli dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus.
- Al Bai’ Bitsaman Ajil, yaitu kontrak al murabahah dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan dengan segera sedang harga atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara angsuran (Installment Deferred Payment). Dalam prakteknya pada bank sama dengan murabahah, hanya saja kewajiban nasabah dilakukan secara angsuran.
- Bai’ as Salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dengan segera (secara sekaligus), sedangkan penyerahan atas barang tersebut dilakukan kemudian. Bai’ as salam ini biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian yang berjangka pendek. Dalam hal ini, bank bertindak sebagai pembeli produk dan menyerahkan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. Karena kewajiban nasabah kepada bank berupa produk pertanian, biasanya bank melakukan Paralel Salam yaitu mencari pembeli kedua sebelum saat panen tiba.
- Bai’ al Istishna’, hampir sama dengan bai’ as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi (manufactured) dan diserahkan kemudian. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (mustashni’ ke-1) kepada pemilik/pembeli proyek (bohir) dan mensubkannya kepada kontraktor (mustashni’ ke-2).
2. Prinsip sewa-beli
Sewa dan Sewa-beli (Ijarah dan Ijara wa Iqtina) oleh para ulama, secara bulat dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai lease dan financing lease. Al Ijarah atau sewa, adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberikan options untuk membeli barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut Al Ijarah wa Iqtina’, dimana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
(c) Al Qard al Hasan
Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank dapat memberikan fasilitas yang disebut Al Qard al Hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya tetapi bank sama sekali dilarang untuk menerima imbalan apapun.
2.2.2. Produk Penghimpunan Dana (Funding)
Bank Islam menjalankan fungsi-fungsi financing tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai mudharib dengan menggunakan dana-dana yang diperoleh dari para nasabah sebagai Shahib al Maal, yang menyimpan dan menanamkan dananya pada bank melalui rekening-rekening sebagai berikut :
(a) Rekening Koran
Jasa simpanan dana dalam bentuk Rekening Koran diberikan oleh bank Islam dengan prinsip Al Wadi’ah yad Dhamanah, di mana penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, bank menerima simpanan dana dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dengan kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.
Jadi, Bank memperoleh ijin dari nasabah untuk menggunakannya selama dana tersebut mengendap di bank. Nasabah sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh saldo yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan pembayaran kembali dari bank atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut selama mengendap di bank adalah menjadi hak bank. Bank diperbolehkan memberikan bonus kepada nasabah atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian. Bank menyediakan cek dan jasa-jasa lain yang berkaitan dengan rekening koran tersebut.
Berdasarkan prinsip wadiah ini penerima simpanan juga dapat bertindak sebagai Yad al Amanah (tangan penerima amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal itu bukan akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan (terjadi karena faktor di luar kemampuan penerima simpanan). Penerapannya dalam perbankan dapat kita saksikan, misalnya dalam pelayanan safe deposit box.
(b) Rekening Tabungan.
Bank menerima simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali berikut kemungkinan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip Wadi’ah. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, namun tetapi berbeda dengan rekening koran, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
(c) Rekening Investasi Umum
Bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi dari dana mereka dalam bentuk Rekening Investasi Umum berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.
(d) Rekening investasi khusus
Bank dapat juga menerima simpanan dari pemerintah atau nasabah korporasi dalam bentuk rekening simpanan khusus. Rekening ini juga dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah, tetapi bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus (mudharabah muqayyadah).
2.2.3. Produk Jasa-jasa
(a) Rahn
Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah untuk keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.
(b) Wakalah
Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak. Dalam aplikasinya pada Perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.
(c) Kafalah
Kafalah adalah akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (Bank Guarantee), baik dalam rangka mengikuti tender (Bid bond), pelaksanaan proyek (Performance bond), ataupun jaminan atas pembayaran lebih dulu (Advance Payment bond).
(d) Hawalah
Hawalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Prakteknya dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (Factoring). Namun kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan hutang/piutang tersebut.
(e) Jo’alah
Jo’alah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas / pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah.
(f) Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.
Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits antara lain:
- Harus tunai;
- Serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak;
- Bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah / kuantitas yang sama.
Pola Manajemen Bank Syariah
1. Kedudukan Manajemen dalam Syariah Islam
Perbuatan manusia menurut pendekatan syariah dapat berbentuk perbuatan ibadah dan dapat berbentuk perbuatan mu’amalah. Suatu perbuatan ibadah pada asalnya tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil atau ketentuan yang terdapat dalam Al Qur’an dan/atau Al Hadits, yang menyatakan bahwa perbuatan itu harus atau boleh dilakukan. Sedang dalam mu’amalah pada asalnya semua perbuatan boleh dilakukan kecuali ada ketentuan dalam Al Qur’an dan/atau Al Hadits yang melarangnya.
Perbuatan ibadah adalah yang dinyatakan oleh Al Qur’an dan Al Hadits tentang cara-cara beribadah seperti shalat, puasa, ibadah haji dan lain-lain. Baik tata caranya, waktunya, dan tempatnya dengan tegas dan jelas telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan/atau Al Hadits. Tidak boleh ditambah, dikurangi atau diubah.
Sedangkan perbuatan mu’amalah adalah semua perbuatan yang bersifat duniawi yang asalnya adalah mubah, yaitu boleh dan dapat dilakukan dengan bebas, sepanjang tidak ada larangan di dalam al Qur’an dan / atau Hadits, dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan akhlak. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda :
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan-urusan duniamu” (HR Muslim).
Menurut kaidah Ushul Fiqh, suatu perbuatan yang mubah bisa menjadi perbuatan wajib jika tanpa perbuatan itu perbuatan wajib menjadi terhalang. Dengan kata lain, jika suatu perbuatan wajib menjadi tidak sempurna tanpa adanya perbuatan lain, maka perbuatan lain itu menjadi wajib.
Islam mewajibkan para penguasa dan para pengusaha untuk berbuat adil, jujur dan amanah demi terciptanya kebahagiaan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosioekonomi, dan pemenuhan kebutuhan spiritual ummat manusia. Ummat manusia yang mmemiliki kedudukan yang sama di sisi Allah sebagai khalifah dan sekaligus sebagai hamba Nya tidak akan dapat merasakan kebahagiaan dan ketenangan batin kecuali bila kebutuhan-kebutuhan materiil dan spirituil telah dipenuhi.
Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki.
Dengan sangat bijaksana Imam Ghazali meletakkan iman pada urutan pertama dalam daftar tujuan (maqashid) syariat itu, karena dalam perspektif Islam, iman adalah isi yang sangat penting bagi kebahagiaan manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, yang memungkinkan manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama. Iman juga memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan ekonomi, disamping menyediakan pula suatu sistim pendorong untuk mencapai sasaran seperti pemenuhan kebutuhan serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Tanpa menyuntikkan dimensi keimanan ke dalam semua keputusan yang dibuat oleh manusia, baik itu dalam rumah tangga, direksi perusahaan, pasar atau politbiro, maka tidaklah mungkin diwujudkan efisiensi dan pemerataan dalam alokasi dan distribusi sumber daya untuk mengurangi ketidak-simbangan makro ekonomi dan ketidak-stabilan ekonomi atau memberantas kejahatan, keresahan, ketegangan dan berbagai simptom penyakit anomie.
Imam Ghazali meletakkan harta-benda dalam urutan terakhir karena harta bukanlah tujuan itu sendiri. Ia hanyalah suatu alat perantara, meskipun sangat penting, untuk merealisasikan kebahagiaan manusia. Harta-benda tidak dapat mengantarkan tujuan ini, kecuali bila dialokasikan dan didistribusikan secara merata. Hal ini menuntut penyertaan kriteria moral tertentu dalam menikmati harta-benda, operasi pasar dan politbiro. Apabila harta-benda menjadi tujuan itu sendiri, maka akan mengakibatkan ketidak-merataan, ketidak seimbangan dan perusakan lingkungan yang pada akhirnya akan mengurangi kebahagiaan anggota masyarakat di masa sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Tiga tujuan yang berada di tengah, yaitu kehidupan, akal dan keturunan, berhubungan dengan manusia itu sendiri dan kebahagiaannya menjadi tujuan utama syariah. Komitmen moral bagi perlindungan tiga tujuan itu melalui alokasi dan distribusi sumber daya tidak mungkin berasal dari sistim harga dan pasar dalam suatu lingkungan sekuler. Justru kehidupan, akal dan keturunan ummat manusia seluruhnya itulah yang harus dilindungi dan diperkaya, bukan hanya mereka yang sudah kaya dan kelas tinggi saja. Segala sesuatu yang diperlukan untuk memperkaya tiga tujuan ini bagi semua ummat manusia harus dianggap sebagai kebutuhan. Begitu pula semua hal yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seperti makanan yang cukup, sandang, papan, pendidikan spiritual dan intelektual, lingkungan yang secara spiritual dan fisik sehat (dengan ketegangan, kejahatan dan polusi yang minim), fasilitas kesehatan, transportasi yang nyaman, istirahat yang cukup untuk bersilatur rahim dengan keluarga dan tugas-tugas sosial dan kesempatan untuk hidup yang bermartabat.
Pemenuhan kebutuhan ini akan menjamin generasi sekarang dan yang akan datang dalam kedamaian, kenyamanan, sehat dan efisien serta mampu memberikan kontribusi secara baik bagi realisasi dan kelanggengan falah dan hayatan thayyibah. Setiap alokasi dan distribusi sumber daya yang tidak membantu mewujudkan falah dan hayatan thayyibah , menurut Ibnu Qayyim, tidak mencerminkan hikmah dan tidak dapat dianggap efisien dan merata (adil)
Untuk melaksanakan kewajiban tersebut para penguasa atau pengusaha harus manjalankan manajemen yang baik dan sehat. Manajemen yang baik harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan (conditio sine qua non) demi mencapai hasil tugas yang baik. Oleh karena itu para penguasa atau pengusaha wajib mempelajari ilmu manajemen. Apalagi bila prinsip atau teknik manajemen itu terdapat atau diisyaratkan dalam Al Qur’ an atau Al Hadits.
Beberapa prinsip atau kaidah dan teknik manajemen yang ada relevansinya dengan Al Qur’an atau Al Hadits antara lain sebagai berikut :
1.1. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setiap muslim wajib melakukan perbuatan yang ma’ruf, yaitu perbuatan yang baik dan terpuji seperti perbuatan tolong-menolong (taawun), menegakkan keadilan di antara manusia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempertinggi efisiensi, dan lain-lain. Sedangkan perbuatan munkar (keji), seperti korupsi, suap, pemborosan dan sebagainya harus dijauhi dan bahkan harus diberantas.
Menyeru kepada kebajikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (nahi munkar) adalah wajib sebagaimana firman Allah SWT:
“Hendaklah ada diantara kamu ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan keji” (QS 3 : 104)
Untuk melaksanakan prinsip tersebut, ilmu manajemen harus dipelajari dan dilaksanakan secara sehat, baik secara bijak maupun secara ilmiah.
1.2. Kewajiban Menegakkan Kebenaran
Ajaran Islam adalah metode Ilahi untuk menegakkan kebenaran dan menghapuskan kebatilan, dan untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera serta diridhai Tuhan .
Kebenaran (haq) menurut ukuran dan norma Islam, antara lain tersirat di dalam firman Allah Surat (17) Al Isra ayat 81:
“Katakanlah ya Muhammad ! Telah datang kebenaran dan telah sirna yang batil. Sesungguhnya yang batil itu akan lenyap”.
Firman Allah dalam Surat (3) Ali Imran ayat 60 menyatakan:
“Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau termasuk salah seorang yang ragu-ragu”.
Manajemen sebagai suatu metode pengelolaan yang baik dan benar, untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan dan menegakkan kebenaran. Menegakkan kebenaran adalah metode Allah yang harus ditaati oleh manusia. Dengan demikian manajemen yang disusun oleh manusia untuk menegakkan kebenaran itu menjadi wajib.
1.3. Kewajiban Menegakkan Keadilan.
Hukum syariah mewajibkan kita menegakkan keadilan, kapan dan di manapun. Allah berfirman di Surat (4) An Nisa’ ayat 58 :
“Jika kamu menghukum di antara manusia, hendaknya kamu menghukum (mengadili) secara adil”
dan firman Allah dalam Surat (7) Al A’raf ayat 29 menyatakan bahwa:
Katakanlah ya Muhammad ! “ Tuhanku memerintahkan bertindak adil “.
Semua perbuatan harus dilakukan dengan adil. Adil dalam menimbang, adil dalam bertindak, dan adil dalam menghukum. Adil itu harus dilakukan di manapun dan dalam keadaan apapun, baik di waktu senang maupun di waktu susah. Sewaktu sebagai orang kecil harus berbuat adil, sewaktu sebagai orang yang berkuasapun harus adil. Tiap muslim harus adil kepada dirinya sendiri dan adil pula terhadap orang lain.
1.4. Kewajiban menyampaikan amanah
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada setiap muslim untuk menunaikan amanah. Kewajiban menunaikan amanah dinyatakan oleh Allah dalam Surat (4) An Nisa’ ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah memerintahkan agar selalu menunaikan amanat dalam segala bentuknya, baik amanat perorangan, seperti dalam jual-beli, hukum perjanjian yang termaktub dalam Kitab al Buyu’ (hukum dagang) maupun amanat perusahaan, amanat rakyat dan negara, seperti yang dipikul oleh seorang pejabat pemerintah, ataupun amanat Allah dan ummat, seperti yang dipikul oleh seorang pemimpin Islam. Mereka tanpa kecuali memikul beban untuk memelihara dan menyampaikan amanat.
Mengenai kewajiban menunaikan amanat di bidang muamalah, Allah berfirman dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 283 :
“Maka hendaklah (orang) yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) kepada yang berhak (yang berpiutang)”.
Seorang manajer perusahaan adalah pemegang amanat dari pemegang sahamnya, yang wajib mengelola perusahaan dengan baik, sehingga menguntungkan pemegang saham dan memuaskan konsumennya. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap hamba itu adalah pengembala (pemelihara) harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas harta yang dikelolanya”. (HR Muslim)
Sebaliknya orang-orang yang menyalah-gunakan amanat (berkhianat) adalah berdosa di sisi Allah, dan dapat dihukum di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya pengurus-pengurus (manajer) yang buruk akan disiksa, berhati-hatilah engkau untuk menjadi mereka (manajer) “.(HR Muslim)
Dengan demikian jelaslah bahwa hak dan kewajiban seseorang dalam manajemen secara tegas diatur di dalam hukum syariah. Pengaturannya antara lain terdapat dalam Hukum Syariah, Bab al buyu’, Hukum Perjanjian, atau Bab Imarah dan Khilafah yang dinyatakan dengan dalil dan nash dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Semua hukum tersebut wajib dilaksanakan dan dikembangkan seperti hukum-hukum lain. Demikian pula prinsip-prinsip manajemen yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, yang selalu segar, tidak menemui kejanggalan, sehingga sewajarnyalah diterapkan dalam praktek.
Islam memberikan keluwesan untuk ber-ijtihad. Dengan peralatan dalil nash Al Qur’an dan Al Hadits yang ditunjang oleh kemampuan ilmu pengetahuan modern, seorang manajer akan dapat ber-ijtihad sehingga mendapatkan hasil (natijah) yang memuaskan.
2. Dasar dan Tujuan Manajemen
Semua organisasi, baik yang berbentuk badan usaha swasta, badan yang bersifat publik ataupun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan tentu mempunyai suatu tujuan sendiri-sendiri yang merupakan motivasi dari pendiriannya.
Manajemen di dalam suatu badan usaha, baik industri, niaga dan jasa, tidak terkecuali jasa perbankan, didorong oleh motif mendapatkan keuntungan (profit). Untuk mendapat keuntungan yang besar, manajemen haruslah diselenggarakan dengan efisien. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap pengusaha dan manajer di manapun mereka berada, baik dalam organisasi bisnis, pelayanan publik, maupun organisasi sosial kemasyarakatan. Perbedaannya hanyalah pada falsafah hidup yang dianut oleh masing-masing pendiri atau manajer badan usaha tersebut.
Manajemen yang kita kenal sekarang ini adalah manajemen Barat yang individualistis dan kapitalistis. Di dalam masyarakat yang individualistis, kepentingan bersama dapat ditangguhkan demi kepentingan diri sendiri. Hal ini disebabkan karena mereka telah meninggalkan nilai-nilai religius yang berdasarkan hubungan tanggung jawab antara manusia dengan Tuhannya, baik mengenai suruhan yang ma’ruf dan pencegahan yang munkar, semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhannya .
2.1. Kebutuhan fitrah manusia sebagai dasar manajemen
Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang dilengkapi dengan akal dan hati. Unsur-unsur manusia itu memiliki kebutuhannya masing-masing. Manusia mempunyai tubuh yang tunduk pada hukum fisik, yang oleh karenanya merupakan subyek dari fisiknya. Guna mempertahankan hidupnya manusia perlu makan, minum, pakaian dan perlindungan (QS 7:31). Tetapi manusia bukanlah semata-mata terdiri dari tubuh saja, sehingga semua persoalan tidak dapat dengan hukum-hukum fisik semata.
Manusia juga adalah makhluk biologis, karena itu juga tunduk pada hukum-hukum biologis. Guna melestarikan spesiesnya, manusia mempunyai alat reproduksi dalam dirinya yang ditandai oleh kecenderungan berupa sex dan berkembang biak (QS 3:14).
Namun manusia juga bukan hanya merupakan alat reproduksi yang dapat diteliti dengan kacamata sexologi semata. Manusia juga memiliki akal yang membutuhkan sarana berupa ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk memikirkan berbagai rahasia dari ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi (QS 3:189). Sebagai makhluk rasional, sifat akal selalu menuntut kepuasan. Dari sudut pandang ini maka ilmu pengetahuan adalah merupakan tuntutan kebutuhannya.
Selain itu manusia juga termasuk makhluk sosial yang didorong oleh watak aslinya untuk bergaul dengan manusia lainnya. Keinginan alamiah untuk menjalin hubungan permanen antara pria dan wanita, ketergantungan anak manusia akan perlindungan orang tuanya, keinginan manusia untuk membela kepentingan keturunannya dan mempertahankan kasih sayang antara saudara sedarah, kesemuanya itu merupakan kecenderungan alami yang mengarahkan mereka dalam membangun kehidupan sosialnya.
Namun, keramah-tamahan dalam pergaulan hanyalah merupakan salah satu kualitas eksistensinya. Hal ini bukan satu-satunya acuan untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan kehidupan yang sempurna. Justru di jaman sekarang ini tidak jarang orang berbuat riya’, ingin dilihat orang, minta agar sedekah yang diberikannya diumumkan, agar diketahui dan dipuji, kemudian memperoleh julukan dermawan. Padahal di mata Allah, nilai setiap amal itu tergantung pada niatnya.
Agar manusia selalu terdorong untuk berusaha memenuhi kebutuhannya, Allah menghiasi pula dengan nafsu dan keinginan, baik untuk memperoleh kesenangan biologis (sex dan beranak pinak) maupun kesenangan lainnya seperti kecintaan kepada harta yang banyak, dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (QS 3:14).
Nafsulah yang merupakan motivator bagi manusia untuk selalu berusaha memenuhi keinginannya tersebut. Guna memenuhi keinginannya itu, sang nafsu lalu meminta bantuan akal untuk mencari cara yang paling cepat dan mudah untuk mendapatkan-nya. Akal akan menawarkan berbagai alternatif, sesuai dengan kapasitasnya. Kualitas akal ini akan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan tawaran alternatif metode yang disarankan oleh akal tersebut bisa bersifat rasional atau irrasional. Biasanya alternatif yang ditawarkan itu bersifat netral dan bebas nilai. Metode yang bersifat rasional adalah seperti bercocok tanam, bekerja memproduksi barang yang diinginkan, melakukan pertukaran barang dengan orang lain, meminta harta warisan yang menjadi haknya, bahkan termasuk mengemis, mencuri, merampok dan sebagainya. Sedangkan metode yang bersifat irrasional adalah seperti menggunakan ilmu sihir, spekulasi, berjudi dan lain-lain.
Manusia adalah juga merupakan makhluk moral spiritual, yang membedakan antara kebaikan dan kejahatan, memiliki dorongan bawaan untuk mencapai realitas di luar pengertian akal. Fungsi dari moral spiritual ini diperankan oleh hati. Dalam hal ini, hati berfungsi memberikan pertimbangan kepada nafsu, apakah jenis kebutuhan yang diinginkannya itu halal atau haram, bermanfaat ataukah membahayakan dirinya, jumlah kebutuhan yang diinginkannya itu wajar ataukah berlebihan, dan cara mendapatkannya itu layak ataukah tidak untuk diperturutkan dan dilaksanakan.
Kualitas dari pertimbangan hati itu akan tergantung kepada sistem nilai yang dianutnya dan intensitasnya mengingat Ilah yang diimaninya. Apabila hati beriman kepada Allah dan selalu mengingatNya dengan intensitas yang tinggi, maka nilai pertimbangannya pun semakin baik sesuai dengan norma-norma etika yang telah ditetapkan oleh Allah. Sebaliknya apabila hati beriman kepada toghut maka nilai pertimbangannya pun akan sesat karena mengukuti nasihat-nasihat toghut.
Akumulasi interaksi antara nafsu, akal dan hati inilah yang akan menentukan kualitas nilai diri manusia tersebut. Diri yang seimbang (nafs al muthmainnah) hanya akan memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan fitrahnya saja, yaitu kebutuhan yang dihalalkan oleh Allah swt., dalam jumlah yang diperlukan saja, tidak berlebihan dan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran Allah dan RasulNya. Lain halnya dengan diri yang serakah (nafs al lawwamah) dan liar (nafs al amarah) yang selalu terdorong memenuhi segala keinginan, seperti yang diciptakan oleh setan-setan kapitalis yang memang sangat kreatif dan aktif dalam menciptakan, memproduksi, dan mendorong timbulnya kebutuhan-kebutuhan secara berlebihan, yang justru merusak kualitas hidup manusia, seperti makanan haram, minuman keras, obat-obat terlarang, judi, seks bebas dan sebagainya.
Untuk mendapatkannya pun ditempuh dengan cara-cara yang dilarang oleh Islam, seperti menyuap, merampas, korupsi, menipu, mencuri, merampok, riba, judi, perdagangan gelap, menimbun dan usaha-usaha lain yang menghancurkan masyarakat. Dorongan-dorongan itulah yang melandasi paradigma ekonomi kapitalis yang menyatakan bahwa kebutuhan tidak terbatas, sehingga mereka terus memproduksi apa saja asal masih ada yang menginginkan, meskipun produk itu tidak bermanfaat, bertentangan dengan fitrah kebutuhan manusia, bahkan merusak masyarakat secara keseluruhan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia yang terdiri dari keseluruhan sifat-sifat tersebut (fisik, biologis, intelektual, spiritual dan sosiologis) memiliki kebutuhan masing-masing yang dipadukan bersama-sama. Sementara di luar itu, ada suatu masalah penting untuk dipertimbangkan, yaitu - dengan segala keberadaannya dalam semua aspek kehidupannya yang beragam- manusia merupakan bagian dari sistem alam raya yang sangat besar dan luas .
Keseimbangan pemenuhan kebutuhan masing-masing unsur tersebut akan sangat bergantung kepada lemah-kuatnya dorongan nafsu dan kualitas pengendalian yang diperani oleh akal dan hati. Akal dan hati yang berkualitas pasti akan membatasi konsumsinya sebatas kebutuhan fitrahnya. Konsumsi yang melebihi kebutuhan fitrah adalah kebutuhan palsu, yang justru akan merusak dirinya.
Demikianlah Allah swt telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, yang terdiri dari berbagai unsur yang terorganisir dengan rapi dan interaksi antar unsur-unsur yang ada mencerminkan suatu sistem manajemen yang sangat sempurna dan canggih. Sudah seharusnya manusia menjadikannya sebagai I’tibar dalam membangun suatu sistem organisasi dan manajemen yang baik.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang kokoh” (QS 61: 4)
2.2. Tujuan hidup manusia sebagai tujuan manajemen
Allah berfirman :
” Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia kecuali agar mereka hanya mengabdi kepada-Ku” (QS 51:56).
Inilah tujuan hidup manusia menurut ajaran Allah SWT., yang berintikan tauhid (pengesaan Tuhan) diikuti dengan seruan agar manusia beriman dan cinta kepada Allah dan Rasulnya serta yakin akan adanya hari akhirat . Segala tindakan dan kegiatan manusia hendaknya dilandasi motivasi untuk memperoleh keridlaan Allah, orientasinya kepada kebahagiaan akhirat (tanpa melupakan bagiannya di dunia) dan aplikasinya adalah ditegakkannya hukum (syariah) Allah di bumi. Inilah yang membedakannya dengan orang-orang sekuler, yang motivasi dan orientasi sikap, tindakan dan kegiatannya hanya untuk memperoleh kesenangan hidup di dunia saja, dan aplikasinya adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Bagi setiap muslim, keridlaan Allah adalah segala sumber dari kebahagiaan, di dunia dan di akhirat. Dunia adalah ladang tempat bertanam, hasil yang dinikmatinya di dunia adalah bagian kecil saja dari hasil yang sesungguhnya akan diperoleh. Bagian hasil terbesar justru akan dinikmatinya di akhirat. Allah, selain sebagai satu-satunya zat yang patut disembah (tauhid uluhiyah), Allah jualah satu-satunya pengatur seluruh alam beserta isinya (tauhid rubbubiyah). Manusia sebagai hamba-Nya wajib menyerahkan diri bulat-bulat kepada-Nya dan rela untuk diatur oleh-Nya. Pemenuhan kebutuhan hidupnya di dunia sebatas keperluan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah. Oleh karenanya setiap usaha yang dilakukan dalam kehidupan dunia ini haruslah senantiasa disesuaikan dengan hukum dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh syariah Allah SWT.
Manusia diciptakan Allah agar berfungsi sebagai penguasa (khalifah) di bumi (QS 6: 165) dengan tugas untuk memelihara dan memakmurkan bumi. Karena bumi dengan semua sistem ekologi yang telah diciptakan Allah itu sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup mereka. Pemanfaatan segala sumber daya di dalamnya harus dilakukan dengan daya cipta yang tinggi dan dengan memperhatikan prinsip keseimbangan. Manusia harus menyadari segala tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan di bumi.
Tugas ini memerlukan pengertian yang tepat tentang hukum-hukum Allah yang menguasai alam ciptaan-Nya, dilanjutkan dengan kegiatan bertindak untuk melakukan suatu yang baru, yang baik (saleh), untuk kebaikan (maslahat) bagi manusia, dengan menggunakan teknologi yang sesuai dengan hukum itu. Hal ini berkaitan erat dengan ajaran tentang prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran dalam kegiatan hidup, terutama dalam kegiatan ekonomi yang menyangkut proses pembagian kekayaan dan pemerataannya di antara masyarakat.
Beberapa faktor strategis dan fundamental harus dipertimbangkan dalam menentukan penilaian dasar dan tujuan manajemen yaitu:
(a) Hak Asasi Manusia
Bahwa manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan (QS 17:70). Oleh karena itu semua kegiatan manusia haruslah dalam rangka memelihara nilai kemuliaannya itu. Manajemen harus bertolak dari prinsip memelihara nilai-nilai kemuliaan manusia, yang telah diberikan contoh oleh Allah . Nilai-nilai serta hakekat dari manusia tidak boleh dikurangi, atau diabaikan dalam pelaksanaan manajemen, karena semua yang ada di permukaan bumi ini disediakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Manusia tidak diperkenankan oleh Allah menyembah benda, betapapun pentingnya benda tersebut bagi manusia. Manusia juga tidak boleh menyembah seorang oknum, betapapun besarnya kekuasaan dan kekayaannya. Manusia hanya wajib menyembah Allah. Inilah hakikat hak asasi manusia yang harus dianut pula dalam manajemen.
(b) Hak dan kewajiban bekerja
Ajaran Islam tidak mengenal kelas dalam masyarakat yang membagi manusia menurut tingkat-tingkat yang dibuat oleh manusia itu sendiri, untuk menimbulkan tidak adanya persamaan (musawah) diantara manusia, seperti antara kelas bangsawan dan kelas kawula di masyarakat feodalistis ataupun kelas majikan dan buruh dalam masyarakat kapitalis dan komunis.
Ajaran Islam juga tidak mengenal adanya kelas manajer, karena adanya sekelompok orang yang berfungsi sebagai manajer hanya dapat dilihat dari pembagian kerja, atas dasar persetujuan bersama, atau atas dasar kemampuan manajerial semata. Disini Islam hanya mengenal konsep pembagian kerja yang didasarkan pada kemampuan fisik, ilmu dan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing manusia. Menurut Roger Garaudy, bekerja memainkan peranan pokok yang sangat penting sebagai dasar pemilihan hak bekerja di dalam Islam. Adanya jenjang-jenjang dalam organisasi kerja hendaknya semata-mata dimaksudkan agar setiap potensi, baik potensi fisik, ilmu dan teknologi dapat disinergikan, sebagaimana firman Allah :
” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. (QS 43: 32)
(c) Akhlaqul karimah
Ajaran Islam didasarkan dan ditujukan untuk membentuk akhlak yang luhur. Dengan akhlak yang luhur, manusia diharapkan melakukan perbuatan yang baik, indah, serasi dan harmonis. Dengan demikian, prinsip manajemen dan pelaksanaannya wajib dijiwai, dipimpin dan diarahkan untuk mencapai kebaikan (mashlahat), berdasarkan konsepsi dan norma-norma yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya.
Firman Allah :
“Berbuat baiklah kamu (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu membuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS 28: 77)
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS 5:2).
Konsepsi ajaran akhlak menuju perbuatan baik dan terpuji (amal shaleh), berfaedah dan indah, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah.
Konsep amal shaleh menjadi inti ajaran Islam yang harus diterapkan dan untuk melatar-belakangi manajemen, baik dalam konsepsi, struktur maupun operasinya.
3. Unsur-Unsur Manajemen
(a) Perencanaan.
Semua dasar dan tujuan manajemen seperti tersebut di atas haruslah terintegrasi, konsisten dan saling menunjang satu sama lain. Untuk menjaga konsistensi kearah pencapaian tujuan manajemen maka setiap usaha itu harus didahului oleh proses perencanaan yang baik. Allah berfirman :
” Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan rencanakanlah masa depanmu. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu atas apa-apa yang kalian perbuat” (QS 59:18)
Suatu perencanaan yang baik dilakukan melalui berbagai proses kegiatan yang meliputi forecasting, objective, policies, programes, procedures dan budget.
a. Forecasting
Forecasting adalah suatu peramalan usaha yang sistematis, yang paling mungkin memperoleh sesuatu di masa yang akan datang, dengan dasar penaksiran dan menggunakan perhitungan yang rasional atas fakta yang ada. Fungsi perkiraan adalah untuk memberi informasi sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Bagi manajer yang telah berpengalaman tidak jarang terjadi perkiraan itu dilakukan berdasarkan intuisi, atau firasat. Hal ini juga dapat bersumber dari taufiq dan hidayah Allah bagi mereka yang dikehendakiNya. Oleh karena itu adalah merupakan suatu kebiasaan yang baik bagi setiap muslim, dalam menghadapi suatu persoalan yang musykil, meminta petunjuk dari Allah, dengan cara shalat istikharah, untuk mendapatkan petunjuk dan hidayahNya, dalam mengambil keputusan atau merencanakan sesuatu. Kebiasaan demikian akan membawa kepada sikap taqarrub kepada Allah, dan membiasakan diri untuk tidak mengambil tindakan yang gegabah dalam segala hal.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh manajemen bank adalah melakukan peramalan usaha dengan melihat kondisi internal dan eksternal dalam rangka perumusan kebijakan dasar. Kondisi internal meliputi potensi dan fasilitas yang tersedia, distribusi aktiva, posisi dana-dana, pendapatan dan biaya. Sedangkan kondisi eksternal meliputi menelaahan situasi moneter, lokal dan internasional, peraturan-peraturan, situasi dan kondisi perda-gangan, nasional dan internasional .
b. Objective
Objective atau tujuan adalah nilai yang akan dicapai atau diinginkan oleh seseorang atau Badan Usaha. Untuk mencapai tujuan itu dia bersedia memberi pengorbanan atau usaha yang wajar agar nilai-nilai itu terjangkau.
Tujuan suatu organisasi harus dirumuskan dengan jelas, realistis dan dapat diketahui oleh semua orang yang terlibat dalam organisasi, agar mereka dapat berpartisipasi dengan penuh kesadaraan.
Tujuan manajemen bank syariah tidak saja meningkatkan kesejahteraan bagi para stake holders, tetapi juga harus mempromosikan dan mengembangan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya kedalam bisnis keuangan dan bisnis lainnya yang terkait. Oleh karena itu aktivitas perencanaan tujuan masa depan harus dilakukan dengan baik, teliti, lengkap dan rinci, dan perumusan kebijakan itu haruslah disusun bersama oleh direksi bersama-sama dengan dewan komisaris dan dewan pengawas syariah, dan perencanaan operasional harus disusun bersama dengan para pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional. Islam menganjurkan melakukan musyawarah, dan bukan one man show . Sebagaimana Allah berfirman :
” Maka dikarenakan karunia dari Allah engkau bersikap lemah lembut kepada mereka. Kalau engkau bersikap kasar dan berhati keras maka mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu maafkanlah mereka dan mintalah ampunan untuk mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam setiap urusan kalian. Maka jika kamu sudah bertekad (mengambil keputusan) bulat, maka berserah dirilah kepada Allah, Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang bertawakkkal. (QS 3 : 159).
Kita diperintah oleh Allah untuk memusyawarahkan dan memutuskan sesuatu yang bermanfaat, bukan keputusan yang sekedar coba-coba dan salah (try and error) kemudian mencoba lagi sampai menemukan sesuatu yang fixed. Hal itu membuang energy dan waktu . Pada surah An Nahl Allah berfirman :
” Dan janganlah kalian seperti perempuan tua yang merombak kembali tenunannya setelah jadi. Kalian menjadikan sumpah-sumpah kalian sebagai tipu daya agar kalian menjadi ummat yang lebih besar dari ummat lainnya (merebut massa dengan segala cara). Sesungguhnya Allah menguji kalian dengan persoalan itu dan pasti akan dijelaskanNya pada hari kiamat apa-apa yang mereka perselisihkan” (QS 16:96).
Jadi yang dimaksudkan adalah agar kita menyusun perencanaan tujuan secara profesional, tidak sekedar coba-coba.
c. Policies
Policies dapat berarti rencana kegiatan (plan of action) atau juga dapat diartikan sebagai suatu pedoman pokok (guiding principles) yang diadakan oleh suatu Badan Usaha untuk menentukan kegiatan yang berulang-ulang.
Suatu policies dapat dikenal dengan dua macam sifat, yaitu pertama merupakan prinsip-prinsip dan kedua sebagai aturan untuk kegiatan-kegiatan (rules of actions). Oleh karena itu policies merupakan prinsip yang menjadi aturan dalam kegiatan yang terus-menerus, setidak-tidaknya selama jangka waktu pelaksanaan rencana suatu organisasi.
Keputusan mengenai suatu policies ditentukan oleh top manajemen atau chief excecutive officer atau Board of Directors dari suatu Badan Usaha. Para manajer bertanggung jawab (accountable) untuk menafsirkan, menjelaskan dan menjamin pelaksanaan policies tersebut.
Suatu policies haruslah merupakan suatu pernyataan positif (positive declaration) dan merupakan perintah yang harus dipatuhi (imperative) oleh seluruh jajaran di dalam organisasi secara vertikal ke bawah.
Bidang kegiatan bank yang perlu dirumuskan dalam wujud kebijakan dasar (basic policies) umumnya meliputi bidang penting bagi aktivitas bank, yaitu sebagai berikut:
i. Tipe nasabah yang dilayani
Bank harus menetapkan tipe nasabah yang menjadi sasaran bagi pemasaran produknya. Melalui berbagai pertimbangan, bank dapat memutuskan untuk hanya melayani usaha kecil dan menengah saja, sedangkan usaha besar tidak. Dengan pertimbangaannya sendiri bank lain juga dapat memutuskan untuk melayani semua jenis nasabah, baik usaha besar, usaha menengah, usaha kecil maupun perorangan.
ii. Jenis layanan yang disediakan bagi nasabah
Jenis layanan yang disediakan oleh bank biasanya berkaitan erat dengan tipe nasabah yang ingin dilayani. Jenis nasabah tertentu cukup dilayani melalui beberapa produk seperti tabungan, pinjaman, transfer dan inkaso, tetapi nasabah lain memerlukan jasa yang lebih terkait dengan informasi dan pelayanan bisnis perusahaan seperti trust and corporate services. Ada juga bank yang memutuskan untuk melayani kebutuhan kelancaran urusan rumah-tangga nasabah seperti pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak, servis mobil dan lain sebagainya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan bank, apakah akan menyadiakan semua jenis layanan perbankan (universal banking) ataukah hanya menekankan pada atau memberikan perhatian yang besar pada penyediaan jenis layanan tertentu saja, bukan hanya tergantung pada kesempatan meraih potensi pasar yang mereka hadapi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, seperti permodalan, kemampuan organisasi dan sumber daya manusia, kemampuan teknologi dan sebagainya.
iii. Daerah atau wilayah pelayanan
Pertimbangan wilayah pelayanan berkaitan dengan perencanaan jaringan kerja, pembukaan kantor-kantor cabang dan besar kecilnya kantor-kantor cabang tersebut. Sentra-sentra ekonomi harus ditelaah terlebih dahulu, yaitu seperti pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan kebijakan desentralisasi manajemen dan pendelegasian wewenang.
iv. Sistem penyampaian (delivery system) produk & jasa bank
Kebijakan ini berkaitan dengan pola perluasan jangkauan pemasaran dan penyampaian produk dan jasa bank. Sebagian bank mengutamakan penggunaan jaringan organik yang dimilikinya sendiri seperti kantor cabang, kantor kas dsb. Sebagian bank lain memilih melakukan outsourcing dengan mempergunakan agen-agen sebagai remarketer.
v. Distribusi aktiva produktif
Dalam menerapkan distribusi aktiva produktif perlu disusun kebijakan alokasi dana, baik menurut sektor ekonomi, sektor industri maupun daerah atau wilayah pemasaran. Misalnya sekian persen untuk pembiayaan sektor industri manufaktur, sekian persen untuk perdagangan, sekian persen untuk riil estat, sekian persen untuk investasi dan penyertaan. Demikian juga ratio antara pembiayaan dan sumber-sumber daya, dengan memperhatikan penyebaran sumber daya (speading resources) dan penyebaran resiko (spreading risk).
vi. Preferensi likuiditas
Hal ini adalah suatu yang sangat penting, kerena erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat kelanggengan bank. Sumber-sumber dana inti (core funds) yang stabil memberikan pengaruh yang kuat pada kemampuan likuiditas bank.
vii. Persaingan
Kebanyakan bank sangat peka dan berlaku kompetitif dalam merebut hati para nasabah. Ketepatan dan kecepatan pelayanan dengan biaya yang relatif murah adalah dambaan nasabah. Karena itu bank harus tanggap dan berupaya menciptakan suasana fanatisme nasabah melalui pelayanan prima agar mampu bersaing dengan baik. Allah berfirman : ” Dan bagi tiap-tiap sesuatu mempunyai sasaran (tujuan) yang dihadapinya. Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan di mana saja kalian berada. Pasti Allah akan mengumpulkan kalian semuanya. Sesungguhnya Allah itu berkuasa atas segala sesuatu” (QS 2 : 148).
viii. Pengembangan dan pelatihan staf
Pengembangan dan pelatihan staf haruslah merupakan kebijakan utama manajemen bank. Allah menyuruh Nabi untuk memperbaiki kondisi dan skill ummat dengan cara memberikan kepada mereka latihan-latihan atau training. Untuk menambah keimanan dan keyakinan merekapun memerlukan training. Hal ini dapat kita jumpai antara lain dalam Surah Al Anfal (8): 65 dan Surah At Taubah (9): 33 sebagai berikut :
” Wahai Nabi, timbulkan hasrat orang beriman sampai mereka mampu sekalipun untuk berperang. Dan sekiranya kalian berjumlah dua puluh orang akan mampu mengalahkan dua ratus orang, dan sekiranya kalian berjumlah dua ratus orang akan mampu mengalahkan seribu orang dari orang-orang kafir, disebabkan karena orang-orang kafir itu tidak memahami” (QS 8 : 65)
“Dialah Allah yang mengutus RasulNya dengan membawa al huda (al qur’an) dan pola hidup yang haq agar dienul islam tadi berada di atas pola-pola hidup lainnya. Sekalipun orang musyrik tidak senang” (QS 9 : 33).
Hidup adalah suatu medan perjuangan. Hidup ini penuh tantangan, bahkan Jepang dan Cina telah menjadikan teori perang Tzun Tzu, seorang ahli strategi Cina sekitar 500 SM sebagai teori perdagangan. Mereka menyimpulkan business is war. Dengan begitu kita dapat mengerti bahwa persaingan bisnis itu akan lebih menjurus kepada sadistis karena bisnis sudah dianggap perang, teori-teori perang sudah dimasukkan ke dalam teori bisnis. Dengan demikian maka training and development harus lebih ditingkatkan lagi, bagi peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
Bank Indonesia sangat menekankan hal ini secara eksplisit dalam Petunjuk Pelaksanan Pembukaan Kantor bank Syariah . Sebagai lembaga yang knowledge intentive, maka ketrampilan dan keahlian staf menjadi kunci keberhasilan bank. Selain itu, Sumber Daya Insani bank syariah dituntut memiliki pengetahuan mengenai ketentuan dan prinsip syariah secara baik, dan memiliki akhlak dan moral Islami. Akhlak dan moral Islami dalam bekerja dapat disarikan dalam empat ciri pokok, yaitu : (1) Shiddiq (benar dan jujur), (2) Amanah (dapat dipercaya), (3) tabligh (mengembangkan lingkungan dan bawahan menuju kebaikan) dan (4) Fathonah (kompeten dan profesional).
Oleh karena itu kebijakan pengembangan sumber daya insani harus disusun dan dirumuskan dengan jelas dan mudah difahami oleh semua lapisan karyawan.
i. Programmes
Programmes adalah sederetan kegiatan yang digambarkan untuk melaksanakan policies. Program itu merupakan rencana kegiatan yang dinamis yang biasanya dilaksanakan secara bertahap, dan terikat dengan ruang (place) dan waktu (time).
Program itu harus merupakan suatu kesatuan yang terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan tujuan yang telah ditentukan dalam organisasi (closely integrated).
j. Schedules
Schedules adalah pembagian program yang harus diselesaikan menurut urut-urutan waktu tertentu. Dalam keadaan terpaksa schedules dapat berubah, tetapi program dan tujuan tidak berubah.
k. Procedures
Prosedur adalah suatu gambaran sifat atau metode untuk melaksanakan suatu kegiatan atau pekerjaan. Perbedaannya dengan program adalah program menyatakan apa yang harus dikerjakan, sedangkan prosedur berbicara tentang bagaimana melaksanakannya.
l. Budget
Budget adalah suatu taksiran atau perkiraan biaya yang harus dikeluarkan dan pendapatan yang diharapkan diperoleh di masa yang akan datang. Dengan demikian, budget dinyatakan dalam waktu, uang, material dan unit-unit yang malaksanakan pekerjaan guna memperoleh hasil yang diharapkan.
(b) Pengorganisasian.
” Allah membuat syariat dari dien, yakni apa yang Kami wasiatkan kepada Nuh, Muhammad, Ibrahim, Musa dan Isa bahwa hendaklah kalian menegakkan dien dan janganlah berpecah-belah padanya. Memang berat bagi orang musyrik apabila kalian mengajaknya ke jalan menuju kebaikan. Allah memilih siapa-siapa yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa-siapa yang ingin kembali ke jalan Allah” (QS 42 : 13).
Dienul Islam adalah suatu sistem yang lengkap dalam kehidupan untuk mengelola manusia dan alam semesta sesuai dengan kehendak Allah. Kalimat : “menegakkan dien” dalam ayat tersebut diatas berarti mengatur kehidupan ini agar rapi dan kalimat : “janganlah berpecah belah” berarti kita diperintahkan untuk mengorganisasikan kehidupan kita dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatur kehidupan tersebut manusia dibekali dengan pedoman konseptual yang disebut al haq seperti firman Allah:
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu berfungsi sebagai khalifah di muka bumi. Maka tegakkanlah hukum di antara manusia dengan al haq dan janganlah kamu mengikuti al hawa. Maka kalau kamu mengikuti al hawa tadi kamu akan disesatkan dari jalan Allah, bagi mereka itu seksa yang keras, dikarenakan mereka lupa akan hari perhitungan (QS 38 : 26).
Nabi Daud diperintah oleh Allah agar menegakkan hukum dengan al haq. Al haq itu datang dari Allah maka janganlah kalian menjadi orang-orang yang ragu-ragu (QS 2 : 147). Maka tegakkanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti al hawa mereka. (QS 5 : 48).
Pengorganisasian atau Perencanaan dan pengembangan orgaisasi adalah meliputi pembagian kerja yang logis, penetapan garis tanggung jawab dan wewenang yang jelas, pengukuran pelaksanaan dan prestasi yang dicapai.
” Dialah Allah yang menjadikan kalian berfungsi sebagai khalifah di muka bumi dan mengangkat sebagian kalian di atas sebagian lainnya beberapa derajat. Agar diuji kalian atas apa-apa yang diberikan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Tuhanmu cepat sekali siksanya dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS 6 : 165).
Dari ayat-ayat di atas, kita dapat melihat adanya kalimat : “mengangkat sebagian kalian di atas sebagian lainnya beberapa derajat” sebagai pedoman struktural, kalimat : “Agar Dia Allah menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian (sebagai jabatan)” sebagai pedoman fungsional, kalimat :”Sesungguhnya Tuhan kamu cepat sekali siksanya (kalau engkau menyalah-gunakan jabatan)” merupakan pedoman tanggung jawab dan sanksi. Sedangkan kalimat di akhir ayat: “Dan sesungguhnya Dia Alllah itu benar-benar Pengampun dan Penyayang ” adalah sifat kebijaksanaan Allah yang sebaiknya diteladani oleh setiap manajer.
Apa saja jabatan yang disandang seseorang merupakan amanat, maka jabatan yang dipegang seseorang merupakan ujian baginya. Kalau ia menyalah gunakan jabatan tadi, sesungguhnya siksa Allah sangat cepat. Sedang bagi mereka yang bersalah dalam melaksanakan tugas jabataannya, tanpa disengaja, maka Allah itu maha pengampun lagi penyayang .
Struktur Organsiasi
Disamping Dewan Komisaris dan Direksi, Bank Umum Syariah dan BPRS wajib memiliki Dewan pengawas syariah (DPS) yang ditempatkan di kantor pusat bank tersebut. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) . Oleh karena itu struktur organisasi bank perlu disesuaikan.
Sementara itu bagi bank umum konvensional yang membuka kantor cabang syariah, selain wajib memiliki DPS juga diwajibkan membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). UUS merupakan satuan kerja di kantor pusat bank umum yang berfungsi sebagai kantor induk bagi kantor-kantor cabang syariah. Karena BPR konvensional tidak diperkenankan untuk memiliki kantor cabang syariah, maka UUS tidak dikebal pada BPR.
Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah nasional (DSN) pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum bidang perbankan. Persyaratan anggota DPS ditetapkan
oleh DSN.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah.
Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi :
(1) sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
(2) Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
(3) Sebagaii perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiattan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurrangnya satu kali dalam setahun. Bank yang akan membentuk DPS dalam rangka perubahan kegiatan usaha atau membuka kantor cabang syariah untuk pertama kalinya dapat menyampaikan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN.
Dewan Syariah Nasional.
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan niilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana.
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun. DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Disamping itu DSN juga mempunyai kewenangan untuk :
(1) memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada satu lembaga keuangan syariah.
(2) Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum fihak terkait.
(3) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi kettentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM.
(4) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
(5) Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Unit Usaha Syariah.
Kantor-kantor cabang dari bank umum konvensional pada dasarnya merupakan unit yang mempunyai karaktteristik kegiatan usaha yang berbeda, serta mempunyai pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu unit kerja khusus yang disebut Unit Usaha Syariah (UUS) yang berfungsi sebagai kantor induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut berada di kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang anggota direksi atau pejabat satu tingkat di bawah direksi. Secara umum tugas UUS mencakup :
(1) mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah.
(2) Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber dari kantor-kantor cabang syariah.
(3) Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantor-kantor cabang syariah.
(4) Melaksanakan tugas penata-usahaan laporan keuangan kantor-kantor cabang syariah.
Perencanaan organisasi.
Perencanaan organisasi bank adalah pengelompokan yang logis dari kegiatan-kegiatan bank, menurut hasil yang ingin dicapai yang menunjukkan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang atas suatu tindakan. Misalnya seseorang yang memberikan pembiayaan harus bertangung-jawab untuk menagih untuk menyelesaikannya, karena pemberian pembiayaan itu bukanlah tujuan. Prinsip ini berlaku untuk seluruh level pada organisasi bank. Tugas, wewenang dan tanggung jawab setiap posisi dalam organisasi harus dirumuskan dengan jelas, sehingga tanggung jawab (accountability) untuk hasil akhirnya dapat diukur dengan mudah. Namun demikian pengelompokan fungsi-fungsi itu harus ditetapkan secara hati-hati, karena pengelompokan yang terlalu ketat juga mengandung kelemahan, misalnya kebutuhan tenaga manajerial yang berlebihan, masalah komunikasi internal dan sebagainya. Disamping itu organisasi bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, yang selalu dan selamanya tepat dan benar, karena akan selalu dipengaruhi oleh tempat, waktu, tujuan, manusia serta teknologi pendukungnya. Oleh karenanya organisasi haruslah fleksible, agar selalu dapat menyesuaikan diri dengan variable-variable tersebut.
Struktur organisasi tergantung pada besar-kecilnya bank (bank size), keragaman layanan yang ditawarkan, keahlian personilnya dan peraturan-peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tidak ada acuan baku bagi penyusunan struktur organisasi bagi bank dalam segala situasi kebutuhan operasinya. Bank mengorganisasikan fungsi-fungsinya untuk melayani nasabahnya atau menempatkan karyawan yang ada atau karyawan baru sesuai dengan bakat dan kemampuannyanya. Struktur organisasi setiap bank berikut tanggung jawab dan wewenang para pejabatnya bervariasi satu sama lain. Oleh karena itu struktur organisasi mencerminkan pandangan manajemen tentang cara yang paling efektive untuk mengoperasikan bank.
Beberapa pendekatan yang lazim dalam menetapkan organisasi bank adalah sebagai berikut :
· Pendekatan fungsional
Pendekatan tradisional dalam menyusun organisasi bank adalah melalui pengintergrasian fungsi-fungsi. Biasanya fungsi-fungsi itu ditetapkan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang tergambar dalam neraca, seperti pembiayaan, investasi, kas, penerimaan dana-dana. Pada bank dengan layanan tradisional, struktur organisasinya terbagi dalam tiga fungsi dasar yaitu (1) fungsi pembiayaan, (2) fungsi operasi dan (3) fungsi investasi. (lebih lengkap, download artikel)
Sejalan dengan perkembangannya fungsi-sungsi tersebut dapat dibagi-bagi lagi dalam beberapa kegiatan. Dalam perbankan syariah, fungsi pembiayaan dapat dibagi dalam pembiayaan piutang (debt financing) berdasarkan prinsip jual-beli (murabahah, salam atau istishna), atau sewa-beli (ijarah), pembiayaan modal (equity financing) berdasarkan prinsip mudharabah (trustee financing) atau musyarakah (jount venture profit sharing). Fungsi operasi dapat dibagi dalam tellers, pembukaan rekening (opening new account), penerimaan simpanan (deposit), pemrosesan simpanan (deposit) dan layanan yang berkaitan dengan simpanan (deposit related services) seperti pemindah - bukuan, pengiriman uang (money transfer), inkaso (collections), pembayaran tagihan (bill paying) dan lain, komputer service dan akuntansi, personalia dan sundries.
Pada bank kecil biasanya Direktur Utama menangani portfolio investasi, sedangkan cash management ditangani oleh Direktur Operasi, karena berhubungan dengan pemeliharaan cadangan wajib (primary reserve). Pada bank yang lebih besar pengelolaan portfolio investasi (secondary reserve) dan pengelolaan kas (primary reserve) dikombinasikan dan dipusatkan dalam satu fungsi, karena biasanya fluktuasi dana-dana lebih tinggi dari pada bank yang lebih kecil.
· Pendekatan Pasar
Perbankan telah mengembangkan berbagai produk yang merupakan kombinasi dari beberapa kegiatan dasar dalam satu paket, untuk memperooleh keuntungan dan pendapatan fee. Produk dasar dari bank meliputi:
- produk-produk pembiayaan (financing),
- produk-produk operasional yaitu produk dana dan pemindahan dana (deposit related services) serta layanan lain (non deposit functions) seperti safekeeping dan data processing
- produk-produk investasi (sertifikat pasar uang, wali amanat)
Produk-produk itu menghasilkan penciptaan paket-paket produk termasuk paket-paket layanan yang berkaitan dengan jasa keuangan (interrelated financial services) untuk menarik para investor.
Dewasa ini kecenderungan yang ada di dalam organisasi bank adalah suatu konsep hubungan perbankan (relationship banking). Konsep ini mengkaitkan usaha penawaran paket jasa-jasa yang dipakai oleh tipe nasabah tertentu ke dalam struktur organisasi bank yang dingggap merupakan cara terbaik untuk penyampaian peket-paket layanan perbankan. Ada tiga kelompok besar dari nasabah, yaitu retail, wholesale, dan trust. Perbankan retail didifinisikan sebagai pasar nasabah yang terdiri dari para konsumer. Perbankan wholesale meliputi corporate, institutional (correspondent banking) dan lembaga-lembaga pemerintah. Bukan hanya nasabah konsumer dan korporat yang memerlukan layanan perbankan. Bank juga memerlukan layanan perbankan. Bank kecil biasanya hanya sebagai renpondent sedang bank besar bertindak sebagai correspondent bank. Tabel dibawah ini adalah contoh identifikasi produk dan jasa-jasa perbankan yang ditawarkan secara terintegrasi kepada masing-masing tipe nasabah (lebih lengkap, download artikel).
· Fungsi Staf
Bagan struktur organisasi seperti digambarkan di atas adalah organisasi lini (line function organization). Sebagaimana diuraikan dalam awal bab ini, prinsip musyawarah sangat dianjurkan dalam organisasi yang berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu di dalam proses perumusan kebijakan, pengambilan keputusan perlu dilakukan secara musyawarah. Untuk keperluan tersebut, disamping organisasi lini seperti digambarkan diatas dapat dibentuk wadah yang menjalankan fungsi staf. Biasanya dalam organiasi bank juga terdapat beberapa komite, seperti komite anggaran (budget committee), komite kebijakan pembiayaan (committee of financing policy), Komite pemutus pembiayaan (financing committee), komite aset & liabilitas atau Assets & liability committee (ALCO), komite personalia (personnel committee) dan lain-lain. Komite-komite tersebut biasanya beranggotakan para officer senior dari berbagai bidang dipimpin oleh direksi. Apabila keputusan telah diambil, maka adalah menjadi tugas dan tanggung jawab pejabat lini untuk melaksanakan keputusan-keputusan itu sebagaimana mestinya.
· Struktur Personalia
Struktur organisasi bank melibatkan berbagai tingkat wewenang dan tanggung jawab. Bank harus mempunyai Pengurus (board of Directors) dan manajemen. Bank juga membentuk beberapa komite yang terdiri dari para anggota direksi dan para personil yang terkait dalam tingkat manajemen.
Badan hukum bank-bank di Indonesia dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi. Sebagaimana telah digambarkan di atas, kekuasaan tertinggi dari organisasi berada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perseroan Terbatas, atau Rapat Anggota (RAT) pada Koperasi. Untuk melaksanakan kekuasaan organisasi, RUPS atau RAT membentuk Dewan Komisaris dan Direksi (pada PT) atau Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus (pada koperasi). Disamping pada Bank Syariah, wajib pula dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Bank adalah badan usaha yang sangat diatur keberadaan dan aktivitasnya oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (highly regulated). Sebelum diputuskan oleh RUPS atau RAT para calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia selaku bank sentral setelah melalui proses penelitian integritas dan kompetensi (fit and propre test). Sedang para calon anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
(c) Pengawasan
Kelancaran operasi bank adalah kepentingan utama bagi manajemen puncak (top management). Melalui pengawasan para manajer dapat memastikan tercapai atau tidaknya harapan mereka. Pengawasan juga dapat membantu mereka mengambil keputusan yang lebih baik.
Kata pengawasan dipakai sebagai arti harfiah dari kata controling. Dengan demikian pengertian pengawasan meliputi segala kegiatan penelitian, pengamatan dan pengukuran terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan, penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta, melakukan tindakan koreksi penyimpangan, dan perbandingan antara hasil (output) yang dicapai dengan masukan (input) yang digunakan.
Proses pengawasan
Dari pengertian di atas maka menurut prosesnya, pengawasan meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut :
a. Menentukan standar sebagai ukuran pengawasan.
b. Pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.
c. Penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta.
d. Melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
e. Perbandingan hasil akhir (outout) dengan masukan (input) yang digunakan.
a. Menentukan standar.
Dalam kegiatan pengawasan, yang pertama kali harus dilakukan adalah menentukan standar yang menjadi ukuran dan pola untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan produk yang dihasilkan. Standar itu harus jelas, wajar, obyektif sesuai dengan keadaan dan sumber daya yang tersedia.
Setiap bank mungkin mempunyai sistim pengawan yang berbeda-beda. Namun demikian harus tetap dapat diidentifikasikan adanya unsur-unsur pengawasan yang lazim terdapat pada semua sistem yang baik.
- Standar hendaklah merupakan prestasi yang dapat diukur, baik bersifat keuangan maupun noon keuangan, misalnya standar perputaran pegawa (labour turnover).
- Prestasi yang dicapai hendaklah diibandingkan dengan standar.
Misalnya, Jika standar biaya telepon telah ditetapkan ditetapkan, maka realisasi biaya telepon harus dibandingkan dengan standar biaya itu. Kemudian dianalisis untuk menjelaskan deviasinya dengan standar.
- Deviasi antara prestasi yang terjadi dengan standar prestasi yang ditetapkan harus merupakan isyarat akan perlunya koreksi atau perbaikan guna mencegah terjadinya deviasi yang lebih besar di kemudian hari.
- Standar itu sendiri harus pula dievaluasi secara berkala untuk memungkinkan perbaikannya. Jika perlu dengan membuat standar-standar baru bagi unsur-unsur relevan bagi manajemen, yang sebelumnya tidak diukur.
Standar-standar itu dapat ditetapkan dengan menggunakan dua cara yaitu didasarkan pada data periode sebelumnya atau didasarkan atas tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk keperluan analisis standar-standar itu dapat ditetapkan dengan menggunakan ratio-ratio. Misalnya trend hubungan antara penghasilan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Hal ini lebih bermakna dari pada masing-masing item itu diukur secara sendiri-sendiri. Misalnya kerugian investasi meningkat secara absolut, tetapi bila dibandingkan dengan meningkatnya volume investasi rationya lebih kecil. Maka dapat dikattakan bahwa ratio kerugian itu membaik. Contoh lain adalah market share (porsi pasar). Boleh jadi perkembangan dana bank secara absolut meningkat. Tetapi bila dibandingkan dengan perkembangan dana-dana perbankan secara keseluruhan ternyata share nya menurun. Ini dapat berarti bahwa daya saing bank itu menurun.
b. Pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi.
Pelaksanaan kegiatan operasional harus selalu diawasi dengan cermat. Untuk keperluan tersebut harus pula dibuat catatan (record) sebagai laporan perkembangan proses manajemen. Berdasarkan catatan itu hendaknya dilakukan pengukuran prestasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil evaluasi itu dijadikan bahan laporan untuk dievaluasi lebih lanjut.
c. Penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta.
Prestasi pekerjaan harus diberikan penilaian dengan memberikan penafsiran, apakah sesuai dengan standar, sejauh mana terdapat penyimpangan dan apa saja faktor-faktor penyebabnya.
d. Tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
Tindakan koreksi, selain untuk mengetahui adanya kesalahan, juga menerangkan apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dan memberikan cara bagaimana memperbaikinya agar kembali kepada standar dan rencana yang seharusnya.
Tindakan koreksi sangat perlu dan harus dilakukan, agar jangan berlarut-larut, karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
e. Perbandingan hasil (output) dengan masukan (input).
Setelah proses pelaksanaan pekerjaan selesai segera diberikan pengukuran dengan membandingkan hasil yang diperoleh dengan sumber daya digunakan serta standar yang ditetapkan. Hasil pengukuran ini akan memperlihatkan tingkat efisiensi kerja dan produktifitas sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai :
- standar dari harga pokok untuk menentukan harga jual (pricing)
- menentukan tinggi-rendahnya efisiensi
- sebagai bahan ukuran bagi penyusunan rencana yang baru.
Sistem Informasi Manajmen.
Laporan-laporan yang dihasilkan dari proses pengawasan itu harus disusun dalam suatu format yang sistematis, agar dapat dengan segera dan mudah digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan secara cepat dan tepat.
Kemajuan teknologi informasi telah memungkinkan sistem informasi manajemen memiliki kesanggupan memberikan berbagai jenis informasi dengan cepat dan akurat serta memberikan fleksibilitas dalam cara penyajiannya. Melalui laporan ini para manajer dapat memperoleh informasi atau data yang tidak termuat dalam laporan reguler, yang dibutuhkan untuk menghadapi keadaan tertentu.
Program Audit Internal.
Pada dasarnya para manajer puncak (top management) merupakan pengawas tertinggi bagi seluruh bawahannya. Untuk memudahkan pelaksanaan fungsi pengawasan ini setiap organisasi perusahaan besar selalu mengadakan suatu badan khusus (special staff) dengan program audit internal yang oleh Bank Indonesia disebut SKAI (Satuan Kerja Audit Internal).
Unsur dasar dari program audit internal adalah meliputi verifikasi aktiva dan pasiva, memastikan keseksamaan ayat-ayat penghasilan dan biaya, memastikan kebenaran pelaksanaan prosedur bank yang telah ditetapkan dan memberikan saran-saran perbaikan cara-cara pelaksanaan operasional.
Program audit internal ini harus terus berlanjut, artinya harus dilakukan secara terus-menerus. Pada dasarnya audit internal melakukan dua pola pemeriksaan yaitu pemeriksaan pasif melalui pemantauan laporan-laporan yang ada dan pemeriksaan aktif melalui penyelenggaraan kegiatan audit di tempat (on the spot) bagian-bagian tertentu dari bank tersebut.
Tanggung jawab internal audit adalah besar, untuk memberikan keyakinan kepada para nasabah, tentang kebijakan proteksi kepentingan mereka. Program audit internal yang ketat merupakan salah satu alat utama untuk memberikan keyakinan ini.
Peraturan Bank Indonesia dewasa ini telah mengarah kepada pelaksanaan pola multi leyer control. Setiap bank harus memiliki seorang direktur kepatuhan (complience director) yang bertugas memastikan bahwa segala keputusan dan tindakan manajemen tidak melanggar ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penunjukan Kepala SKAI oleh direksi harus disetujui oleh Dewan Audit yang dibentuk oleh Dewan Komisaris bank. Demikian pula rencana kerja tahunan SKAI harus pula mendapat persetujuan dari Dewan Audit. Tugas Dewan Audit adalah memastikan bahwa mekanisme pengawasan internal bank berjalan dengan baik.
Sebagai pedoman operasional dan alat pengawasan, bank dan kantor cabang syariah wajib memiliki buku-buku pedoman kerja mengenai kegiatan operasional bank syariah, yang antara lain berupa :
(1) Buku pedoman pengimpunan dana;
(2) Buku pedoman pembiayaan;
(3) Buku pedoman pengelolaan dana
(4) Buku pedoman kegiatan jasa perbankan lainnya;
(5) Buku pedoman standar perhitungan bagi hasil;
(6) Buku pedoman sistim kas/teller;
(7) Buku podoman lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Buku-buku pedoman tersebut memuat hal-hal mengenai prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, organisasi dan manajemen masing-masing kegiatan usaha, prosedur kerja, administrasi dan dokumentasi, serta pengawasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.
Perbuatan manusia menurut pendekatan syariah dapat berbentuk perbuatan ibadah dan dapat berbentuk perbuatan mu’amalah. Suatu perbuatan ibadah pada asalnya tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil atau ketentuan yang terdapat dalam Al Qur’an dan/atau Al Hadits, yang menyatakan bahwa perbuatan itu harus atau boleh dilakukan. Sedang dalam mu’amalah pada asalnya semua perbuatan boleh dilakukan kecuali ada ketentuan dalam Al Qur’an dan/atau Al Hadits yang melarangnya.
Perbuatan ibadah adalah yang dinyatakan oleh Al Qur’an dan Al Hadits tentang cara-cara beribadah seperti shalat, puasa, ibadah haji dan lain-lain. Baik tata caranya, waktunya, dan tempatnya dengan tegas dan jelas telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan/atau Al Hadits. Tidak boleh ditambah, dikurangi atau diubah.
Sedangkan perbuatan mu’amalah adalah semua perbuatan yang bersifat duniawi yang asalnya adalah mubah, yaitu boleh dan dapat dilakukan dengan bebas, sepanjang tidak ada larangan di dalam al Qur’an dan / atau Hadits, dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan akhlak. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda :
“Kamu lebih mengetahui tentang urusan-urusan duniamu” (HR Muslim).
Menurut kaidah Ushul Fiqh, suatu perbuatan yang mubah bisa menjadi perbuatan wajib jika tanpa perbuatan itu perbuatan wajib menjadi terhalang. Dengan kata lain, jika suatu perbuatan wajib menjadi tidak sempurna tanpa adanya perbuatan lain, maka perbuatan lain itu menjadi wajib.
Islam mewajibkan para penguasa dan para pengusaha untuk berbuat adil, jujur dan amanah demi terciptanya kebahagiaan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosioekonomi, dan pemenuhan kebutuhan spiritual ummat manusia. Ummat manusia yang mmemiliki kedudukan yang sama di sisi Allah sebagai khalifah dan sekaligus sebagai hamba Nya tidak akan dapat merasakan kebahagiaan dan ketenangan batin kecuali bila kebutuhan-kebutuhan materiil dan spirituil telah dipenuhi.
Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki.
Dengan sangat bijaksana Imam Ghazali meletakkan iman pada urutan pertama dalam daftar tujuan (maqashid) syariat itu, karena dalam perspektif Islam, iman adalah isi yang sangat penting bagi kebahagiaan manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan-hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, yang memungkinkan manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama. Iman juga memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan distribusi sumber-sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan ekonomi, disamping menyediakan pula suatu sistim pendorong untuk mencapai sasaran seperti pemenuhan kebutuhan serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Tanpa menyuntikkan dimensi keimanan ke dalam semua keputusan yang dibuat oleh manusia, baik itu dalam rumah tangga, direksi perusahaan, pasar atau politbiro, maka tidaklah mungkin diwujudkan efisiensi dan pemerataan dalam alokasi dan distribusi sumber daya untuk mengurangi ketidak-simbangan makro ekonomi dan ketidak-stabilan ekonomi atau memberantas kejahatan, keresahan, ketegangan dan berbagai simptom penyakit anomie.
Imam Ghazali meletakkan harta-benda dalam urutan terakhir karena harta bukanlah tujuan itu sendiri. Ia hanyalah suatu alat perantara, meskipun sangat penting, untuk merealisasikan kebahagiaan manusia. Harta-benda tidak dapat mengantarkan tujuan ini, kecuali bila dialokasikan dan didistribusikan secara merata. Hal ini menuntut penyertaan kriteria moral tertentu dalam menikmati harta-benda, operasi pasar dan politbiro. Apabila harta-benda menjadi tujuan itu sendiri, maka akan mengakibatkan ketidak-merataan, ketidak seimbangan dan perusakan lingkungan yang pada akhirnya akan mengurangi kebahagiaan anggota masyarakat di masa sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Tiga tujuan yang berada di tengah, yaitu kehidupan, akal dan keturunan, berhubungan dengan manusia itu sendiri dan kebahagiaannya menjadi tujuan utama syariah. Komitmen moral bagi perlindungan tiga tujuan itu melalui alokasi dan distribusi sumber daya tidak mungkin berasal dari sistim harga dan pasar dalam suatu lingkungan sekuler. Justru kehidupan, akal dan keturunan ummat manusia seluruhnya itulah yang harus dilindungi dan diperkaya, bukan hanya mereka yang sudah kaya dan kelas tinggi saja. Segala sesuatu yang diperlukan untuk memperkaya tiga tujuan ini bagi semua ummat manusia harus dianggap sebagai kebutuhan. Begitu pula semua hal yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seperti makanan yang cukup, sandang, papan, pendidikan spiritual dan intelektual, lingkungan yang secara spiritual dan fisik sehat (dengan ketegangan, kejahatan dan polusi yang minim), fasilitas kesehatan, transportasi yang nyaman, istirahat yang cukup untuk bersilatur rahim dengan keluarga dan tugas-tugas sosial dan kesempatan untuk hidup yang bermartabat.
Pemenuhan kebutuhan ini akan menjamin generasi sekarang dan yang akan datang dalam kedamaian, kenyamanan, sehat dan efisien serta mampu memberikan kontribusi secara baik bagi realisasi dan kelanggengan falah dan hayatan thayyibah. Setiap alokasi dan distribusi sumber daya yang tidak membantu mewujudkan falah dan hayatan thayyibah , menurut Ibnu Qayyim, tidak mencerminkan hikmah dan tidak dapat dianggap efisien dan merata (adil)
Untuk melaksanakan kewajiban tersebut para penguasa atau pengusaha harus manjalankan manajemen yang baik dan sehat. Manajemen yang baik harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan (conditio sine qua non) demi mencapai hasil tugas yang baik. Oleh karena itu para penguasa atau pengusaha wajib mempelajari ilmu manajemen. Apalagi bila prinsip atau teknik manajemen itu terdapat atau diisyaratkan dalam Al Qur’ an atau Al Hadits.
Beberapa prinsip atau kaidah dan teknik manajemen yang ada relevansinya dengan Al Qur’an atau Al Hadits antara lain sebagai berikut :
1.1. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setiap muslim wajib melakukan perbuatan yang ma’ruf, yaitu perbuatan yang baik dan terpuji seperti perbuatan tolong-menolong (taawun), menegakkan keadilan di antara manusia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempertinggi efisiensi, dan lain-lain. Sedangkan perbuatan munkar (keji), seperti korupsi, suap, pemborosan dan sebagainya harus dijauhi dan bahkan harus diberantas.
Menyeru kepada kebajikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (nahi munkar) adalah wajib sebagaimana firman Allah SWT:
“Hendaklah ada diantara kamu ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan keji” (QS 3 : 104)
Untuk melaksanakan prinsip tersebut, ilmu manajemen harus dipelajari dan dilaksanakan secara sehat, baik secara bijak maupun secara ilmiah.
1.2. Kewajiban Menegakkan Kebenaran
Ajaran Islam adalah metode Ilahi untuk menegakkan kebenaran dan menghapuskan kebatilan, dan untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera serta diridhai Tuhan .
Kebenaran (haq) menurut ukuran dan norma Islam, antara lain tersirat di dalam firman Allah Surat (17) Al Isra ayat 81:
“Katakanlah ya Muhammad ! Telah datang kebenaran dan telah sirna yang batil. Sesungguhnya yang batil itu akan lenyap”.
Firman Allah dalam Surat (3) Ali Imran ayat 60 menyatakan:
“Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau termasuk salah seorang yang ragu-ragu”.
Manajemen sebagai suatu metode pengelolaan yang baik dan benar, untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan dan menegakkan kebenaran. Menegakkan kebenaran adalah metode Allah yang harus ditaati oleh manusia. Dengan demikian manajemen yang disusun oleh manusia untuk menegakkan kebenaran itu menjadi wajib.
1.3. Kewajiban Menegakkan Keadilan.
Hukum syariah mewajibkan kita menegakkan keadilan, kapan dan di manapun. Allah berfirman di Surat (4) An Nisa’ ayat 58 :
“Jika kamu menghukum di antara manusia, hendaknya kamu menghukum (mengadili) secara adil”
dan firman Allah dalam Surat (7) Al A’raf ayat 29 menyatakan bahwa:
Katakanlah ya Muhammad ! “ Tuhanku memerintahkan bertindak adil “.
Semua perbuatan harus dilakukan dengan adil. Adil dalam menimbang, adil dalam bertindak, dan adil dalam menghukum. Adil itu harus dilakukan di manapun dan dalam keadaan apapun, baik di waktu senang maupun di waktu susah. Sewaktu sebagai orang kecil harus berbuat adil, sewaktu sebagai orang yang berkuasapun harus adil. Tiap muslim harus adil kepada dirinya sendiri dan adil pula terhadap orang lain.
1.4. Kewajiban menyampaikan amanah
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada setiap muslim untuk menunaikan amanah. Kewajiban menunaikan amanah dinyatakan oleh Allah dalam Surat (4) An Nisa’ ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah memerintahkan agar selalu menunaikan amanat dalam segala bentuknya, baik amanat perorangan, seperti dalam jual-beli, hukum perjanjian yang termaktub dalam Kitab al Buyu’ (hukum dagang) maupun amanat perusahaan, amanat rakyat dan negara, seperti yang dipikul oleh seorang pejabat pemerintah, ataupun amanat Allah dan ummat, seperti yang dipikul oleh seorang pemimpin Islam. Mereka tanpa kecuali memikul beban untuk memelihara dan menyampaikan amanat.
Mengenai kewajiban menunaikan amanat di bidang muamalah, Allah berfirman dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 283 :
“Maka hendaklah (orang) yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) kepada yang berhak (yang berpiutang)”.
Seorang manajer perusahaan adalah pemegang amanat dari pemegang sahamnya, yang wajib mengelola perusahaan dengan baik, sehingga menguntungkan pemegang saham dan memuaskan konsumennya. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap hamba itu adalah pengembala (pemelihara) harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas harta yang dikelolanya”. (HR Muslim)
Sebaliknya orang-orang yang menyalah-gunakan amanat (berkhianat) adalah berdosa di sisi Allah, dan dapat dihukum di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya pengurus-pengurus (manajer) yang buruk akan disiksa, berhati-hatilah engkau untuk menjadi mereka (manajer) “.(HR Muslim)
Dengan demikian jelaslah bahwa hak dan kewajiban seseorang dalam manajemen secara tegas diatur di dalam hukum syariah. Pengaturannya antara lain terdapat dalam Hukum Syariah, Bab al buyu’, Hukum Perjanjian, atau Bab Imarah dan Khilafah yang dinyatakan dengan dalil dan nash dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Semua hukum tersebut wajib dilaksanakan dan dikembangkan seperti hukum-hukum lain. Demikian pula prinsip-prinsip manajemen yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, yang selalu segar, tidak menemui kejanggalan, sehingga sewajarnyalah diterapkan dalam praktek.
Islam memberikan keluwesan untuk ber-ijtihad. Dengan peralatan dalil nash Al Qur’an dan Al Hadits yang ditunjang oleh kemampuan ilmu pengetahuan modern, seorang manajer akan dapat ber-ijtihad sehingga mendapatkan hasil (natijah) yang memuaskan.
2. Dasar dan Tujuan Manajemen
Semua organisasi, baik yang berbentuk badan usaha swasta, badan yang bersifat publik ataupun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan tentu mempunyai suatu tujuan sendiri-sendiri yang merupakan motivasi dari pendiriannya.
Manajemen di dalam suatu badan usaha, baik industri, niaga dan jasa, tidak terkecuali jasa perbankan, didorong oleh motif mendapatkan keuntungan (profit). Untuk mendapat keuntungan yang besar, manajemen haruslah diselenggarakan dengan efisien. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap pengusaha dan manajer di manapun mereka berada, baik dalam organisasi bisnis, pelayanan publik, maupun organisasi sosial kemasyarakatan. Perbedaannya hanyalah pada falsafah hidup yang dianut oleh masing-masing pendiri atau manajer badan usaha tersebut.
Manajemen yang kita kenal sekarang ini adalah manajemen Barat yang individualistis dan kapitalistis. Di dalam masyarakat yang individualistis, kepentingan bersama dapat ditangguhkan demi kepentingan diri sendiri. Hal ini disebabkan karena mereka telah meninggalkan nilai-nilai religius yang berdasarkan hubungan tanggung jawab antara manusia dengan Tuhannya, baik mengenai suruhan yang ma’ruf dan pencegahan yang munkar, semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhannya .
2.1. Kebutuhan fitrah manusia sebagai dasar manajemen
Manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani yang dilengkapi dengan akal dan hati. Unsur-unsur manusia itu memiliki kebutuhannya masing-masing. Manusia mempunyai tubuh yang tunduk pada hukum fisik, yang oleh karenanya merupakan subyek dari fisiknya. Guna mempertahankan hidupnya manusia perlu makan, minum, pakaian dan perlindungan (QS 7:31). Tetapi manusia bukanlah semata-mata terdiri dari tubuh saja, sehingga semua persoalan tidak dapat dengan hukum-hukum fisik semata.
Manusia juga adalah makhluk biologis, karena itu juga tunduk pada hukum-hukum biologis. Guna melestarikan spesiesnya, manusia mempunyai alat reproduksi dalam dirinya yang ditandai oleh kecenderungan berupa sex dan berkembang biak (QS 3:14).
Namun manusia juga bukan hanya merupakan alat reproduksi yang dapat diteliti dengan kacamata sexologi semata. Manusia juga memiliki akal yang membutuhkan sarana berupa ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk memikirkan berbagai rahasia dari ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi (QS 3:189). Sebagai makhluk rasional, sifat akal selalu menuntut kepuasan. Dari sudut pandang ini maka ilmu pengetahuan adalah merupakan tuntutan kebutuhannya.
Selain itu manusia juga termasuk makhluk sosial yang didorong oleh watak aslinya untuk bergaul dengan manusia lainnya. Keinginan alamiah untuk menjalin hubungan permanen antara pria dan wanita, ketergantungan anak manusia akan perlindungan orang tuanya, keinginan manusia untuk membela kepentingan keturunannya dan mempertahankan kasih sayang antara saudara sedarah, kesemuanya itu merupakan kecenderungan alami yang mengarahkan mereka dalam membangun kehidupan sosialnya.
Namun, keramah-tamahan dalam pergaulan hanyalah merupakan salah satu kualitas eksistensinya. Hal ini bukan satu-satunya acuan untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan kehidupan yang sempurna. Justru di jaman sekarang ini tidak jarang orang berbuat riya’, ingin dilihat orang, minta agar sedekah yang diberikannya diumumkan, agar diketahui dan dipuji, kemudian memperoleh julukan dermawan. Padahal di mata Allah, nilai setiap amal itu tergantung pada niatnya.
Agar manusia selalu terdorong untuk berusaha memenuhi kebutuhannya, Allah menghiasi pula dengan nafsu dan keinginan, baik untuk memperoleh kesenangan biologis (sex dan beranak pinak) maupun kesenangan lainnya seperti kecintaan kepada harta yang banyak, dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (QS 3:14).
Nafsulah yang merupakan motivator bagi manusia untuk selalu berusaha memenuhi keinginannya tersebut. Guna memenuhi keinginannya itu, sang nafsu lalu meminta bantuan akal untuk mencari cara yang paling cepat dan mudah untuk mendapatkan-nya. Akal akan menawarkan berbagai alternatif, sesuai dengan kapasitasnya. Kualitas akal ini akan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sedangkan tawaran alternatif metode yang disarankan oleh akal tersebut bisa bersifat rasional atau irrasional. Biasanya alternatif yang ditawarkan itu bersifat netral dan bebas nilai. Metode yang bersifat rasional adalah seperti bercocok tanam, bekerja memproduksi barang yang diinginkan, melakukan pertukaran barang dengan orang lain, meminta harta warisan yang menjadi haknya, bahkan termasuk mengemis, mencuri, merampok dan sebagainya. Sedangkan metode yang bersifat irrasional adalah seperti menggunakan ilmu sihir, spekulasi, berjudi dan lain-lain.
Manusia adalah juga merupakan makhluk moral spiritual, yang membedakan antara kebaikan dan kejahatan, memiliki dorongan bawaan untuk mencapai realitas di luar pengertian akal. Fungsi dari moral spiritual ini diperankan oleh hati. Dalam hal ini, hati berfungsi memberikan pertimbangan kepada nafsu, apakah jenis kebutuhan yang diinginkannya itu halal atau haram, bermanfaat ataukah membahayakan dirinya, jumlah kebutuhan yang diinginkannya itu wajar ataukah berlebihan, dan cara mendapatkannya itu layak ataukah tidak untuk diperturutkan dan dilaksanakan.
Kualitas dari pertimbangan hati itu akan tergantung kepada sistem nilai yang dianutnya dan intensitasnya mengingat Ilah yang diimaninya. Apabila hati beriman kepada Allah dan selalu mengingatNya dengan intensitas yang tinggi, maka nilai pertimbangannya pun semakin baik sesuai dengan norma-norma etika yang telah ditetapkan oleh Allah. Sebaliknya apabila hati beriman kepada toghut maka nilai pertimbangannya pun akan sesat karena mengukuti nasihat-nasihat toghut.
Akumulasi interaksi antara nafsu, akal dan hati inilah yang akan menentukan kualitas nilai diri manusia tersebut. Diri yang seimbang (nafs al muthmainnah) hanya akan memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan fitrahnya saja, yaitu kebutuhan yang dihalalkan oleh Allah swt., dalam jumlah yang diperlukan saja, tidak berlebihan dan dengan cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran Allah dan RasulNya. Lain halnya dengan diri yang serakah (nafs al lawwamah) dan liar (nafs al amarah) yang selalu terdorong memenuhi segala keinginan, seperti yang diciptakan oleh setan-setan kapitalis yang memang sangat kreatif dan aktif dalam menciptakan, memproduksi, dan mendorong timbulnya kebutuhan-kebutuhan secara berlebihan, yang justru merusak kualitas hidup manusia, seperti makanan haram, minuman keras, obat-obat terlarang, judi, seks bebas dan sebagainya.
Untuk mendapatkannya pun ditempuh dengan cara-cara yang dilarang oleh Islam, seperti menyuap, merampas, korupsi, menipu, mencuri, merampok, riba, judi, perdagangan gelap, menimbun dan usaha-usaha lain yang menghancurkan masyarakat. Dorongan-dorongan itulah yang melandasi paradigma ekonomi kapitalis yang menyatakan bahwa kebutuhan tidak terbatas, sehingga mereka terus memproduksi apa saja asal masih ada yang menginginkan, meskipun produk itu tidak bermanfaat, bertentangan dengan fitrah kebutuhan manusia, bahkan merusak masyarakat secara keseluruhan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia yang terdiri dari keseluruhan sifat-sifat tersebut (fisik, biologis, intelektual, spiritual dan sosiologis) memiliki kebutuhan masing-masing yang dipadukan bersama-sama. Sementara di luar itu, ada suatu masalah penting untuk dipertimbangkan, yaitu - dengan segala keberadaannya dalam semua aspek kehidupannya yang beragam- manusia merupakan bagian dari sistem alam raya yang sangat besar dan luas .
Keseimbangan pemenuhan kebutuhan masing-masing unsur tersebut akan sangat bergantung kepada lemah-kuatnya dorongan nafsu dan kualitas pengendalian yang diperani oleh akal dan hati. Akal dan hati yang berkualitas pasti akan membatasi konsumsinya sebatas kebutuhan fitrahnya. Konsumsi yang melebihi kebutuhan fitrah adalah kebutuhan palsu, yang justru akan merusak dirinya.
Demikianlah Allah swt telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, yang terdiri dari berbagai unsur yang terorganisir dengan rapi dan interaksi antar unsur-unsur yang ada mencerminkan suatu sistem manajemen yang sangat sempurna dan canggih. Sudah seharusnya manusia menjadikannya sebagai I’tibar dalam membangun suatu sistem organisasi dan manajemen yang baik.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang kokoh” (QS 61: 4)
2.2. Tujuan hidup manusia sebagai tujuan manajemen
Allah berfirman :
” Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia kecuali agar mereka hanya mengabdi kepada-Ku” (QS 51:56).
Inilah tujuan hidup manusia menurut ajaran Allah SWT., yang berintikan tauhid (pengesaan Tuhan) diikuti dengan seruan agar manusia beriman dan cinta kepada Allah dan Rasulnya serta yakin akan adanya hari akhirat . Segala tindakan dan kegiatan manusia hendaknya dilandasi motivasi untuk memperoleh keridlaan Allah, orientasinya kepada kebahagiaan akhirat (tanpa melupakan bagiannya di dunia) dan aplikasinya adalah ditegakkannya hukum (syariah) Allah di bumi. Inilah yang membedakannya dengan orang-orang sekuler, yang motivasi dan orientasi sikap, tindakan dan kegiatannya hanya untuk memperoleh kesenangan hidup di dunia saja, dan aplikasinya adalah tujuan menghalalkan segala cara.
Bagi setiap muslim, keridlaan Allah adalah segala sumber dari kebahagiaan, di dunia dan di akhirat. Dunia adalah ladang tempat bertanam, hasil yang dinikmatinya di dunia adalah bagian kecil saja dari hasil yang sesungguhnya akan diperoleh. Bagian hasil terbesar justru akan dinikmatinya di akhirat. Allah, selain sebagai satu-satunya zat yang patut disembah (tauhid uluhiyah), Allah jualah satu-satunya pengatur seluruh alam beserta isinya (tauhid rubbubiyah). Manusia sebagai hamba-Nya wajib menyerahkan diri bulat-bulat kepada-Nya dan rela untuk diatur oleh-Nya. Pemenuhan kebutuhan hidupnya di dunia sebatas keperluan untuk mengabdikan dirinya kepada Allah. Oleh karenanya setiap usaha yang dilakukan dalam kehidupan dunia ini haruslah senantiasa disesuaikan dengan hukum dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh syariah Allah SWT.
Manusia diciptakan Allah agar berfungsi sebagai penguasa (khalifah) di bumi (QS 6: 165) dengan tugas untuk memelihara dan memakmurkan bumi. Karena bumi dengan semua sistem ekologi yang telah diciptakan Allah itu sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup mereka. Pemanfaatan segala sumber daya di dalamnya harus dilakukan dengan daya cipta yang tinggi dan dengan memperhatikan prinsip keseimbangan. Manusia harus menyadari segala tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan di bumi.
Tugas ini memerlukan pengertian yang tepat tentang hukum-hukum Allah yang menguasai alam ciptaan-Nya, dilanjutkan dengan kegiatan bertindak untuk melakukan suatu yang baru, yang baik (saleh), untuk kebaikan (maslahat) bagi manusia, dengan menggunakan teknologi yang sesuai dengan hukum itu. Hal ini berkaitan erat dengan ajaran tentang prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran dalam kegiatan hidup, terutama dalam kegiatan ekonomi yang menyangkut proses pembagian kekayaan dan pemerataannya di antara masyarakat.
Beberapa faktor strategis dan fundamental harus dipertimbangkan dalam menentukan penilaian dasar dan tujuan manajemen yaitu:
(a) Hak Asasi Manusia
Bahwa manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan (QS 17:70). Oleh karena itu semua kegiatan manusia haruslah dalam rangka memelihara nilai kemuliaannya itu. Manajemen harus bertolak dari prinsip memelihara nilai-nilai kemuliaan manusia, yang telah diberikan contoh oleh Allah . Nilai-nilai serta hakekat dari manusia tidak boleh dikurangi, atau diabaikan dalam pelaksanaan manajemen, karena semua yang ada di permukaan bumi ini disediakan untuk manusia, bukan sebaliknya. Manusia tidak diperkenankan oleh Allah menyembah benda, betapapun pentingnya benda tersebut bagi manusia. Manusia juga tidak boleh menyembah seorang oknum, betapapun besarnya kekuasaan dan kekayaannya. Manusia hanya wajib menyembah Allah. Inilah hakikat hak asasi manusia yang harus dianut pula dalam manajemen.
(b) Hak dan kewajiban bekerja
Ajaran Islam tidak mengenal kelas dalam masyarakat yang membagi manusia menurut tingkat-tingkat yang dibuat oleh manusia itu sendiri, untuk menimbulkan tidak adanya persamaan (musawah) diantara manusia, seperti antara kelas bangsawan dan kelas kawula di masyarakat feodalistis ataupun kelas majikan dan buruh dalam masyarakat kapitalis dan komunis.
Ajaran Islam juga tidak mengenal adanya kelas manajer, karena adanya sekelompok orang yang berfungsi sebagai manajer hanya dapat dilihat dari pembagian kerja, atas dasar persetujuan bersama, atau atas dasar kemampuan manajerial semata. Disini Islam hanya mengenal konsep pembagian kerja yang didasarkan pada kemampuan fisik, ilmu dan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing manusia. Menurut Roger Garaudy, bekerja memainkan peranan pokok yang sangat penting sebagai dasar pemilihan hak bekerja di dalam Islam. Adanya jenjang-jenjang dalam organisasi kerja hendaknya semata-mata dimaksudkan agar setiap potensi, baik potensi fisik, ilmu dan teknologi dapat disinergikan, sebagaimana firman Allah :
” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari pada apa yang mereka kumpulkan”. (QS 43: 32)
(c) Akhlaqul karimah
Ajaran Islam didasarkan dan ditujukan untuk membentuk akhlak yang luhur. Dengan akhlak yang luhur, manusia diharapkan melakukan perbuatan yang baik, indah, serasi dan harmonis. Dengan demikian, prinsip manajemen dan pelaksanaannya wajib dijiwai, dipimpin dan diarahkan untuk mencapai kebaikan (mashlahat), berdasarkan konsepsi dan norma-norma yang ditetapkan oleh Allah dan Rasulnya.
Firman Allah :
“Berbuat baiklah kamu (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu membuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS 28: 77)
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS 5:2).
Konsepsi ajaran akhlak menuju perbuatan baik dan terpuji (amal shaleh), berfaedah dan indah, untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah.
Konsep amal shaleh menjadi inti ajaran Islam yang harus diterapkan dan untuk melatar-belakangi manajemen, baik dalam konsepsi, struktur maupun operasinya.
3. Unsur-Unsur Manajemen
(a) Perencanaan.
Semua dasar dan tujuan manajemen seperti tersebut di atas haruslah terintegrasi, konsisten dan saling menunjang satu sama lain. Untuk menjaga konsistensi kearah pencapaian tujuan manajemen maka setiap usaha itu harus didahului oleh proses perencanaan yang baik. Allah berfirman :
” Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan rencanakanlah masa depanmu. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu atas apa-apa yang kalian perbuat” (QS 59:18)
Suatu perencanaan yang baik dilakukan melalui berbagai proses kegiatan yang meliputi forecasting, objective, policies, programes, procedures dan budget.
a. Forecasting
Forecasting adalah suatu peramalan usaha yang sistematis, yang paling mungkin memperoleh sesuatu di masa yang akan datang, dengan dasar penaksiran dan menggunakan perhitungan yang rasional atas fakta yang ada. Fungsi perkiraan adalah untuk memberi informasi sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Bagi manajer yang telah berpengalaman tidak jarang terjadi perkiraan itu dilakukan berdasarkan intuisi, atau firasat. Hal ini juga dapat bersumber dari taufiq dan hidayah Allah bagi mereka yang dikehendakiNya. Oleh karena itu adalah merupakan suatu kebiasaan yang baik bagi setiap muslim, dalam menghadapi suatu persoalan yang musykil, meminta petunjuk dari Allah, dengan cara shalat istikharah, untuk mendapatkan petunjuk dan hidayahNya, dalam mengambil keputusan atau merencanakan sesuatu. Kebiasaan demikian akan membawa kepada sikap taqarrub kepada Allah, dan membiasakan diri untuk tidak mengambil tindakan yang gegabah dalam segala hal.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh manajemen bank adalah melakukan peramalan usaha dengan melihat kondisi internal dan eksternal dalam rangka perumusan kebijakan dasar. Kondisi internal meliputi potensi dan fasilitas yang tersedia, distribusi aktiva, posisi dana-dana, pendapatan dan biaya. Sedangkan kondisi eksternal meliputi menelaahan situasi moneter, lokal dan internasional, peraturan-peraturan, situasi dan kondisi perda-gangan, nasional dan internasional .
b. Objective
Objective atau tujuan adalah nilai yang akan dicapai atau diinginkan oleh seseorang atau Badan Usaha. Untuk mencapai tujuan itu dia bersedia memberi pengorbanan atau usaha yang wajar agar nilai-nilai itu terjangkau.
Tujuan suatu organisasi harus dirumuskan dengan jelas, realistis dan dapat diketahui oleh semua orang yang terlibat dalam organisasi, agar mereka dapat berpartisipasi dengan penuh kesadaraan.
Tujuan manajemen bank syariah tidak saja meningkatkan kesejahteraan bagi para stake holders, tetapi juga harus mempromosikan dan mengembangan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya kedalam bisnis keuangan dan bisnis lainnya yang terkait. Oleh karena itu aktivitas perencanaan tujuan masa depan harus dilakukan dengan baik, teliti, lengkap dan rinci, dan perumusan kebijakan itu haruslah disusun bersama oleh direksi bersama-sama dengan dewan komisaris dan dewan pengawas syariah, dan perencanaan operasional harus disusun bersama dengan para pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional. Islam menganjurkan melakukan musyawarah, dan bukan one man show . Sebagaimana Allah berfirman :
” Maka dikarenakan karunia dari Allah engkau bersikap lemah lembut kepada mereka. Kalau engkau bersikap kasar dan berhati keras maka mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu maafkanlah mereka dan mintalah ampunan untuk mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam setiap urusan kalian. Maka jika kamu sudah bertekad (mengambil keputusan) bulat, maka berserah dirilah kepada Allah, Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang bertawakkkal. (QS 3 : 159).
Kita diperintah oleh Allah untuk memusyawarahkan dan memutuskan sesuatu yang bermanfaat, bukan keputusan yang sekedar coba-coba dan salah (try and error) kemudian mencoba lagi sampai menemukan sesuatu yang fixed. Hal itu membuang energy dan waktu . Pada surah An Nahl Allah berfirman :
” Dan janganlah kalian seperti perempuan tua yang merombak kembali tenunannya setelah jadi. Kalian menjadikan sumpah-sumpah kalian sebagai tipu daya agar kalian menjadi ummat yang lebih besar dari ummat lainnya (merebut massa dengan segala cara). Sesungguhnya Allah menguji kalian dengan persoalan itu dan pasti akan dijelaskanNya pada hari kiamat apa-apa yang mereka perselisihkan” (QS 16:96).
Jadi yang dimaksudkan adalah agar kita menyusun perencanaan tujuan secara profesional, tidak sekedar coba-coba.
c. Policies
Policies dapat berarti rencana kegiatan (plan of action) atau juga dapat diartikan sebagai suatu pedoman pokok (guiding principles) yang diadakan oleh suatu Badan Usaha untuk menentukan kegiatan yang berulang-ulang.
Suatu policies dapat dikenal dengan dua macam sifat, yaitu pertama merupakan prinsip-prinsip dan kedua sebagai aturan untuk kegiatan-kegiatan (rules of actions). Oleh karena itu policies merupakan prinsip yang menjadi aturan dalam kegiatan yang terus-menerus, setidak-tidaknya selama jangka waktu pelaksanaan rencana suatu organisasi.
Keputusan mengenai suatu policies ditentukan oleh top manajemen atau chief excecutive officer atau Board of Directors dari suatu Badan Usaha. Para manajer bertanggung jawab (accountable) untuk menafsirkan, menjelaskan dan menjamin pelaksanaan policies tersebut.
Suatu policies haruslah merupakan suatu pernyataan positif (positive declaration) dan merupakan perintah yang harus dipatuhi (imperative) oleh seluruh jajaran di dalam organisasi secara vertikal ke bawah.
Bidang kegiatan bank yang perlu dirumuskan dalam wujud kebijakan dasar (basic policies) umumnya meliputi bidang penting bagi aktivitas bank, yaitu sebagai berikut:
i. Tipe nasabah yang dilayani
Bank harus menetapkan tipe nasabah yang menjadi sasaran bagi pemasaran produknya. Melalui berbagai pertimbangan, bank dapat memutuskan untuk hanya melayani usaha kecil dan menengah saja, sedangkan usaha besar tidak. Dengan pertimbangaannya sendiri bank lain juga dapat memutuskan untuk melayani semua jenis nasabah, baik usaha besar, usaha menengah, usaha kecil maupun perorangan.
ii. Jenis layanan yang disediakan bagi nasabah
Jenis layanan yang disediakan oleh bank biasanya berkaitan erat dengan tipe nasabah yang ingin dilayani. Jenis nasabah tertentu cukup dilayani melalui beberapa produk seperti tabungan, pinjaman, transfer dan inkaso, tetapi nasabah lain memerlukan jasa yang lebih terkait dengan informasi dan pelayanan bisnis perusahaan seperti trust and corporate services. Ada juga bank yang memutuskan untuk melayani kebutuhan kelancaran urusan rumah-tangga nasabah seperti pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak, servis mobil dan lain sebagainya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan bank, apakah akan menyadiakan semua jenis layanan perbankan (universal banking) ataukah hanya menekankan pada atau memberikan perhatian yang besar pada penyediaan jenis layanan tertentu saja, bukan hanya tergantung pada kesempatan meraih potensi pasar yang mereka hadapi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, seperti permodalan, kemampuan organisasi dan sumber daya manusia, kemampuan teknologi dan sebagainya.
iii. Daerah atau wilayah pelayanan
Pertimbangan wilayah pelayanan berkaitan dengan perencanaan jaringan kerja, pembukaan kantor-kantor cabang dan besar kecilnya kantor-kantor cabang tersebut. Sentra-sentra ekonomi harus ditelaah terlebih dahulu, yaitu seperti pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan kebijakan desentralisasi manajemen dan pendelegasian wewenang.
iv. Sistem penyampaian (delivery system) produk & jasa bank
Kebijakan ini berkaitan dengan pola perluasan jangkauan pemasaran dan penyampaian produk dan jasa bank. Sebagian bank mengutamakan penggunaan jaringan organik yang dimilikinya sendiri seperti kantor cabang, kantor kas dsb. Sebagian bank lain memilih melakukan outsourcing dengan mempergunakan agen-agen sebagai remarketer.
v. Distribusi aktiva produktif
Dalam menerapkan distribusi aktiva produktif perlu disusun kebijakan alokasi dana, baik menurut sektor ekonomi, sektor industri maupun daerah atau wilayah pemasaran. Misalnya sekian persen untuk pembiayaan sektor industri manufaktur, sekian persen untuk perdagangan, sekian persen untuk riil estat, sekian persen untuk investasi dan penyertaan. Demikian juga ratio antara pembiayaan dan sumber-sumber daya, dengan memperhatikan penyebaran sumber daya (speading resources) dan penyebaran resiko (spreading risk).
vi. Preferensi likuiditas
Hal ini adalah suatu yang sangat penting, kerena erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat kelanggengan bank. Sumber-sumber dana inti (core funds) yang stabil memberikan pengaruh yang kuat pada kemampuan likuiditas bank.
vii. Persaingan
Kebanyakan bank sangat peka dan berlaku kompetitif dalam merebut hati para nasabah. Ketepatan dan kecepatan pelayanan dengan biaya yang relatif murah adalah dambaan nasabah. Karena itu bank harus tanggap dan berupaya menciptakan suasana fanatisme nasabah melalui pelayanan prima agar mampu bersaing dengan baik. Allah berfirman : ” Dan bagi tiap-tiap sesuatu mempunyai sasaran (tujuan) yang dihadapinya. Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan di mana saja kalian berada. Pasti Allah akan mengumpulkan kalian semuanya. Sesungguhnya Allah itu berkuasa atas segala sesuatu” (QS 2 : 148).
viii. Pengembangan dan pelatihan staf
Pengembangan dan pelatihan staf haruslah merupakan kebijakan utama manajemen bank. Allah menyuruh Nabi untuk memperbaiki kondisi dan skill ummat dengan cara memberikan kepada mereka latihan-latihan atau training. Untuk menambah keimanan dan keyakinan merekapun memerlukan training. Hal ini dapat kita jumpai antara lain dalam Surah Al Anfal (8): 65 dan Surah At Taubah (9): 33 sebagai berikut :
” Wahai Nabi, timbulkan hasrat orang beriman sampai mereka mampu sekalipun untuk berperang. Dan sekiranya kalian berjumlah dua puluh orang akan mampu mengalahkan dua ratus orang, dan sekiranya kalian berjumlah dua ratus orang akan mampu mengalahkan seribu orang dari orang-orang kafir, disebabkan karena orang-orang kafir itu tidak memahami” (QS 8 : 65)
“Dialah Allah yang mengutus RasulNya dengan membawa al huda (al qur’an) dan pola hidup yang haq agar dienul islam tadi berada di atas pola-pola hidup lainnya. Sekalipun orang musyrik tidak senang” (QS 9 : 33).
Hidup adalah suatu medan perjuangan. Hidup ini penuh tantangan, bahkan Jepang dan Cina telah menjadikan teori perang Tzun Tzu, seorang ahli strategi Cina sekitar 500 SM sebagai teori perdagangan. Mereka menyimpulkan business is war. Dengan begitu kita dapat mengerti bahwa persaingan bisnis itu akan lebih menjurus kepada sadistis karena bisnis sudah dianggap perang, teori-teori perang sudah dimasukkan ke dalam teori bisnis. Dengan demikian maka training and development harus lebih ditingkatkan lagi, bagi peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
Bank Indonesia sangat menekankan hal ini secara eksplisit dalam Petunjuk Pelaksanan Pembukaan Kantor bank Syariah . Sebagai lembaga yang knowledge intentive, maka ketrampilan dan keahlian staf menjadi kunci keberhasilan bank. Selain itu, Sumber Daya Insani bank syariah dituntut memiliki pengetahuan mengenai ketentuan dan prinsip syariah secara baik, dan memiliki akhlak dan moral Islami. Akhlak dan moral Islami dalam bekerja dapat disarikan dalam empat ciri pokok, yaitu : (1) Shiddiq (benar dan jujur), (2) Amanah (dapat dipercaya), (3) tabligh (mengembangkan lingkungan dan bawahan menuju kebaikan) dan (4) Fathonah (kompeten dan profesional).
Oleh karena itu kebijakan pengembangan sumber daya insani harus disusun dan dirumuskan dengan jelas dan mudah difahami oleh semua lapisan karyawan.
i. Programmes
Programmes adalah sederetan kegiatan yang digambarkan untuk melaksanakan policies. Program itu merupakan rencana kegiatan yang dinamis yang biasanya dilaksanakan secara bertahap, dan terikat dengan ruang (place) dan waktu (time).
Program itu harus merupakan suatu kesatuan yang terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan tujuan yang telah ditentukan dalam organisasi (closely integrated).
j. Schedules
Schedules adalah pembagian program yang harus diselesaikan menurut urut-urutan waktu tertentu. Dalam keadaan terpaksa schedules dapat berubah, tetapi program dan tujuan tidak berubah.
k. Procedures
Prosedur adalah suatu gambaran sifat atau metode untuk melaksanakan suatu kegiatan atau pekerjaan. Perbedaannya dengan program adalah program menyatakan apa yang harus dikerjakan, sedangkan prosedur berbicara tentang bagaimana melaksanakannya.
l. Budget
Budget adalah suatu taksiran atau perkiraan biaya yang harus dikeluarkan dan pendapatan yang diharapkan diperoleh di masa yang akan datang. Dengan demikian, budget dinyatakan dalam waktu, uang, material dan unit-unit yang malaksanakan pekerjaan guna memperoleh hasil yang diharapkan.
(b) Pengorganisasian.
” Allah membuat syariat dari dien, yakni apa yang Kami wasiatkan kepada Nuh, Muhammad, Ibrahim, Musa dan Isa bahwa hendaklah kalian menegakkan dien dan janganlah berpecah-belah padanya. Memang berat bagi orang musyrik apabila kalian mengajaknya ke jalan menuju kebaikan. Allah memilih siapa-siapa yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada siapa-siapa yang ingin kembali ke jalan Allah” (QS 42 : 13).
Dienul Islam adalah suatu sistem yang lengkap dalam kehidupan untuk mengelola manusia dan alam semesta sesuai dengan kehendak Allah. Kalimat : “menegakkan dien” dalam ayat tersebut diatas berarti mengatur kehidupan ini agar rapi dan kalimat : “janganlah berpecah belah” berarti kita diperintahkan untuk mengorganisasikan kehidupan kita dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatur kehidupan tersebut manusia dibekali dengan pedoman konseptual yang disebut al haq seperti firman Allah:
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu berfungsi sebagai khalifah di muka bumi. Maka tegakkanlah hukum di antara manusia dengan al haq dan janganlah kamu mengikuti al hawa. Maka kalau kamu mengikuti al hawa tadi kamu akan disesatkan dari jalan Allah, bagi mereka itu seksa yang keras, dikarenakan mereka lupa akan hari perhitungan (QS 38 : 26).
Nabi Daud diperintah oleh Allah agar menegakkan hukum dengan al haq. Al haq itu datang dari Allah maka janganlah kalian menjadi orang-orang yang ragu-ragu (QS 2 : 147). Maka tegakkanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti al hawa mereka. (QS 5 : 48).
Pengorganisasian atau Perencanaan dan pengembangan orgaisasi adalah meliputi pembagian kerja yang logis, penetapan garis tanggung jawab dan wewenang yang jelas, pengukuran pelaksanaan dan prestasi yang dicapai.
” Dialah Allah yang menjadikan kalian berfungsi sebagai khalifah di muka bumi dan mengangkat sebagian kalian di atas sebagian lainnya beberapa derajat. Agar diuji kalian atas apa-apa yang diberikan kepada kalian. Sesungguhnya Allah Tuhanmu cepat sekali siksanya dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS 6 : 165).
Dari ayat-ayat di atas, kita dapat melihat adanya kalimat : “mengangkat sebagian kalian di atas sebagian lainnya beberapa derajat” sebagai pedoman struktural, kalimat : “Agar Dia Allah menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian (sebagai jabatan)” sebagai pedoman fungsional, kalimat :”Sesungguhnya Tuhan kamu cepat sekali siksanya (kalau engkau menyalah-gunakan jabatan)” merupakan pedoman tanggung jawab dan sanksi. Sedangkan kalimat di akhir ayat: “Dan sesungguhnya Dia Alllah itu benar-benar Pengampun dan Penyayang ” adalah sifat kebijaksanaan Allah yang sebaiknya diteladani oleh setiap manajer.
Apa saja jabatan yang disandang seseorang merupakan amanat, maka jabatan yang dipegang seseorang merupakan ujian baginya. Kalau ia menyalah gunakan jabatan tadi, sesungguhnya siksa Allah sangat cepat. Sedang bagi mereka yang bersalah dalam melaksanakan tugas jabataannya, tanpa disengaja, maka Allah itu maha pengampun lagi penyayang .
Struktur Organsiasi
Disamping Dewan Komisaris dan Direksi, Bank Umum Syariah dan BPRS wajib memiliki Dewan pengawas syariah (DPS) yang ditempatkan di kantor pusat bank tersebut. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) . Oleh karena itu struktur organisasi bank perlu disesuaikan.
Sementara itu bagi bank umum konvensional yang membuka kantor cabang syariah, selain wajib memiliki DPS juga diwajibkan membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). UUS merupakan satuan kerja di kantor pusat bank umum yang berfungsi sebagai kantor induk bagi kantor-kantor cabang syariah. Karena BPR konvensional tidak diperkenankan untuk memiliki kantor cabang syariah, maka UUS tidak dikebal pada BPR.
Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah nasional (DSN) pada bank. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum bidang perbankan. Persyaratan anggota DPS ditetapkan
oleh DSN.
Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah.
Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Selain itu DPS juga mempunyai fungsi :
(1) sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan Unit Usaha Syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah.
(2) Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
(3) Sebagaii perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank. DPS wajib melaporkan kegiattan usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurrangnya satu kali dalam setahun. Bank yang akan membentuk DPS dalam rangka perubahan kegiatan usaha atau membuka kantor cabang syariah untuk pertama kalinya dapat menyampaikan permohonan penempatan anggota DPS kepada DSN.
Dewan Syariah Nasional.
Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan niilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana.
Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun. DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Disamping itu DSN juga mempunyai kewenangan untuk :
(1) memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada satu lembaga keuangan syariah.
(2) Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum fihak terkait.
(3) Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi kettentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM.
(4) Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
(5) Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Unit Usaha Syariah.
Kantor-kantor cabang dari bank umum konvensional pada dasarnya merupakan unit yang mempunyai karaktteristik kegiatan usaha yang berbeda, serta mempunyai pencatatan dan pembukuan yang terpisah dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu unit kerja khusus yang disebut Unit Usaha Syariah (UUS) yang berfungsi sebagai kantor induk dari seluruh kantor cabang syariah. Unit tersebut berada di kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang anggota direksi atau pejabat satu tingkat di bawah direksi. Secara umum tugas UUS mencakup :
(1) mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah.
(2) Melaksanakan fungsi treasury dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber dari kantor-kantor cabang syariah.
(3) Menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantor-kantor cabang syariah.
(4) Melaksanakan tugas penata-usahaan laporan keuangan kantor-kantor cabang syariah.
Perencanaan organisasi.
Perencanaan organisasi bank adalah pengelompokan yang logis dari kegiatan-kegiatan bank, menurut hasil yang ingin dicapai yang menunjukkan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang atas suatu tindakan. Misalnya seseorang yang memberikan pembiayaan harus bertangung-jawab untuk menagih untuk menyelesaikannya, karena pemberian pembiayaan itu bukanlah tujuan. Prinsip ini berlaku untuk seluruh level pada organisasi bank. Tugas, wewenang dan tanggung jawab setiap posisi dalam organisasi harus dirumuskan dengan jelas, sehingga tanggung jawab (accountability) untuk hasil akhirnya dapat diukur dengan mudah. Namun demikian pengelompokan fungsi-fungsi itu harus ditetapkan secara hati-hati, karena pengelompokan yang terlalu ketat juga mengandung kelemahan, misalnya kebutuhan tenaga manajerial yang berlebihan, masalah komunikasi internal dan sebagainya. Disamping itu organisasi bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, yang selalu dan selamanya tepat dan benar, karena akan selalu dipengaruhi oleh tempat, waktu, tujuan, manusia serta teknologi pendukungnya. Oleh karenanya organisasi haruslah fleksible, agar selalu dapat menyesuaikan diri dengan variable-variable tersebut.
Struktur organisasi tergantung pada besar-kecilnya bank (bank size), keragaman layanan yang ditawarkan, keahlian personilnya dan peraturan-peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tidak ada acuan baku bagi penyusunan struktur organisasi bagi bank dalam segala situasi kebutuhan operasinya. Bank mengorganisasikan fungsi-fungsinya untuk melayani nasabahnya atau menempatkan karyawan yang ada atau karyawan baru sesuai dengan bakat dan kemampuannyanya. Struktur organisasi setiap bank berikut tanggung jawab dan wewenang para pejabatnya bervariasi satu sama lain. Oleh karena itu struktur organisasi mencerminkan pandangan manajemen tentang cara yang paling efektive untuk mengoperasikan bank.
Beberapa pendekatan yang lazim dalam menetapkan organisasi bank adalah sebagai berikut :
· Pendekatan fungsional
Pendekatan tradisional dalam menyusun organisasi bank adalah melalui pengintergrasian fungsi-fungsi. Biasanya fungsi-fungsi itu ditetapkan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang tergambar dalam neraca, seperti pembiayaan, investasi, kas, penerimaan dana-dana. Pada bank dengan layanan tradisional, struktur organisasinya terbagi dalam tiga fungsi dasar yaitu (1) fungsi pembiayaan, (2) fungsi operasi dan (3) fungsi investasi. (lebih lengkap, download artikel)
Sejalan dengan perkembangannya fungsi-sungsi tersebut dapat dibagi-bagi lagi dalam beberapa kegiatan. Dalam perbankan syariah, fungsi pembiayaan dapat dibagi dalam pembiayaan piutang (debt financing) berdasarkan prinsip jual-beli (murabahah, salam atau istishna), atau sewa-beli (ijarah), pembiayaan modal (equity financing) berdasarkan prinsip mudharabah (trustee financing) atau musyarakah (jount venture profit sharing). Fungsi operasi dapat dibagi dalam tellers, pembukaan rekening (opening new account), penerimaan simpanan (deposit), pemrosesan simpanan (deposit) dan layanan yang berkaitan dengan simpanan (deposit related services) seperti pemindah - bukuan, pengiriman uang (money transfer), inkaso (collections), pembayaran tagihan (bill paying) dan lain, komputer service dan akuntansi, personalia dan sundries.
Pada bank kecil biasanya Direktur Utama menangani portfolio investasi, sedangkan cash management ditangani oleh Direktur Operasi, karena berhubungan dengan pemeliharaan cadangan wajib (primary reserve). Pada bank yang lebih besar pengelolaan portfolio investasi (secondary reserve) dan pengelolaan kas (primary reserve) dikombinasikan dan dipusatkan dalam satu fungsi, karena biasanya fluktuasi dana-dana lebih tinggi dari pada bank yang lebih kecil.
· Pendekatan Pasar
Perbankan telah mengembangkan berbagai produk yang merupakan kombinasi dari beberapa kegiatan dasar dalam satu paket, untuk memperooleh keuntungan dan pendapatan fee. Produk dasar dari bank meliputi:
- produk-produk pembiayaan (financing),
- produk-produk operasional yaitu produk dana dan pemindahan dana (deposit related services) serta layanan lain (non deposit functions) seperti safekeeping dan data processing
- produk-produk investasi (sertifikat pasar uang, wali amanat)
Produk-produk itu menghasilkan penciptaan paket-paket produk termasuk paket-paket layanan yang berkaitan dengan jasa keuangan (interrelated financial services) untuk menarik para investor.
Dewasa ini kecenderungan yang ada di dalam organisasi bank adalah suatu konsep hubungan perbankan (relationship banking). Konsep ini mengkaitkan usaha penawaran paket jasa-jasa yang dipakai oleh tipe nasabah tertentu ke dalam struktur organisasi bank yang dingggap merupakan cara terbaik untuk penyampaian peket-paket layanan perbankan. Ada tiga kelompok besar dari nasabah, yaitu retail, wholesale, dan trust. Perbankan retail didifinisikan sebagai pasar nasabah yang terdiri dari para konsumer. Perbankan wholesale meliputi corporate, institutional (correspondent banking) dan lembaga-lembaga pemerintah. Bukan hanya nasabah konsumer dan korporat yang memerlukan layanan perbankan. Bank juga memerlukan layanan perbankan. Bank kecil biasanya hanya sebagai renpondent sedang bank besar bertindak sebagai correspondent bank. Tabel dibawah ini adalah contoh identifikasi produk dan jasa-jasa perbankan yang ditawarkan secara terintegrasi kepada masing-masing tipe nasabah (lebih lengkap, download artikel).
· Fungsi Staf
Bagan struktur organisasi seperti digambarkan di atas adalah organisasi lini (line function organization). Sebagaimana diuraikan dalam awal bab ini, prinsip musyawarah sangat dianjurkan dalam organisasi yang berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu di dalam proses perumusan kebijakan, pengambilan keputusan perlu dilakukan secara musyawarah. Untuk keperluan tersebut, disamping organisasi lini seperti digambarkan diatas dapat dibentuk wadah yang menjalankan fungsi staf. Biasanya dalam organiasi bank juga terdapat beberapa komite, seperti komite anggaran (budget committee), komite kebijakan pembiayaan (committee of financing policy), Komite pemutus pembiayaan (financing committee), komite aset & liabilitas atau Assets & liability committee (ALCO), komite personalia (personnel committee) dan lain-lain. Komite-komite tersebut biasanya beranggotakan para officer senior dari berbagai bidang dipimpin oleh direksi. Apabila keputusan telah diambil, maka adalah menjadi tugas dan tanggung jawab pejabat lini untuk melaksanakan keputusan-keputusan itu sebagaimana mestinya.
· Struktur Personalia
Struktur organisasi bank melibatkan berbagai tingkat wewenang dan tanggung jawab. Bank harus mempunyai Pengurus (board of Directors) dan manajemen. Bank juga membentuk beberapa komite yang terdiri dari para anggota direksi dan para personil yang terkait dalam tingkat manajemen.
Badan hukum bank-bank di Indonesia dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi. Sebagaimana telah digambarkan di atas, kekuasaan tertinggi dari organisasi berada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Perseroan Terbatas, atau Rapat Anggota (RAT) pada Koperasi. Untuk melaksanakan kekuasaan organisasi, RUPS atau RAT membentuk Dewan Komisaris dan Direksi (pada PT) atau Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus (pada koperasi). Disamping pada Bank Syariah, wajib pula dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Bank adalah badan usaha yang sangat diatur keberadaan dan aktivitasnya oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (highly regulated). Sebelum diputuskan oleh RUPS atau RAT para calon anggota Dewan Komisaris dan Direksi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia selaku bank sentral setelah melalui proses penelitian integritas dan kompetensi (fit and propre test). Sedang para calon anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
(c) Pengawasan
Kelancaran operasi bank adalah kepentingan utama bagi manajemen puncak (top management). Melalui pengawasan para manajer dapat memastikan tercapai atau tidaknya harapan mereka. Pengawasan juga dapat membantu mereka mengambil keputusan yang lebih baik.
Kata pengawasan dipakai sebagai arti harfiah dari kata controling. Dengan demikian pengertian pengawasan meliputi segala kegiatan penelitian, pengamatan dan pengukuran terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan, penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta, melakukan tindakan koreksi penyimpangan, dan perbandingan antara hasil (output) yang dicapai dengan masukan (input) yang digunakan.
Proses pengawasan
Dari pengertian di atas maka menurut prosesnya, pengawasan meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut :
a. Menentukan standar sebagai ukuran pengawasan.
b. Pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan.
c. Penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta.
d. Melakukan tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
e. Perbandingan hasil akhir (outout) dengan masukan (input) yang digunakan.
a. Menentukan standar.
Dalam kegiatan pengawasan, yang pertama kali harus dilakukan adalah menentukan standar yang menjadi ukuran dan pola untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan produk yang dihasilkan. Standar itu harus jelas, wajar, obyektif sesuai dengan keadaan dan sumber daya yang tersedia.
Setiap bank mungkin mempunyai sistim pengawan yang berbeda-beda. Namun demikian harus tetap dapat diidentifikasikan adanya unsur-unsur pengawasan yang lazim terdapat pada semua sistem yang baik.
- Standar hendaklah merupakan prestasi yang dapat diukur, baik bersifat keuangan maupun noon keuangan, misalnya standar perputaran pegawa (labour turnover).
- Prestasi yang dicapai hendaklah diibandingkan dengan standar.
Misalnya, Jika standar biaya telepon telah ditetapkan ditetapkan, maka realisasi biaya telepon harus dibandingkan dengan standar biaya itu. Kemudian dianalisis untuk menjelaskan deviasinya dengan standar.
- Deviasi antara prestasi yang terjadi dengan standar prestasi yang ditetapkan harus merupakan isyarat akan perlunya koreksi atau perbaikan guna mencegah terjadinya deviasi yang lebih besar di kemudian hari.
- Standar itu sendiri harus pula dievaluasi secara berkala untuk memungkinkan perbaikannya. Jika perlu dengan membuat standar-standar baru bagi unsur-unsur relevan bagi manajemen, yang sebelumnya tidak diukur.
Standar-standar itu dapat ditetapkan dengan menggunakan dua cara yaitu didasarkan pada data periode sebelumnya atau didasarkan atas tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Untuk keperluan analisis standar-standar itu dapat ditetapkan dengan menggunakan ratio-ratio. Misalnya trend hubungan antara penghasilan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Hal ini lebih bermakna dari pada masing-masing item itu diukur secara sendiri-sendiri. Misalnya kerugian investasi meningkat secara absolut, tetapi bila dibandingkan dengan meningkatnya volume investasi rationya lebih kecil. Maka dapat dikattakan bahwa ratio kerugian itu membaik. Contoh lain adalah market share (porsi pasar). Boleh jadi perkembangan dana bank secara absolut meningkat. Tetapi bila dibandingkan dengan perkembangan dana-dana perbankan secara keseluruhan ternyata share nya menurun. Ini dapat berarti bahwa daya saing bank itu menurun.
b. Pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi.
Pelaksanaan kegiatan operasional harus selalu diawasi dengan cermat. Untuk keperluan tersebut harus pula dibuat catatan (record) sebagai laporan perkembangan proses manajemen. Berdasarkan catatan itu hendaknya dilakukan pengukuran prestasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil evaluasi itu dijadikan bahan laporan untuk dievaluasi lebih lanjut.
c. Penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai dengan standar yang diminta.
Prestasi pekerjaan harus diberikan penilaian dengan memberikan penafsiran, apakah sesuai dengan standar, sejauh mana terdapat penyimpangan dan apa saja faktor-faktor penyebabnya.
d. Tindakan koreksi terhadap penyimpangan.
Tindakan koreksi, selain untuk mengetahui adanya kesalahan, juga menerangkan apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dan memberikan cara bagaimana memperbaikinya agar kembali kepada standar dan rencana yang seharusnya.
Tindakan koreksi sangat perlu dan harus dilakukan, agar jangan berlarut-larut, karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
e. Perbandingan hasil (output) dengan masukan (input).
Setelah proses pelaksanaan pekerjaan selesai segera diberikan pengukuran dengan membandingkan hasil yang diperoleh dengan sumber daya digunakan serta standar yang ditetapkan. Hasil pengukuran ini akan memperlihatkan tingkat efisiensi kerja dan produktifitas sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai :
- standar dari harga pokok untuk menentukan harga jual (pricing)
- menentukan tinggi-rendahnya efisiensi
- sebagai bahan ukuran bagi penyusunan rencana yang baru.
Sistem Informasi Manajmen.
Laporan-laporan yang dihasilkan dari proses pengawasan itu harus disusun dalam suatu format yang sistematis, agar dapat dengan segera dan mudah digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan secara cepat dan tepat.
Kemajuan teknologi informasi telah memungkinkan sistem informasi manajemen memiliki kesanggupan memberikan berbagai jenis informasi dengan cepat dan akurat serta memberikan fleksibilitas dalam cara penyajiannya. Melalui laporan ini para manajer dapat memperoleh informasi atau data yang tidak termuat dalam laporan reguler, yang dibutuhkan untuk menghadapi keadaan tertentu.
Program Audit Internal.
Pada dasarnya para manajer puncak (top management) merupakan pengawas tertinggi bagi seluruh bawahannya. Untuk memudahkan pelaksanaan fungsi pengawasan ini setiap organisasi perusahaan besar selalu mengadakan suatu badan khusus (special staff) dengan program audit internal yang oleh Bank Indonesia disebut SKAI (Satuan Kerja Audit Internal).
Unsur dasar dari program audit internal adalah meliputi verifikasi aktiva dan pasiva, memastikan keseksamaan ayat-ayat penghasilan dan biaya, memastikan kebenaran pelaksanaan prosedur bank yang telah ditetapkan dan memberikan saran-saran perbaikan cara-cara pelaksanaan operasional.
Program audit internal ini harus terus berlanjut, artinya harus dilakukan secara terus-menerus. Pada dasarnya audit internal melakukan dua pola pemeriksaan yaitu pemeriksaan pasif melalui pemantauan laporan-laporan yang ada dan pemeriksaan aktif melalui penyelenggaraan kegiatan audit di tempat (on the spot) bagian-bagian tertentu dari bank tersebut.
Tanggung jawab internal audit adalah besar, untuk memberikan keyakinan kepada para nasabah, tentang kebijakan proteksi kepentingan mereka. Program audit internal yang ketat merupakan salah satu alat utama untuk memberikan keyakinan ini.
Peraturan Bank Indonesia dewasa ini telah mengarah kepada pelaksanaan pola multi leyer control. Setiap bank harus memiliki seorang direktur kepatuhan (complience director) yang bertugas memastikan bahwa segala keputusan dan tindakan manajemen tidak melanggar ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penunjukan Kepala SKAI oleh direksi harus disetujui oleh Dewan Audit yang dibentuk oleh Dewan Komisaris bank. Demikian pula rencana kerja tahunan SKAI harus pula mendapat persetujuan dari Dewan Audit. Tugas Dewan Audit adalah memastikan bahwa mekanisme pengawasan internal bank berjalan dengan baik.
Sebagai pedoman operasional dan alat pengawasan, bank dan kantor cabang syariah wajib memiliki buku-buku pedoman kerja mengenai kegiatan operasional bank syariah, yang antara lain berupa :
(1) Buku pedoman pengimpunan dana;
(2) Buku pedoman pembiayaan;
(3) Buku pedoman pengelolaan dana
(4) Buku pedoman kegiatan jasa perbankan lainnya;
(5) Buku pedoman standar perhitungan bagi hasil;
(6) Buku pedoman sistim kas/teller;
(7) Buku podoman lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Buku-buku pedoman tersebut memuat hal-hal mengenai prinsip syariah, prinsip kehati-hatian, organisasi dan manajemen masing-masing kegiatan usaha, prosedur kerja, administrasi dan dokumentasi, serta pengawasan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.
Langganan:
Postingan (Atom)